Rabu, 11 Mei 2016

PERSISTENSI KEKERASAN PEMILU DI ACEH

Idealnya pemilihan umum merupakan cara beradab untuk memilih para pejabat publik, yakni mereka yang diberikan mandat dan otoritas untuk mengurus urusan-urusan publik. Pemilu menggantikan penggunaan kekerasan dan perang dalam suksesi kepemimpinan. Melalui mekanisme itulah surat suara menggantikan senjata. Di atas logika besar itu dipahami bahwa setiap orang berhak untuk memilih siapa saja yang dikehendaki menjadi pemimpinnya, tanpa ada paksaan dari pihak manapun.
Akan tetapi, konsepsi-konsepsi ideal itu berjalan asimetris bila diterapkan di beberapa wilayah di Indonesia. Wilayah yang menjadi studi kasus adalah Provinsi Aceh, provinsi di ujung barat Indonesia. Paparan tentang Kekerasan Pemilu di Aceh menjadi salah satu yang diangkat pada matakuliah Pencegahan dan Penanganan Konflik Pemilu. Adapun yang mendapat giliran untuk mempresentasikan kasus tersebut adalah Annas Rizaldi, mahasiswa asal Aceh ini, di ruang BA 402, Rabu (27/4) lalu.
Dalam uraiannya, Anas mempersoalkan terus berulangnya tindakan kekerasan pada masa Pemilu ataupun Pilkada di Aceh pasca perjanjian perjanjian damai dalam rantang waktu 2006-2014. Menurutnya, secara kuantitatif dan kualitatif tindak kekerasan semakin meningkat justru pada periode penyelenggaraan tahapan Pemilu/Pilkada (tahun 2006, 2009, 2012 dan 2014). “Dominasi kekerasan dalam pemilu selalu menghiasi hajatan lima tahunan tersebut”, ujar salah satu mahasiswa konsentrasi TKP dari non-KPU/Bawaslu ini, sambil menunjukkan tabel data tindak kekerasan Pemilu di Aceh.

Pengawetan Konflik
Melihat persistensi terjadinya kekerasan apalagi menjelang pelaksanaan Pemilu, menurut Annas, nampak adanya upaya untuk terus-menerus mengawetkan konflik. Tujuannya tidak lain adalah sebagai cara untuk mempertahankan kekuasaan bagi elit-elit di Aceh. Menurutnya, kekerasan ini dilakukan oleh profesional, terlatih, terencana dan brutal. Kekerasan ini juga sangat erat dengan perebutan kekuasan parlemen pada pemilu legislatif, kerena korbannya umumnya mereka yang terlibat baik langsung maupun tidak langsung dengan partai politik tertentu.
Pola kekerasan yang dilakukan secara sistematis dan profesional, lanjut Annas, biasanya tidak terlepas dari adanya struktur pemberi perintah dan petugas eksekusi lapangan. “Melihat waktu terjadinya kekerasan, dimana 21 kasus terjadi pada antara pukul nol-nol sampai menjelang pagi, maka berbagai kejadian tersebut tidak mungkin terjadi secara spontanitas”, katanya menyimpulkan data tindak kekerasan berdasarkan waktu kejadian.

Konflik Regulasi atau Regulasi Yang Dikonflikkan
Mengomentari paparan yang disampaikan Annas, Drs. Bambang Eka Cahya, M.Si, salah satu pengampu matakuliah ini, mengajukan dimensi konflik lainnya selain tindak kekerasan menjelang Pemilu/Pilkada. Berdasarkan pengalamannya, khususnya pelaksanaan pemilihan kepala daerah, Aceh selalu unik dan menarik untuk dikaji, dan dengan begitu, diperlukan kiat khusus untuk mengelolanya. Bagaimana tidak, lanjut mantan Ketua Bawaslu RI ini, Pilkada di Aceh tidak hanya soal tindak kekerasan saja, sejak dari hulunya, yakni regulasi yang mengaturnya telah menimbulkan persoalan sendiri. Di sana Pilkada tidak hanya di atur oleh regulasi tentang kepemiluan saja, tetapi juga terdapat peraturan perundang-undangan tentang pemerintahan Aceh yang juga banyak mengatur ihwal penyelenggaran pemilihan kepala daerah. Celakanya, dalam beberapa hal, terjadi banyak perbedaan dan tumpang tindih diantara regulasi-regulasi itu. “Sebagai contoh dalam undang-undang Penyelenggara Pemilu, anggota Panwaslu provinsi berjumlah tiga orang, tapi dalam undang-undang Pemerintahan Aceh disebutkan lima orang, apa nggak pusing itu (Bawaslu-red)?”, ujarnya berbagi pengalaman pembentukan Panwaslu Provinsi Aceh pada Pilgub 2012 lalu oleh Bawaslu RI.
Permasalahan semakin rumit karena para pihak yang terlibat dalam pelaksanaan pengaturan Pilkada, seringkali sulit untuk duduk bersama menyelaraskan regulasi-regulasi yang ada. Para pihak cenderung mempertahankan pendiriannya masing-masing, jika tidak dapat dikatakan memiliki kepentingan tersembunyi terhadap permasalahan itu. Jika sudah ada pihak yang membuka ruang, pihak yang lain seolah menghindar agar disharmoni regulasi tetap berlangsung, demikian juga sebaliknya. “Kalau meminjam kata seorang temen di sana, itu bukan karena konflik regulasi. Itu regulasi yang dikonflikkan”, katanya. Oleh sebab itu, berdasarkan pengalamannya sebagai Ketua Bawaslu RI periode 2007-2012, Pilkada di Aceh harus mendapat perhatian ekstra dari para pemangku kepentingan di tingkat pusat maupun di daerah. KPU maupun Bawaslu di Jakarta harus paham benar duduk permasalahannya, siapa aktor yang berpengaruh dan apa kepentingannya. “Dalam kondisi itu terkadang penyelesaiakan sengketa alternatif seringkali efektif dilakukan di sana, di saat pendekatan legal-formal menemui jalan buntu”, ujar Bambang memberi saran.
Pada kesempatan yang sama, pengampu matakuliah yang lain, DR. Haryanto, MA memberi komentar bahwa melihat data, pola dan latennya konflik dan tindak kekerasan Pemilu di Aceh muncul anggaan yang kuat bahwa itu semua sebagi produk dari perubahan seting sosial-politik pra dan pasca perjanjian damai. Menurutnya, nampaknya ada pihak-pihak yang mecoba menjadikan konflik dan tindak kekerasan sebagai sarana untuk mempertahankan kekuasaan dan akses atas sumber daya. “Kalau Saya boleh menilai dan menyimpulkan ada kekhawatiran para elit-elit tertentu kehilangan kekuasaan dan akses sumber daya”, katanya memberi catatan.

ANNAS RIZALDI DAN SUBHAN PURNO AJI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar