Kamis, 05 Mei 2016

SISTEM PEMILU PROPORSIONAL (bagian I): LOGIKA DAN SEJARAH

Pemikiran utama yang mendasari munculnya sistem pemilu proporsional (perwakilan berimbang) adalah untuk menjamin adanya pembagian yang proporsional antara perolehan suara partai secara dengan perolehan kursinya di parlemen. Sebagai ilustrasi partai besar yang mendapatkan suara empat puluh persen suara seharusnya mendapatkan empat puluh persen kursi, adapun partai lain yang mendapatkan suara sepuluh persen maka harusnya juga mendapat sepuluh persen kursi secara proporsional. Sistem ini memberikan perimbangan pada setiap disproporsionalitas yang muncul dari sistem pluralitas mayoritas
Demikian poin utama presentasi Wahdi Hafizy tentang sistem pemilu proporsional dalam pertemuan keempat Mata Kuliah Perbandingan Sistem Pemilu, Wilayah Penyelenggaraan dan Pelanggaran Pemilu (08/03) beberapa waktu yang lalu. Adapun dosen pengampu mata kuliah ini adalah Dr.rer.Pol Mada Sukmajati, MPP.
Lebih lanjut, staf biro perencanaan Setjen KPU RI ini menjelaskan bahwa sistem proporsional tidak hanya lazim dipilih oleh negara-negara demokrasi, baru tetapi juga banyak diterapkan di negara dengan demokrasi mapan. Menurut catatan International IDEA sebanyak 23 negara demokrasi maju menggunakan sistem ini dengan berbagai macam variannya. “Sistem ini banyak dipakai negara di Amerika Latin dan Eropa Barat, dan mencakup sepertiga dari semua sistem yang digunakan di Afrika”, katanya sambil menunjukkan grafik persentase negara-negara yang menggunakan sistem proporsional.
Secara umum, masih menurut Wahdi, data International IDEA (2004) mencatat sebanyak 72 atau 36% negara yang menggunakan sistem proporsional, 91 atau 46% negara menggunakan sistem pluralitas/mayoritas, 30 atau 15% negara menggunakan sistem campuran dan 6 atau 3% negara menggunakan sistem lain-lain.

Munculnya Sistem Proporsional
Selanjutnya, munculnya sistem proporsional dimulai pada tahun 1864 bertempat di Amsterdam. Thomas Hare memperkenalkan sistem perwakilan berimbang dalam konferensi Asosiasi Internasional Ilmu Sosial. “Kelahiran sistem ini dilatarbelakangi karena ketidakpuasan para politisi dan ilmuwan politik terhadap sistem mayoritas/pluralitas yang menimbulkan over-representation dan under-representation”, kata Wahdi sembari menjelaskan bahwa dalam sistem proporsional partai politik membuat daftar kandidat yang mereka tawarkan kepada pemilih untuk mengisi kursi lembaga parlemen.
Mengutip dari pendapat Carstair (1980) publikasi Hare tentang sistem ini bukanlah kali pertama dipresentasikan meskipun susah untuk ditelusuri jejaknya, jauh sebelumnya pada tahun 1780, Duke of Richmond menawarkan kepada British House of Lord bahwa untuk pemilihan House of Commons, negara perlu membagi perwakilan berdasarkan konstituensi yang setara dengan jumlah populasi. “Meskipun belum berbentuk perwakilan berimbang, namun konsep ini menawarkan kepastian bahwa setiap anggota merepresentasikan jumlah yang setara dari penduduk. Selain itu, ada juga Marquis de Mirabeau yang menyampaikan dalam dalam parlemen provinsi pada tahun 1789 yang menyatakan bahwa komposisi parlemen harus merefleksikan detail daerah pemilihan”, tulis Wahdi dalam presentasinya.
Sebelum Mirabeau, dua ilmuan matematika Prancis Jean Charles de Borda pada tahun 1770 dan Marquis de Condorcet tahun 1785 adalah orang pertama yang memikirkan problem teknis yang memastikan keadilan dan kesetaraan dalam hasil pemilu. Sistem Hare pada versi pertamanya menawarkan bahwa negara merupakan satu konstetuensi, dan konsep ini merupakan sugesti serta dukungan potensial untuk sistem perwakilan berimbang.
Victor D’Hondt, lanjut Wahdi, menawarkan formula sistem perwakilan berimbang untuk mereformasi pemilu di Belgia pada tahun 1881. Proses uji coba sistem ini dipublikasikan dalam jurnal bulanan La Representation Proportionnelle yang dipublikasikan oleh Asosiasi Belgia. “Kedua tokoh ini beserta suporternya memuculkan perdebatan sengit antar negara di Eropa terkait mengenai sistem yang akan dipakai dalam reformasi pemilu”, tukas Wahdi masih mengutip pendapat Carstair (1980).

Dalam Konferensi Tahun 1885 yang dihadiri delegasi dari Swiss, Prancis, Belgia, Jerman, Italia, Belanda dan Denmark memutuskan bahwa mereka lebih tertarik untuk menggunakan sistem D’Hondt yang mengakhiri perdebatan sistem alternatif untuk dipakai dalam pemilu di Eropa saat itu. “Konsep D’Hondt pertama kali dipakai pada tahun 1899 dan pada tahun 1920 sistem perwakilan berimbang dipakai di mayoritas negara di Eropa Barat, dari sinilah sejarah sistem ini dimulai”, ujar Wahdi, mengakhiri sesi presentasi.
WAHDI HAFIZY

Tidak ada komentar:

Posting Komentar