Minggu, 15 Mei 2016

BIROKRASI dan ORGANISASI PEMILU: MENEMUKENALI PATOLOGI-PATOLOGINYA

Pemilu sebagai suatu event yang sangat penting dalam sebuah negara demokratis, menuntut pengorganisasian dan birokrasinya yang modern untuk melaksanakannya. Sejak Pemilu 1955, Pemilu pertama yang dilaksanakan di Indonesia, telah terbentuk suatu organisasi dan birokrasi Pemilu, meskipun dalam taraf yang masih sederhana. Sebagai sebuah entitas yang hidup, organisasi dan birokrasi Pemilu tidak dapat dilepaskan patologi yang menyertainya. Baik patologi yang sifatnya bawaan, “fitrah” dari sananya, sebagaimana jamak ditemukan dalam birokrasi dan organisasi modern manapun, maupun patologi yang khas, unik dan hanya terjadi pada organisasi dan birokrasi penyelenggara Pemilu saja.
Itulah yang dapat disarikan dari diskusi matakuliah Birokrasi dan Organisasi Pemilu, Senin (9/5) lalu, di ruang kuliah BA 402. Pada sesi ini giliran Yudi Rollies yang mendapatkan giliran untuk memberikan presentasi sebagai pemantik diskusi di awal sesi di bawah judul “Problematika Organisasi dan Birokrasi Pemilu di Indonesia: Menyoal Independensi dan Integritas KPU”. Berdasarkan pengamatannya, Yudi mensinyalir bahwa problematika yang paling sering dihadapi bagi penyelenggara pemilu adalah permasalahan independensi dan permasalahan integritas. “Dua problem dasar ini yang menjadi ‘pintu masuk’ bagi problematika pemilu lainnya”, ujar staf Sekretariat KPU Kota Pekalongan, Jawa Tengah ini. Independensi yang disoroti, menurut pria yang juga pernah bertugas di sekretriat KPU Kabupaten Gunungkidul ini, yakni independensi institusional dan independensi persoal-fungsional. Independensi yang pertama dikaitkan dengan strukturk kelembagaan KPU, sedangkan yang disebut kedua merujuk pada independensi individu-individu di dalam organisasi KPU.
Selanjutnya, berdasarkan pengalaman dan studi pustaka yang dilakukan, Yudi memetakan permasalahan yang dihadapi birokrasi dan organisasi penyelenggara Pemilu. Salah satu permasalahan diantara banyak permasalahan yang penting adalah birokrasi di tingkat bawah yang tidak bebas dari campur tangan aparatur pemerintahan di level kecamatan dan desa/kelurahan. Sekretariat PPK dan PPS berasal dari PNS atau perangkat desa, yang diusulkan oleh kepala daerah setempat. “Mereka diusulkan oleh kepala daerah, KPU hanya tinggal men-SK-kan saja”, ujar Yudi, memberikan alasan munculnya problem loyalitas yang mengambat pelaksanaan tupoksi PPK dan PPS.

Vote Trading
Selain permasalahan di atas, Yudi mencatat adanya praktik jual-beli suara (vote trading). Hal itu menjadi bukti betapa masalah ini bukan hanya isapan jempol belaka. Sidang sengketa hasil di Mahkamah Konstitusi menyingkap sisi lain dari perilaku oknum yang melakukan penggelembangan-penggembosan suara. Sialnya hal itu dilakukan oleh oknum-oknum tidak hanya di level panitia ad hoc, tetapi juga di level KPU dan/atau Panwaslu. Dengan mengutip tulisan M. Najib (2014), Yudi menggaris bawahi bahwa ada insentif materil yang menggiurkan untuk melakukan vote trading,yang pada dasarnya insentif itu juga sebesar risiko harus mereka tanggung bila melakukannya.
Melihat kondisi itu, Yudi memberikan tiga rekomendasi. Pertama, Komisioner harus memiliki pemahaman yang cukup dan bersifat netral. Kedua, lembaga pengawas dan lembaga etik yang telah ada diberikan kewenangan yang resolutif. Dan ketiga, Peran serta masyarakat  (civil society) memberikan input dalam pelaksanaan pemilu, baik dalam hal pengawasan maupun sebagai pengguna jasa KPU.

Birokrasi Sebagai Agent of Change
Paparan dari Yudi memantik diskusi lebih lanjut,Wahdi Hafizy menjelaskan bahwa KPU RI telah mengupayakan langkah-langkah terkait dengan problem birokrasi, diantaranya penegakan meritokrasi dalam pengisian jabatan di sekreteraiat jenderal. Melalui lelang jabatan, sedikit banyak telah mengurangi potensi birokrasi yang korup dan tidak kapabel. Selain itu, menurut staf setjen KPU RI ini, di biro-biro di sekretariat jenderal juga mulai telah dimunculkan pegawai-pegawai yang memiliki visi perubahan. Merekalah agent of change, untuk setidaknya memberikan warna dan mendorong perubahan di bironya masing-masing.
Selanjutnya, juga didiskusikan tentang ‘patologi khas birokrasi dan organisasi KPU’. Subhan Purno Aji menyinggung soal paradoks dalam birokrasi Pemilu. Disaat birokrasi dalam rezim pemerintahan daerah mengarah kepada desentraliasasi, pendelegasian otoritas ke daerah, justru birokrasi dan organisasi pemilu dibawa ke arah sentralisasi. Sentralisme birokrasi rezim Pemilu diberlakukan guna menegakkan satu tujuan besar, yakn Pemilu jujur dan adil. Tetapi faktanya berbagai kondisi sosio-kultural dan perbedaan geografis masing-masing daerah di Indonesia berbeda, yang membuat banyak hal tidak berjalan sesuai dengan asumsi asimetrisitas Pemilu. Papua adalah contoh nyata bahwa sentralisme rezim Pemilu tidak berjalan dan dipaksakan begitu saja.
Lebih lanjut, Cornelis Lay menyebutkan birokrasi memang menjadi dilema tersendiri dalam kehidupan suatu masyarakat, dibutuhkan tetapi juga harus menerima dengan konsekuensi segala potensi patologisnya. Namun, menurutnya, core problem yang dihadapi birokrasi dn organisasi KPU mungkin vote trading, sebab di tempat lain tidak muncul problem serupa.

YUDI ROLLIES P. DAN SUBHAN PURNO AJI

1 komentar:

  1. ASSALAMUALIKUM...selamat siang,saya mahpudin calon mahasiswa TKP. jika berkenan boleh saya minta kontak mas untuk bertukar informasi soal isu dan kultur akademik terkait TKP?. terimakasih

    BalasHapus