Kamis, 05 Mei 2016

SISTEM PEMILU PROPORSIONAL (bagian II): VARIAN, ISU DAN KONSEKUENSI

Selanjutnya Wahdi Hafizy melanjutkan pemaparan tentang varian, isu dan konsekuensi dari penerapan sistem proporsional. Menurutnya, dengan mengutip buku Handbook of Electoral System Design (International IDEA), secara umum terdapat dua varian dalam sistem proporsional yaitu proporsional dengan daftar (List Proportional Representation/List PR) dan Sistem Suara Tunggal yang dapat ditransfer/prefensial (Single Transferable Vote/STV). Dalam buku itu juga, lanjut Wahdi, teridentifikasi 72 negara yang menggunakan sistem List PR dan hanya 2 negara menggunakan STV. Meskipun seringkali kursi dibagi dengan dasar distrik wakil majemuk regional, di beberapa negara (misalnya: Jerman, Namibia, Israel, Belanda, Denmark, Afrika Selatan, dan Selandia Baru), pembagian kursi parlemen ditentukan secara efektif oleh perolehan suara nasional.
Sistem Proporsional dengan Daftar (List Proportional Representation)
Menurut Wahdi, varian ini digunakan dalam distrik berwakil banyak, dimana para pemilih akan memilih partai politik dalam konsep Close List PR (sistem daftar tertutup), atau memilih kandidat yang ditawarkan oleh partai politik Open List PR (sistem daftar terbuka), atau memilih keduanya. Pemenang ditentukan oleh proporsi suara sah yang didapatkan oleh masing-masing partai politik atau kandidat. “Dalam beberapa sistem Close List PR, kandidat pemenang akan disesuaikan dengan nomor urut, dalam konsep Open List PR pemilih diberi keleluasaan untuk memilih partai atau kandidat pada nomor urut manapun”, ujarnya.
Dalam sistem ini, menurutnya, diperlukan ambang batas (treshold) dalam rangka menjamin agar hanya partai yang didukung pemilih di atas ambang batas yang mendapatkan kursi di parlemen. Pilihan sistem antara tertutup dan terbuka akan berkonsekuensi terhadap kompleksitas surat suara. Sedangkan ciri umum dan sederhana dari bekerjanya Sistem ini adalah bahwa setiap daerah pemilihan memiliki wakil yang majemuk, setiap partai politik menyajikan daftar caleg ke pemilih, pemilih memilih satu partai, partai memperoleh suara sebanding dengan perolehannya secara nasional dan kursi diisi oleh mereka yang ada di daftar nama kandidat yang ditawarkan oleh partai politik secara berurutan.
Adapun sistem proporsional ini selain memiliki kelebihan juga memiliki kelemahan. Kelebihan dari sistem ini diantaranya adalah dapat menghasilkan proporsi perwakilan yang sesuai dengan perolehan suara yang ada sehingga meminimalisir ketidakadilan atau jumlah suara yang tidak terpakai seperti yang terjadi pada sistem pluralitas/mayoritas. Disamping itu, sistem juga dapat mendorong dan mengharuskan pembentukan organisasi atau partai politik untuk mengajukan kandidat untuk maju dalam daftar pemilihan. Hal ini dapat mengklarifikasi/menjelaskan berbagai ideologi, kebijakan yang ada pada masyarakat. “Kelebihan lainnya adalah memberikan peluang bagi partai politik minoritas atau kecil untuk memiliki perwakilan di parlemen, mendorong partai politik untuk berkampanye di luar daerah pemilihan yang dianggap sebagai basis masa yang kuat bagi partai tersebut sehingga sistem ini mendorong partai politik yang bersifat nasional, dapat membawa keberlanjutan dan stabilitas atas kebijakan. Dan tak kalah pentingnya adalah bahwa sistem ini memungkinkan adanya pembagian kekuasaan atara partai politik dengan kelompok kepentingan yang lebih fisibel”, tulis Wahdi dalam paparannya.
Sedangkan kelemahan dari sistem ini adalah koalisi pemerintahan akan dapat membawa legislatif pada kondisi yang macet (gridlock) dan konsekuensinya pada ketidakmampuan membuat kebijakan yang koheren, sistem proporsional juga dapat membawa atau memfasilitasi terfragmentasinya sistem kepartaian sehingga melahirkan kemungkinan bahwa pluralism ekstrim dapat membuat pihak partai minoritas/ kecil untuk menahan pihak partai yang lebih besar untuk menembus negosiasi dalam koalisi. “Kelemahan lain dari siste proporsional adalah dapat memberikan panggung di legislatif bagi pihak-pihak yang berseberangan seperti, partai politik dengan ideologi ekstrim kiri dan kanan. Contoh yang sering dikutip adalah runtuhnya Weimar Jerman, dimana diantara penyebabnya adalah sistem pemilu PR yang memberi tumpuan pada kelompok-kelompok ekstrim kiri dan kanan. Sistem ini dapat membuka celah bagi partai besar terdorong untuk membentuk koalisi dengan partai-partai kecil sehingga dapat melahirkan ketidakproporsionalan pada pembagian atau penguasaan jabatan yang didapatkan partai kecil di pemerintahan. Sistem ini dapat memberatkan pemilih maupun administrator pemilu untuk memahami kompleksitas dari aturan pemilu yang ada pada sistem PR, jika dibanding dengan sistem lainnya. Oleh karena itu, dalam sistem PR ini membutuhkan sosialisasi dan pendidikan yang lebih bagi pemilih, serta kerja-kerja training yang lebih pula bagi para pekerja/administrator penyelenggara pemilu untuk dapat mensukseskan berjalannya pemilihan umum di suatu negara”, tulisnya.
Suara Tunggal yang dapat Ditransfer (Single Transferable Vote)
Selain sistem Daftar, sistem proporsional juga mengenal varian STV adalah sistem prefensial dimana pemilih akan memberikan rangking terhadap kandidat dalam distrik berwakil banyak, kandidat yang memiliki suara diatas kuota yang ditentukan pada pilihan preferensi pertama dinyatakan sebagai calon terpilih. “Dalam perhitungan, suara didistribusikan dari kandidat yang tereleminasi dan kelebihan suara dari kuota didistribusikan sampai menghasilkan kandidat yang memiliki suara di atas kuota. Pemilih normalnya akan memilih kandidat dibanding partai politik, meskipun memilih partai politik dapat menjadi opsi bagi pemilih”, kata Wahdi, menggambarkan varian yang diadopsi untuk pemilu lokal di Skotlandia, beberapa otoritas di New Zeland serta dipilih juga sebagai sistem yang digunakan oleh Parlemen Rakyat British Colombia.
Banyak kalangan ilmuwan politik, lanjut Wahdi,  beranggapan bahwa sistem STV ini salah satu sistem yang paling atraktif, akan tetapi tidak banyak negara yang menggunakannya dalam pemilu parlemen. Diantara negara yang menggunakan sistem ini adalah Republik Irlandia sejak Tahun 1921, Malta sejak tahun 1947, sekali di Estonia pada Tahun 1990 dan digunakan juga dalam pemilu Senat Australia di beberapa Negara Bagian Australia dan di Eropa serta Pemilu Lokal di Utara Irlandia.
Selanjutnya, Wahdi merinci ciri-ciri umum varian STV ini adalah sebagai berikut:
1.    Sistem ini menggunakan daerah pemilihan yang menyediakan lebih dari satu kursi.
2.    Para pemilih mengurutkan kandidat berdasarkan preferensi yang mereka miliki di kertas suara (seperti mengurutkan 1,2,3 dan seterusnya), tetapi pada dasarnya pemilih tidak diwajibkan untuk menandai atau mengurutkan caleg berdasarkan preferensi mereka, karena jika mau pemilih dapat memilih satu caleg saja untuk dipilih.
3.    Kandidat yang mendapatkan suara melebihi ambang batas (threshold) dinyatakan menang/ terpilih,
4.    Jika tidak ada kandidat yang memperoleh suara mencapai kuota/ ambang batas, maka kandidat yang mendapatkan suara terendah dicoret dari daftar dan suara preferensi keduanya dibagikan lagi kepada para caleg yang tertinggal.
5.    Kemudian, pada saat yang sama, jumlah kelebihan suara caleg terpilih (yakni suara diatas ambang batas) dibagikan lagi menurut preferensi kedua pada kertas suara. Agar adil, semua kertas suara caleg dibagi lagi tetapi masing-masing menurut persentase dari satu suara, sehingga jumlah total suara yang dibagikan sama dengan sisa surplus suara.
Seperti halnya varian Daftar, varian ini kelebihan, diantaranya:
1.   STV adalah termasuk sistem pemilu yang paling canggih diantara semua sistem pemilihan umum, karena sistem ini memberikan kesempatan bagi para pemilih untuk memilih antar partai dan caleg dalam partai-partai tersebut.
2.   Adanya tingkat proporsionalitas yang lebih adil.
3.   Dalam sistem STV hubungan geografis yang penting antara caleg dan pemilih masih dapat dipertahankan.
4.   Para pemilih dapat mempengaruhi komposisi koalisi pasca pemilu, ini seperti yang terjadi di Irlandia.
5.   Sistem STV ini memberikan insentif bagi akomodasi antar partai lewat pertukaran preferensi antara pihak-pihak yang berkepentingan.
6.   Sistem STV juga memberikan kesempatan yang lebih baik bagi pemilihan caleg independen daripada List PR, karena para pemilih memilih caleg, bukan memilih partai.
Selain kelebihan-kelebihan di atas, pemilu dengan sistem STV ini juga tidak lepas dari kritik para ilmuwan politik lain yang kurang/tidak setuju dengan sistem ini. Kritik tersebut setidaknya diarahkan pada kelemahan-kelemahan berikut ini:
1.   Dalam sistem ini, pemilihan dengan preferensi kurang dikenal oleh kebanyakan masyarakat.
2.   Sistem ini minimal memerlukan suatu tingkat baca tulis dan pengerti angka yang baik.
3.   Cara penghitungan suara dalam sistem ST juga sangat kompleks.
4.   Sistem ini dapat menyebabkan tekanan pada partai-partai politik sehingga mereka dapat terpecah secara internal, karena pada saat yang bersamaan anggota-anggota dari partai yang sama saling berkompetisi secara sengit antara satu sama lain, selain dengan caleg partai oposisi untuk memperoleh suara.
Isu dan Konsekuensi Sistem Proporsional
Wahdi menjelaskan bahwa tidak hanya tentang varian sistem proporsional yang sering dibahas, tetapi juga menyangkut isu-isu dan konsekuensi tak kalah penting untuk dipahami. Yang pertama adalah besaran daerah pemilihan. Hal yang paling utama dalam kemampuan menentukan sistem pemilu yang mengkonversi suara kepada kursi dalam sistem perwakilan berimbang adalah besaran daerah pemilihan, dimana melalui daerah pemilihan akan terpilih beberapa orang anggota parlemen. “Dengan sistem proporsional, maka jumlah anggota yang akan terpilih dalam suatu daerah pemilihan tergantung dari besar kecilnya daerah pemilihan tersebut secara proporsional”, katanya.
Menurutnya, semakin besar daerah pemilihan maka akan semakin proporsional perwakilan yang akan didapat, karena dapat menjamin bahwa partai kecilpun dapat memiliki kursi. Hal ini nantinya akan berpengaruh dalam perhitungan suara serta konversi suara ke dalam kursi. Indonesia pernah mengalami mekanisme konversi yang membuat sisa suara dibawa ke provinsi dan pernah mengalami mekanisme konversi yang membuat susa suara habis di daerah pemilihan. Pilihan sistem ini akan menimbulkan kesulitan dalam melakukan konversi, karena ketika perhitungan tahap pertama suara partai tidak mencukupi maka partai tersebut akan mengikuti perhitungan tahap kedua dimana harga suatu kursi dihitung separuh dari harga awal.
Isu kedua adalah tentang ambang batas (treshold). Setiap sistem pemilu memiliki ambang batas dimana ambang batas merupakan level minimal suatu partai untuk mendapatkan kursi. Ambang batas dapat dibuat sebagai sesuatu yang formal (formal treshold) atau terwujud sebagai formula matematika dalam sistem pemilu (effective or natural treshold).
Dalam sistem perwakilan berimbang, penetapan ambang batas memiliki konsekuensi calon dalam partai tertentu tidak menjadi calon terpilih dikarenakan secara nasional partai tersebut tidak memenuhi ambang batas.
Isu ketiga, menurut Wahdi adalah faftar terbuka, tertutup dan bebas. Menurutnya, sistem List PR didasarkan pada prinsip bahwa partai atau grup politik mengajukan kandidat, dan pemilih diberi kesempatan untuk memilih baik kandidat yang ditawarkan ataupun memilih partai politik sehingga sistem ini memiliki tiga pilihan varian. Sistem Daftar Terbuka memberi kesempatan kepada pemilih untuk memilih secara spesifik calon yang diinginkan, sebagai konseksuensinya apabila partai politik peserta pemilu banyak dengan jumlah kandidat yang banyak maka surat suara yang digunakan dalam pemilu akan menjadi besar karena harus mencantumkan nama partai dan nama tiap kandidat di tiap partai. “Sistem Daftar Tertutup dapat menyederhanakan permasalahan besarnya surat suara, akan tetapi apabila sistem kepartaian dan pencalonan di tiap partai tidak berjalan dengan demokratis, maka hanya calon-calon pilihan partai/yang dekat dengan partailah yang akan terpilih”, katanya menegaskan.
Isu keemapat adalah apparentement atau penggabungan. Ambang batas sangat efektif namun dapat membuat diskriminasi bagi partai kecil, bahkan dapat jadi alat bagi partai besar untuk mengkerdilkan partai kecil sehingga tidak mendapatkan kursi. Oleh karenanya, lanjut Wahdi, beberapa negara dengan sistem List PR memperbolehkan partai politik kecil yang tidak memenuhi ambang batas untuk menggabungkan suara mereka sehingga mendapatkan kursi dan menempatkan calon terpilih sesuai dengan kesepakatan. “Hal ini menguntungkan bagi mereka karena akan memiliki representasi di parlemen”, katanya, dengan menunjukkan beberapa negara yang menggunakan sistem ini adalah negara-negara di benua Eropa, Latin Amerika dan Israel.
Sistem Perwakilan Berimbang diperlukan bagi negara-negara yang mengedepakan proporsionalitas dalam perwakilan, dengan entik yang beragam, komposisi agama, gender serta geografis yang tersebar membutuhkan perwakilan yang merata sehingga dapat mengakomodasi perbedaan yang ada dalam suatu negara.
Sistem ini juga akan mengurangi jumlah suara yang terbuang karena suara akan terbagi secara proporsional kepada calon dan partai yang mendapat kursi seharga pembagi pemilih serta akan dibagi habis dalam perhitungan tahap berikutnya.
Pilihan sistem pemilu sekali lagi adalah upaya suatu negara untuk mendapatkan perwakilan yang sesuai dengan kebutuhan negara tersebut. Sistem apapun yang digunakan bertujuan untuk mweujudkan demokrasi berkeadilan melalui penyelenggaraan pemilu yang bebas dan adil.

WAHDI HAFIZY

Tidak ada komentar:

Posting Komentar