Senin, 09 Januari 2017

KEPETAHANAAN DALAM PILKADA, KEUNTUNGAN ATAU KUTUKAN?: Catatan atas Seminar dan Diseminasi Riset “Incumbency dalam Politik Elektoral Pemilukada di Indonesia”

Apakah kepetahanaan (incumbency) merupakan suatu keuntungan atau justru kerugian/kutukan? Bagaimana fenomena kepetahanaan di negara-negara demokrasi baru, apakah sama dengan di negara-negara demokrasi mapan atau tidak? Apakah kepetahanaan berefek pada maju mundurnya demokratisasi?. Inilah pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari hasil seminar dan Seminar dan Diseminasi Riset “Incumbency Dalam Politik Elektoral Pemilukada di Indonesia”. Kegiatan ini dihelat oleh Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fisipol, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), bertempat di Aula Amphiteatre lantai 4 Gedung Pascasarjana UMY, Sabtu (7/1) lalu. Adapun narasumber seminar ini adalah Dr.rer.pol Mada Sukmajati, MPP, pengajar DPP UGM, Tunjung Sulaksono, M.Si, pengajar Ilmu Pemerintahan UMY dan Octo Lampito, Pimred Harian Kedaulatan Rakyat, sebagai mederator.
Seminar ini diawali dari pemaparan hasil riset tentang kepetahanaan dalam dua Pilkada di Yogyakarta tahun 2017 mendatang, masing-masing Kota Yogyakarta dan Kabupaten Kulonprogo oleh David Effendi, MA, dosen ilmu pemerintahan UMY. Sebelum memulai pemaparan, David menjelaskan bahwa literatur kepetahanaan di Indonesia dalam Pemilu/Pilkada masih sangat minim. Penjelasan-penjelasan bagaimana petahana dapat menang ataupun kalah dalam Pilkada, misalnya, belum memiliki jawaban yang memadai. Oleh karenanya, penelitian yang dilakukannya bersama tim berusaha untuk mengisi gap pengetahuan itu.
Lebih lanjut, David menjelaskan bahwa penelitian yang ia dan tim lakukan menggunakan teknik survey. Responden dipilih secara purposif. Mereka adalah para pemilih di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Kulonprogo. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara, sehingga data yang diperoleh merupakan data kualitatif dan kuantitatif. Temuan penelitian ini salah satunya yang penting adalah menguatkan teori bahwa calon petahana mempunyai peluang yang besar untuk menang kembali. Sebab, mereka memiliki keunggulan (incumbency advantage), yang tidak dimiliki oleh calon non-petahana. Keunggulan yang dimaksud diantaranya kepopuleran, akses terhadap sumber daya negara, akses informasi dan kemampuan untuk melakukan mobilisasi birokrasi dan media. Hal ini terbukti dari jawaban para responden yang akan memilih calon yang telah memiliki pengalaman pemerintahan. Artinya, hanya para petahana saja yang memiliki kualifikasi itu. Sekalipun begitu, lanjut David, temuan penelitian khususnya responden di Kota Yogyakarta, mengindikasikan bahwa pada dasarnya responden tidak terlalu puas dengan kinerja petahana, tetapi anehnya mereka tetap saja akan memilih mereka.
Sementara itu, Tunjung Sulaksono menyoroti kepetahanana dan demokrasi di negara-negara demeokrasi baru. Menurutnya, kepetahanaan di negara-negara demokrasi mapan tidak menjadi masalah bagi perkembangan demokrasi. Ada atau tidak ada incumbency advantage demokrasi tetap berjalan dengan baik. Akan tetapi hal yang sebaliknya dapat saja terjadi di negara-negara demokrasi baru. Incumbency dapat menjadi masalah karena memunculkan permasalahan yang merongrong demokrasi. Diantaranya munculnya korupsi politik dan penyalahgunaan wewenang berupa mobilisasi birokrasi dan dana publik untuk mendulang suara. Tunjung menyimpulkan kepetahanaan menjadi tidak masalah bagi demokrasi jika insfrastruktur dan suprastruktur demokrasi di sebuah negara telah terkondisikan dengan baik.
Mada Sukmajati menyoroti dua sisi penting pada literatur tentang kepetahanaan yang saling berlawanan, yaitu keunggulan kepetahanaan (advantage incumbency) dan kutukan kepetahanaan (curse incumbency) di negara-negara demokrasi mapan. Sisi pertama para petahana memiliki keunggulan scare-off effect atau efek untuk membuat lawannya enggan untuk maju menjadi pesaing. Hal inilah yang terjadi, terutama di daerah-daerah dengan calon tunggal. Sedangkan kutukan bagi para petahana adalah reputasi mereka menjadi bahan bakar bagi para pesaing. Para pesaing dengan mudah mengeksplorasi sisi kelemahan dari para petahana untuk mendulang suara pemilih. Tetapi, di atas itu semua, tetap saja para petahana lebih banyak mendapat keunggulan dari calon non-petahana. Buktinya, 68 persen berbanding 42 persen petahana terpilih kembali dari pada petahana yang tidak terpilih kembali pada Pilkada serentak 2015. Yang menarik dari pemaparan Mada adalah penyelenggaraan Pemilu yang berintegritas akan mengurangi keunggulan yang dimiliki oleh petahana. Penjelasannya, semakin Pemilu berjalan jujur dan adil kecenderungan akan memperkecil peluang petahana terpilih kembali.
Kesimpulan penting dari seminar ini adalah diskusi tentang kepetahanaan sangat menarik untuk dieksplorasi lebih jauh khususnya dalam era demokrasi elektoral di Indonesia. Literatur-literatur yang tersedia tentang kepetahanaan lebih banyak merujuk fenomena di negara-negar Amerika Utara dan Eropa Barat. Padahal fenomena kepetahanaan di Indonesia berbeda dengan yang terjadi di negara-negara itu. Misalnya, untuk mendefinisikan petahana di Indonesia diperlukan penjelasan apakah hanya merujuk pada kepala daerah atau wakil kepala daerah. Atau elit birokrasi (sekda, misalnya) yang bertarung dalam Pilkada juga dapat disebut sebagai petahana. Dan masaih banyak hal lain yang menantang bagi ilmuwan politik untuk mengeksplorasi lebih jauh tentang fenomena kepetahanaan.

Ditulis oleh SUBHAN PURNO AJI