Selasa, 17 Mei 2016

KAJIAN PARTAI POLITIK DI INDONESIA: ANTARA INSTITUSIONALISASI DAN KARTELISASI


Review
Marcus Mietzner, Money, Power and Ideology: The Political Parties in Post Authoritarian Indonesia “Introducton: Political Parties in Indonesia Domestic, Regional and Global Pattern”. Singapore: National University of Singapore Press.
Runtuhnya Orde Baru telah memberikan struktur peluang bagi munculnya partai politik. Tak kurang dari 141 partai politik mendaftarkan diri, tetapi hanya 48 diantaranya yang berhak mengikuti Pemilu 1999, Pemilu pertama era reformasi. Harapan publik membuncah terhadap partai-partai politik tersebut untuk memperbaiki keadaan. Hal itu ditunjukkan dengan tingkat partisipasi dalam Pemilu 1999 yang mencapai lebih dari 90 persen. Apalagi sebagian besar para pemimpin partai-partai politik tersebut adalah tokoh yang turut membidani lahirnya reformasi, selain memang mereka memiliki banyak pengikut di akar-rumput.
Namun demikian, lebih dari satu dekade kemudian harapan besar publik terhadap partai politik harus bertepuk sebelah tangan. Anggapan publik terhadap partai politik sebagai aktor protagonis di awal reformasi berubah menjadi antagonis sepuluh tahun kemudian. Sebagian besar responden menganggap partai politik−bersama parlemen yang di dalamnya terdapat perwakilan anggota partai politik−sebagai lembaga publik terkorup dan biasanya selalu mendapatkan rangking paling buncit jika dibandingkan dengan lembaga lain dalam hal kepuasan publik. Bahkan dalam hal “taat” atau tidaknya dalam menjalankan nilai-nilai Pancasila, partai politik dan sekali lagi bersama DPR, dicap oleh publik sebagai lembaga yang paling tidak pancasilais (KOMPAS, 1 Juni 2015). Artinya, ada sesuatu yang salah dalam lembaga partai politik atau bahkan lebih luas lagi pada sistem kepartaian yang ada. Hal inilah yang mengundang banyak pengamat untuk mencoba menjelaskan munculnya sinisme publik terhadap wajah kepartaian Indonesia pasca-Orde Baru.
Paling tidak ada dua madzhab yang mendominasi dalam diskusi akademik kepartaian di Indonesia pasca-Orde Baru. Pertama adalah madzhab institusionalisasi partai. Kurang lebih madzhab ini menganggap bahwa partai politik di Indonesia miskin kelembagaan (poorly institutionalized), elitis, dan tidak menancap di akar-rumput. Kedua adalah madzhab yang disebut kartelisasi. Madzhab ini menaruh perhatian pada pola aliansi kolusif diantara mereka dalam upaya untuk menguras sumberdaya-sumberdaya negara, ketimbang berkompetisi dalam merebut simpati publik.

Buku Marcus Mietzner ini berusaha untuk keluar dari dua aliran dominan tersebut dan menawarkan kerangka kerja alternatif. Adapun karakteristik pokok dua kecenderungan dominan dalam studi kepartaian di Indonesia adalah sebagai berikut:
Dengan melihat perkembangan partai politik dan membandingan partai politik di kawasan Asia Timur-Tenggara, negara-negara demokrasi baru (Eropa Timur dan Amerika Selatan) dan negara-negara demokrasi maju (Eropa Barat) Mietzner menilai bahwa kecenderungan degradasi partai politik sama sekali bukanlah khas Indonesia. Ia merupakan kecenderungan yang juga ditemukan di kawasan Asia Timur-Tenggara dan juga lazim tidak hanya di negara-negara demokrasi baru, tetapi juga di negara demokrasi yang telah mapan. Di kawasan Asia Timur dan Tenggara, misalnya, indeks total volatilitas bersih yang dapat mengukur tingkat fluktuasi hasil Pemilu masih tinggi. Semakin tinggi nilainya semakin tinggi pula fluktuasi hasil Pemilu yang terjadi. Indeks itu menunjukkan masih unstable-nya sistem kepartaian di negara-negara kawasan Asia Timur dan Tenggara. Di Korea Selatan, Filipina dan Thailand, misalnya, nilainya masih tinggi, masing-masing memiliki skor 75, 51 dan 39, jauh di atas skor di negara-negara demokrasi maju yang berkisar antara 12,5 sampai dengan 44. Tidak hanya soal nilai kuantitatif untuk mengukur institusionalisasi kepartaian, soal adanya personalisasi figur, dengan menjadikan partai politik sebagai kendaraan patron untuk memobilisasi dukungan klientelistik dalam Pemilu juga−sekali lagi−tidak khas Indonesia. Tetapi  hal itu jamak ditemukan di negara lain di kawasan ini.
Melalui kajian komparatif dan debat perkembangan partai politik di negara lain, Mietzner juga menilai penting untuk memasukkan faktor ideologi dan faktor fungsional dalam kajian kepartaian Indonesia. Berbeda dari pemahaman madzhab kartelisasi, Mietzner memandang ideologi masih mengkondisikan perilaku partai politik dalam interaksinya dengan partai politik lain. Melalui kajian ini Mietzner seolah ingin membantah para penganjur teori kartel bahwa ideologi belum berakhir (postponed end ideology) (Tomsa, 2014).
Lebih jauh, Mietzner juga tidak sepenuhnya sepakat dengan madzhab institusionalisasi. Menurutnya, indikator kuantitatif yang digunakan bisa memiliki potensi yang menyesatkan. Tanpa disertai dengan pemahaman yang utuh, strong atau weak yang biasanya menjadi penanda madzhab ini, menjadi tidak relevan jika tidak dikaitkan dengan penejelasan yang sifatnya kualitatif. Sebab kondisi sejarah, budaya, sosial, ekonomi di masing-masing negara berbeda. Masih di sekitar madzhab institusionalisasi, Mietzner juga menemukan bahwa indikator-indikator deinstitutionalization tidak hanya ditemukan di negara-negara demokrasi baru, tetapi juga di negara-negara dengan demokrasi mapan (advanced democracy). Dengan begitu, asumsi teoritik ihwal trajektori yang linier dari weak menuju strong institutionalization, dari negara dengan demokrasi baru menuju demokrasi mapan, menjadi kehilangan relevansinya dalam kajian institusionalisasi partai. Ia menjadi telah kehilangan watak telelologisnya.
All in all, kajian Mietzner ini merupakan karya yang sangat bagus; dan bagi siapapun yang akan mengkaji partai politik di Indonesia direkomendasikan membaca buku ini. Meskipun begitu, Dirk Tomsa (2014), pengkaji partai politik lainnya, memberikan kritik terhadap karya Mietzner ini. Pertama, Mietzner melakukan oversimplifikasi dengan menggunakan kategori institusionalisasi secara reduksionis. Misalnya, pada awalnya dia memisahkan antara institusionalisasi partai dan sistem kepartaian, tetapi selanjutnya keduanya digunakan secara bergantian. Selain itu, ada tendensi menyamakan teori institusionalisasi dengan analisis yang semata kuantitatif. Padahal dalam kasus institusonalisasi, dapat juga digunakan baik pendekatan kualitatif maupun pendekatan campuran. Kedua, kajian Mietzner ini dinilai terlalu Jakarta-centris. Hal ini terlihat dari fokus dan pemilihan para informannya yang sebagian besar adalah “orang pusat” di Jakarta. Pengabaian pada konteks lokal mengakibatkan kesimpulan Mietzner tentang meningkatnya stabilitas sistem kepartaian, profesionalisasi infrastruktur internal partai, penggunaan sosial media dan “penundaan keberakhiran ideologi” partai masih harus diuji di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Singkatnya, menurut Tomsa, Mietzner menghilangkan penjelasan tentang bagaimana dan dalam kondisi apa perkembangan di tingkat nasional tercermin di tingkat lokal.

Partai Politik: Optimisme vs Pesimisme
Buku Mietzner ini tidak hanya memberikan perspektif baru terhadap kajian partai politik di Indonesia kontemporer, tetapi juga memberikan catatan yang lebih kurang “optimistis” terhadap masa depan partai politik dan demokratisasi Indonesia. Berbeda dengan kajian tentang partai politik lain yang cenderung pesimistis, kajian Mietzner memproyeksikan ada sedikit harapan untuk partai politik di Indonesia. Lebih dari itu, Mietzner bahkan menilai institusionalisasi kepartaian di Indonesia “lebih baik” jika dibandingkan dengan negara di kawasan Asia Tenggara dan kawasan demokrasi baru lainnya.
Kesimpulan yang lebih optimis itu sebagai konsekuensi dari diadopsinya pendekatan komparatif dari kajian ini. Melalui pemataan dan analisis yang seksama di berbagai negara baik yang baru mengadopsi sistem politik demokrasi maupun negara yang telah mapan demokrasinya, Mietzner menemukan bahwa ada keresahan yang sama tentang idealitas dan fakta empirik partai politik di masing-masing negara/kawasan. Sehingga “cap buruk” partai politik bukan merupakan monopoli Indonesia, tetapi fakta yang jamak, bahkan di negara-negara yang dianggap advanced democracy. Meskipun begitu, optimisme yang dibangun dari argumen Mietzner hendaknya tidak mengabaikan tentang masih banyaknya PR yang harus di seleaikan oleh partai politik, seperti mal-fungsinya dalam sistem politik, kecederungan munculnya oligarki dalam partai politik, praktik koruptif-predatoris dan kegagalan dalam membangun basis di level akar-rumput.
Sejengkel-jengkelnya penilaian terhadap partai poltik dalam konteks sistem politik yang demokratik, partai politik tetaplah menjadi pemain kunci dalam menjalankan fungsi mediatorik masyarakat-negara dan−terutama−fungsi rekruitmen dalam pengisian jabatan-jabatan publik. Dengan kata lain, dalam sistem politik demokratik, sudah ada fait accompli mau tidak mau harus menerima partai politik sebagai fakta demokrasi. Oleh sebab itu, yang perlu dibangun dari publik bahwa jangan hanya menyalahkan partai politik sebagai biang keladi dari seluruh kegagalan pembangunan demokrasi di Indonesia sembari alpa untuk memberikan dukungan bagi eksistensi mereka, tetapi juga diimbangi dukungan agar mereka memperbaiki diri dan mengapresiasi pencapaian yang telah mereka lakukan selama ini. Celakanya, seringkali yang diserap oleh publik melalui penggiringan opini di media adalah melulu soal disfungsi dan watak koruptif partai tanpa ada pemahaman yang utuh tentang peran partai dalam sistem politik di Indonesia.
Di atas itu semua, melalui konsepsi institusionalisasi dan kartelisasi serta kerangka kerja alternatif yang ditawarkan Mietzner, menjadi terang duduk perkara permasalahan kepartaian di Indonesia. Salah satu yang muncul setelah mengkaji secara detail tentang pola politik kartel dalam diri partai politik adalah kendala pembiayaan partai politik. Dari pintu ini dapat disibak mengapa dan dalam kondisi apa muncul dan persistensinya praktek koruptif yang dilakukan oknum anggota partai ataupun tampilnya pengusaha-politisi dalam struktur inti partai. Itu semua sebagai lojik dari permaslahan di hulu: perlunya biaya untuk menopang kerja-kerja partai politiks.

DAFTAR PUSTAKA
Tomsa, Dirk. 2014. “Review: Money, power and ideology in Indonesia’s political party system”. In Inside Indonesia 116: Apr-Jun 2014. http://www.insideindonesia.org/review-money-power-and-ideology-in-indonesia-s-political-party-system. Diakses tanggal 22 November 2015.

Disusun oleh SUBHAN PURNO AJI untuk memenuhi salah satu tugas matakuliah Kajian Politik Indonesia, Nopember 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar