Rabu, 24 Agustus 2016

CATATAN DARI HASIL DISKUSI “JOKOWI AND POST-ELECTORAL LEGITIMACY”

Tulisan ini adalah catatan atas hasil diskusi “Jokowi and Post-Electoral Legitimacy” dengan pemateri Wawan Mas’udi (Ph.D Cand), staf pengajar Departemen Politik dan Pemerintahan UGM, Rabu (24/8). Masa pemerintahan Jokowi di Solo menjadi fokus studi Ph.d Wawan Mas’udi. Wawan bercerita awalnya ia mengambil tema “Local Populism in Decentralised Indonesia”, yang kurang lebih melihat kemunculan pemimpin populis dalam politik lokal di Indonesia pasca 1998. Mengapa Solo? Alasan sederhana baginya adalah bahwa legitimasi elektoral pasangan Jokowi-Rudi pada Pilkada 2010 untuk periode keduanya mencapai lebih dari 90 persen, suatu hasil yang belum ada presedennya di daerah lain.
Wawan menjelaskan populisme awalnya muncul sebagai hasil refleksi dari kemunculan Jimmy Carter dalam kancah politik di Amerika Serikat akhir 1970-an. Carter menjadi presiden Amerika Serikat (1978-1982) membawa gaya yang berbeda dalam kemapanan politik di negeri itu. Ia lahir bukan dari keluarga kelas elit atau keluarga politisi seperti pada umumnya politisi di Negara Paman Sam itu. Carter adalah seoarang petani (kacang, gandum dll) dan berhasil mencapi puncak karirnya sebagai politisi. Carter, saat itu, seolah mencerminkan wajah orang Amerika pada umumnya dan mewakili orang biasa dalam politik di Amerika Serikat. Populisme di maknai sebagai gaya pemimpin politik yang secara langsung mewakili rakyat. Selanjutnya politik populisme lebih menonjol untuk menjelaskan kemunculan pemimpin-pemimpin politik di Amerika Selatan beberapa tahun setelah kemunculan Carter.
Politik populisme yang diangkat oleh Wawan memberikan penekanan bukan kepada figur, sebagaimana yang terjadi pada kasus lain, seperti pemimpin-pemimpin politik di Amerika Latin dari Peron, Chavez sampai Evo Moralez misalnya, akan tetapi populisme di Solo harus diletakan pada konteks masyarakat Solo yang telah memiliki sejarah politik panjang antagonisme elit-massa, priyayi-kawula, pengusaha pribumi-non-pribumi, dan keraton-rakyat. Beberapa peristiwa masa lalu, seperti peritiwa geger pecinan, kemunculan SI/SDI dan kerusuhan 1998 dapat menjelaskan bahwa pada dasanya di Solo, pada titik tertentu, telah muncul kesadaran tentang “active citizen”, yang dikemudian hari menjadi sangat penting dalam munculnya populisme pada post-1998/1999 dan dilanjutkan dengan era desentralisasi.
Akan tetapi, setelah mengumpulkan data, termasuk mewancarai berbagai narasumber, Wawan mulai ragu dengan asumsinya tentang politik populisme. Jika populisme sebagai gaya politik Jokowi memimpin Solo kurang lebih selama 7 tahun (2005-2012), dapat dikatakan itulah populisme. Ia semakin ragu dengan asumsi bahwa jika populisme merupakan sebuah antagonimse, maka seharusnya antagonisme atas apa. Jawabannya bisa jadi atas kepemimpinan Walikota sebelumnya, Slamet Suryanto, yang dalam banyak hal tidak menjawab kebutuhan masyarakat Solo. Tetapi jika dilihat dari faktor kebijakan, kebijakan-kebijakan populis Pemkot Solo selama kepemimpinan Jokowi dalam banyak hal bukan kebijakan yang sama sekali baru. Bahkan kebijakan konkrit tentang jaminan kesehatan, pendidikan dan transparansi anggaran bahkan bukan dari janji kampanye untuk Pilkada pada periode pertamanya. Dari hal itu nampak bahwa faktor kebijakan, belum cukup menjadi penjelas tentang politik populisme. Tetapi jika ditelusuri lebih lanjut tentang bagaimana proses governing, dan bagaimana cara Jokowi dalam mengelola banyak konflik kepentingan di Solo, menunjukkan gejala bahwa hal itu lebih lebih sebagai gejala bagaimana seorang aktor politik sedang membangun legitimasinya. Oleh karena itu, Wawan mulai berpikir untuk berubah haluan dalam studinya untuk mengarahkan kepada seputar bagaimana legitimasi dibangun dan dipertahankan. Mulai saat itu, Ia mulai membuka-buka lagi tulisan-tulisan legitimasi dari Seymour Martin Lipset dan tentu saja Max Weber.
Wawan yang mengaku beruntung karena awalnya belajar di Universitas Victoria dan akhirnya lulus di Universitas Melbourne, mengatakan bahwa sekalipun legitimasi dapat diukur sejauhmana output kebijakannya (kesejahteraan, pelayanan publik dll), tetapi hal itu terbatasi oleh konteks yang ada. Bahwa jika output kebijakan yang memihak pada rakyat kebanyakan otomatis dapat memberikan legitimasi yang lebih kuat sebagaimana teori modernisasi Lipset-ian mengatakanya memang dapat dikatakan begitu. Akan tetapi, bagi Wawan dalam banyak hal, kebijakan di Solo selama era Jokowi tidaklah cukup untuk menjelaskan kuatnya legitimasi pemimpin politik yang saat ini menjadi Presiden ke-7 Indonesia itu. Ada konteks, yakni Kota Solo, dimana menjadi panggung politik Jokowi. Kota yang memiliki kekhasan dalam sejarahn sosial-politiknya yang panjang. Wawan mengatakan bahwa Jokowi juga memainkan apa yang disebut governing interest dan manipulating conflict of interest, yakni kemampuan untuk dapat mengelola konflik dan kepentingan diantara pihak-pihak yang ada. Hal itu nampak, misalnya, dalam relokasi PKL dengan kirab budaya. Relokasi PKL belum tentu memberikan dampak yang positif secara ekonomi bagi semua PKL itu sendiri, tetapi proses negosiasi relokasi yang bertahap dan sampai pada akhirnya para PKL mau untuk direlokasi dengan kirab budaya, menunjukkan betapa kemampuan untuk mengelola konflik dan memanipulasi (dalam artian yang netral) simbol-simbol budaya Jawa untuk meredakan konflik adalah kemampuan yang dimiliki oleh Jokowi. Dan dengan hal itu dia dapat membangun legitimasi yang kuat di Solo. Dan kasus Jokowi di Solo menjelaskan bahwa legitimasi merupakan proses kreasi dan dikreasikan kembali tergantung dari kenteks yang ada. "Ia contextual bounded", ujar wawan.
Ditulis oleh SUBHAN PURNO AJI

Minggu, 24 Juli 2016

"NEGARA BAYANGAN" DAN KORUPSI POLITIK

Review William Reno “Chapter I Informal markets and The Shadow State: Some Theoritical Issues”. In William Reno. 1995. Corruption and State Politics in Sierra Leone. Cambridge University Press: Cambridge.

Karya William Reno ini memberikan gambaran penting tentang paradoks di negara-negara yang kaya akan sumber daya alam tetapi kesejahteraan masyarakatnya masih absen. Melalui karya ini William Reno memberikan penjelasan tentang kondisi sosial-politik dan dinamika kekuasaan di Sierra Leone, salah satu negara penghasil berlian di Afrika. Kasus Sierra Lione memberikan salah satu penjelasan menarik betapa sumber daya alam yang besar, di kelola oleh segelintir orang di dalam tata kelola negara yang amburadul. Hasilnya adalah sebuah paradoks. Kekayaan alam yang besar menjadi kutukan bagi rakyatnya, natural resources curse. Akses pengelolaan pertambangan berlian yang semestinya menjadi bagian dari tugas struktur-struktur formal negara, tetapi malah digantikan oleh struktur informal di luar negara. Kondsi inilah yang dilabeli Reno sebagai “negara bayangan” (shadow state). Reno menuliskan :
“...elsewhere i call this shadow state, a very real, but not formally recognized, patronage system that was rigidly organized and centered on rules control over resources” (Reno, 1995: 2)

Reno lebih lanjut menilai bahwa tumbuh-suburnya “negara bayangan” ini sebagai akibat dari pelapukan fungsi struktur-struktur formal negara yang akut, sehingga dengan kondisi itu dengan leluasa intitusi-institusi informal dengan mudah mengambil alih fungsi struktur formal. Celakanya, pengaturan oleh negara bayangan ini bukan untuk menggantikan struktur formal negara dalam menjalankan tugas menciptakan kesejahteraan, tetapi sebaliknya menjadi predator dan pemburu rente atas hasil sumber daya negara. Kondisi inilah yang dipaparkan Reno dalam karyanya itu.
Dalam menjabarkan cara bekerjanya “negara bayangan” bayangan ini Reno melihatnya dalam dua pendekatan, yaitu pendekatan state-centered dan society-centered. Pendekatan pertama mencoba melihat bahwa kondisi munculnya “negara bayangan” sebagai akibat dari tidak berfungsinya struktur pemerintahan “resmi”. Kondisi itu kemudian diberi label negara lemah (weak state). Pandangan ini menggambarkan kondisi institusi-institusi negara yang tidak dapat mengeluarkan kebijakan publik yang bagus (bad policy), sehingga tidak mampu menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi. Pelapukan fungsi negara tersebut dikarenakan terjadi pembusukan dalam organisasi birokrasi itu sendiri. Jaringan klientelisme yang predatoris dengan memanfaatkan sumber daya negara untuk diri mereka sendiri inilah yang semakin memperparah kondisi struktur resmi negara. Dalam situasi itu, kehadiran lembaga-lembaga donor internasional, seperti Wolrd Bank dan IMF justru semakin memperparah kondisi. Sebab mereka tidak melihat “penyakit” sesungguhnya, yaitu pada relasi kekuasaan yang predatoris. Akibatnya manakala mereka memberikan “resep obat” melalaui serangkaian reformasi kelembagaan tidak menyelesaikan akar masalahnya. 
Kedua, pendekatan society-centered. Melalui pendekatan ini Reno melihat bahwa semakin otonomnya pasar informal dalam menjalankan aktifitas-aktifitas ekonomi. Sudah dapat ditebak apa yang terjadi jika pasar dibiarkan mengatur dirinya sendiri. Yang terjadi adalah demi pengejaran keuntungan sebesar-besarnya, maka aktor-aktor di dalamnya melakukan transaksi-transaksi ekonomi yang illegal. Mereka berusaha untuk survive dengan keuntungannya masing-masing. Demi mendapatkan keuntungan, tak jarang hasil-hasil yang didapat dari akifitas pertambangan di ekspor ke luar negeri tanpa adanya intervensi negara melalui pajak dan bea. Hal ini selain karena lemahnya fungsi negara, juga terjadi “kong-kalikong” dengan aparat birokrasi negara. Pengaturan-pengaturan inilah yang semakin menguatkan akan kehadiran “negara bayangan” di Sierra Lione.
Dengan demikian, tulisan Reno dapat disimpulkan sebagai ketidakberdayaan negara dalam menjalankan fungsi-fungsinya. Ketidakberdayaan itu sendiri karena fungsinya sengaja dilucuti oleh aktor-aktor negara itu sendiri melalui pembusukan birokrasi dan korupsi. Di tambah lagi dengan semakin “ganasnya” pengaturan aktifitas-aktifitas ekonomi melalui pasar informal yang telah mengarah kepada transaksi yang illegal dengan “izin” negara. Yang terjadi di Sierra Lione adalah presiden yang korup, dimana manakala investor datang untuk menanamkan investasinya dalam pertambangan berlian justru tidak disalurkan dalam pengaturan yang resmi, tetapi malah diatur melalui institusi yang informal, suatu “negara bayangan”.

 Shadow State” dan Korupsi di Indonesia
Melalui penjelasan dan operasionalisasi argumen “negara bayangan” di Sierra Lione, Reno memberikan pijakan akademik yang sangat kuat tentang kajian korupsi di negara-negara yang kaya akan sumber daya alam, termasuk Indonesia, negara dengan sumber daya alam yang berkelimpahan. Konsep “negara bayangan” Reno sangat relevan untuk dipungut menjadi konsep penjelas muncul dan berkembangnya korupsi di Indonesia.
Salah satu yang muncul menjadi bahasan akademik yang menarik adalah tumpang tindihnya antara pemerintahan formal dan informal di tingkat lokal di Banten, salah satu provinsi hasil pemekaran pertama pasca Orde Baru. Disana muncul pengaturan yang melibatkan aktor non-negara dalam pengambilan kebijakan publik, dimana output kebijakan yang seharusnya bermuara pada pelayanan publik, tetapi yang terjadi adalah pengaturan societal actor (dalam hal ini jawara-pengusaha) dengan state actor (penyelenggara negara) untuk kepentingan diri mereka sendiri. Elit masyarakat ini justru lebih banyak mengintervensi aneka kebijakan publik untuk kepentingannya sendiri. Mereka mengembangkan mekanisme jaringan informal antara state actor dan non-state actor untuk mengeruk sumber daya ekonomi dan politik negara. Pola ini disebut “shadow state”, dimana kaburnya pengaturan-pengaturan formal dan informal serta aktor non-negara mengintervensi proses kebijakan publik untuk diri mereka sendiri (Hidayat, 2007). Alih-alih koordinasi antara aktor negara-non negara dibingkai oleh apa yang “good governance” yang muranya adalah kebaikan bersama, tetapi yang terjadi adalah “negara bayangan” yang dengannya urusan publik diatur sedemikian rupa oleh para elit. Semua itu beriringan dengan masih lemahnya institusi negara, sehingga institusi informal berkelindan dengan institusi formal tetapi menghasilkan pola yang bukan malah saling melengkapi untuk kebaikan publik, tetapi malah pola yang substitusi (institusi formal digantikan oleh institusi informal). Saling pengaruh tersebut sayangnya berjalan dalam proses yang kedap terhadap partisipasi dan miskin akuntabilitas.
Temuan-temuan penting Hidayat yang telah tekun meneliti perkembangan “negara bayangan” di Banten terkonfirmasi dengan penetapan tersangka Ratu Atut Choisiyah, penerus generasi jawaran-pengusaha di Banten. Atut ditetapkan sebagai tersangka karena berusaha untuk menyuap hakim konstitusi dalam penyelesaian perkara Pilkada untuk memenangkan salah satu kroninya.
Celakanya, pola-pola semacam itu tidak hanya terjadi di Banten, tetapi juga banyak terjadi di tempat lain ketika model governance diterapkan (Nordholt dan Klinken: 2007). Inilah paradoks yang terjadi di Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA

Hidayat, Syarif. 2007. “Shadow State...? Bisnis dan Politik di Provinsi Banten”. Dalam Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken. Politik Lokal di Indonesia. KITLV-Yayasan Obor Indonesia: Jakarta.
Nordholt, Henk Schulte dan Gerry van Klinken. 2007. Politik Lokal di Indonesia. KITLV-Yayasan Obor Indonesia: Jakarta

Reno, William. Corruption and State Politics in Sierra Leone. Cambridge University Press.

Disusun oleh SUBHAN PURNO AJI sebagai tugas matakuliah Kajian Politik Indonesia Oktober 2015

Senin, 30 Mei 2016

GERRYMANDERING: SIASAT “MENGUTAK-ATIK” DAERAH PEMILIHAN

Pemilu, seperti halnya permainan, selalu ada pihak yang mencoba memanipulasi aturannya untuk memenangkan pihak tertentu sembari mengecoh, mencegah dan mengebiri pihak lainnya untuk memenangkan Pemilu. Adalah Elbridge Gerry (1744-1814), Gubernur Massachussets, negara bagian di Amerika Serikat, yang ̶ sengaja ̶ melakukan praktek yang bermaksud untuk memberikan keuntungan untuk  parpolnya dengan memanipulasi  batas wilayah (district boundaries). Ceritanya, diawali dari diadopsinya wewenang dalam konstitusi bahwa penentuan daerah pemilihan dilakukan oleh legislatif yang didominasi oleh Partai Republik pada tahun 1812. Tetapi anehnya dapil yang dibentuk itu berbentuk anah dan mencang-mencong (contorted), seperti hewan Salamander (sejenis kadal). Ternyata, pendapilan (districting) itu dirancang untuk meningkatkan kontrol atas hasil Pemilu yang menguntungkan Partai Republik. Jadilah, gerrymandering menjadi istilah jamak untuk mewakili segala bentuk manipulasi pendapilan, padahal belum tentu si Gubernur yang pertama kali melakukannya, tetapi toh praktik culas semacam itu dilekatkan dengan namanya.
Demikian salah satu inti paparan Keke Eskatario pada matakuliah Perbandingan Sistem Pemilu, Wilayah penyelenggaraan dan pengawasan Pemilu, yang diampu oleh Dr.rer.pol Mada Sukmajati, MPP. Keke lebih lanjut menjelaskan bahwa gerrymandering menyebabkan ketidakadilan (malapportionment). Sebab, pemilih seharusnya dapat memilih wakilnya sesuai dengan preferensi mereka, tetapi karena dimanipulasi oleh pengkotak-kotakan dapil, suaranya menjadi tidak berguna. “Praktek perwakilan politik menggunakan gerrymandering dan malapportionment digunakan untuk mencoba mempertahankan kekuasaan (bagi incumbant)”, tegas peserta beasiswa TKP asal Bawaslu RI ini.
Praktek gerrymandering lebih berpengaruh jika digunakan pada Pemilu dengan sistem pemenang tunggal (single winner voting system), dimana hanya satu calon yang berhak menjadi wakil pada dapil tersebut, tetapi tidak begitu berpengaruh pada sistem perwakilan berimbang, yang biasanya satu dapil diwakili lebih dari satu calon dengan proporsi yang berimbang.
Adapun beberapa strategi gerrymandering, lanjut Keke, yang saat ini sering dipraktikkan, yaitu cracking (menyebar pemilih dengan tipe tertentu kedalam banyak distrik), packing (memusatkan banyak pemilih yang memiliki tipe sama kedalam satu distrik pemilihan tunggal, untuk mengurangi pengaruh mereka di distrik lain), hijacking (menggambar ulang dua distrik jadi satu distrik untuk memaksa dua incumbent dari partai politik yang sama untuk saling bertarung dalam satu distrik dan memastikan bahwa salah satu dari mereka akan kalah) dan kidnapping (bertujuan untuk memindahkan area di mana seorang pejabat terpilih yang memiliki dukungan yang signifikan  distrik yang lain, sehingga lebih sulit untuk memenangkan pemilu mendatang dengan pemilih baru).

Efek, Bentuk dan Pencegahannya
Gerrymandering, kata Keke, memberikan efek yang cenderung negatif karena sifatnya yang manipulatif. Meskipun dapat meningkatkan kompetisi antara partai politik tetapi kompetisi dalam arti tidak harus parpol yang memiliki  pendukung banyak untuk menang pemilu, partai yang mempunyai dukungan sedikit cukup mengutak-atik distrik untuk menang. Selain itu, gerrymandering akan sangat menguntungkan incumbent dalam kampanye dan menghemat biaya politik mereka. “Incumbent yang mempunyai akses terhadap kekuasaan dalam hal ini mengutak-atik dapil akan diuntungkan karena bisa merekayasa dapil berdasarkan basis dukungannya, sehingga tidak perlu tenaga dan cost politics lebih besar ketika berkampanye di dapil yang mayoritas merupakan basis dukungannya”, ujar Keke. Yang pasti, lanjut Keke, menciptakan less representation, representasi berdasarkan rekayasa, bukan representasi yang fair dan sesungguhnya.
Bentuknya, pertama, partisan gerrymandering, yakni pembentukan daerah pemilih sepanjang basis pendukung/partisan. Kedua, rasial gerrymandering, yaitu pembentukan dapil sepanjang basis rasial, banyak ras mayoritas bisa memilih secara solid, ras minoritas disebar diantara distrik-distrik yang lain untuk memeatsikan mereka tidak bisa memilih kandidat mereka secara solid. Ketiga, incumbent protection gerrymandering, yaitu distrik yang yang sengaja direkayasa agar menguntungkan atau melindungi incumbent  agar terus dominan.
Lalu mencegahnya dapat dilakukan dengan pendapilan ulang oleh lembaga netral yang tidak punya kepentingan (independen) atau lembaga yang terdiri dari lintas parpol (sehingga distrik adalah hasil kesepakatan dan bisa saling mengontrol ketika proses pembentukan distrik. Ini dilakukan di Inggris dan Jerman dengan pembentukan lembaga khusus untuk mengurusi dapil. Kemudian dapat juga dilakukan dengan penyusulan regulasi yang transparan atau dengan cara merubah sistem pemilihan, menggunakan sistem semi-proportional (Single Non-Transverable Vote [SNTV] atau  cumulative voting, yang juga mengurangi  proporsi sisa suara terbuang, misalnya). Dapat juga menggunakan model distrik tetap, setiap Pemilu dapil tidak diubah. Gerrymandering juga dapat dicegah dengan peciptaan aturan yang obyektif atau dengan bantuan teknologi database.
Keke menambahkan bahwa di Indonesia gerrymandering bisa saja terjadi namun belum ada studi ilmiah yang membahasnya tetapi terjadi karena faktor ketidaksengajaan. Kalaupun terjadi, efeknya dikurangi dengan sistem Pemilu perwakilan berimbang.

KEKE ESKATARIO dan SUBHAN PURNO AJI

Selasa, 17 Mei 2016

KAJIAN PARTAI POLITIK DI INDONESIA: ANTARA INSTITUSIONALISASI DAN KARTELISASI


Review
Marcus Mietzner, Money, Power and Ideology: The Political Parties in Post Authoritarian Indonesia “Introducton: Political Parties in Indonesia Domestic, Regional and Global Pattern”. Singapore: National University of Singapore Press.
Runtuhnya Orde Baru telah memberikan struktur peluang bagi munculnya partai politik. Tak kurang dari 141 partai politik mendaftarkan diri, tetapi hanya 48 diantaranya yang berhak mengikuti Pemilu 1999, Pemilu pertama era reformasi. Harapan publik membuncah terhadap partai-partai politik tersebut untuk memperbaiki keadaan. Hal itu ditunjukkan dengan tingkat partisipasi dalam Pemilu 1999 yang mencapai lebih dari 90 persen. Apalagi sebagian besar para pemimpin partai-partai politik tersebut adalah tokoh yang turut membidani lahirnya reformasi, selain memang mereka memiliki banyak pengikut di akar-rumput.
Namun demikian, lebih dari satu dekade kemudian harapan besar publik terhadap partai politik harus bertepuk sebelah tangan. Anggapan publik terhadap partai politik sebagai aktor protagonis di awal reformasi berubah menjadi antagonis sepuluh tahun kemudian. Sebagian besar responden menganggap partai politik−bersama parlemen yang di dalamnya terdapat perwakilan anggota partai politik−sebagai lembaga publik terkorup dan biasanya selalu mendapatkan rangking paling buncit jika dibandingkan dengan lembaga lain dalam hal kepuasan publik. Bahkan dalam hal “taat” atau tidaknya dalam menjalankan nilai-nilai Pancasila, partai politik dan sekali lagi bersama DPR, dicap oleh publik sebagai lembaga yang paling tidak pancasilais (KOMPAS, 1 Juni 2015). Artinya, ada sesuatu yang salah dalam lembaga partai politik atau bahkan lebih luas lagi pada sistem kepartaian yang ada. Hal inilah yang mengundang banyak pengamat untuk mencoba menjelaskan munculnya sinisme publik terhadap wajah kepartaian Indonesia pasca-Orde Baru.
Paling tidak ada dua madzhab yang mendominasi dalam diskusi akademik kepartaian di Indonesia pasca-Orde Baru. Pertama adalah madzhab institusionalisasi partai. Kurang lebih madzhab ini menganggap bahwa partai politik di Indonesia miskin kelembagaan (poorly institutionalized), elitis, dan tidak menancap di akar-rumput. Kedua adalah madzhab yang disebut kartelisasi. Madzhab ini menaruh perhatian pada pola aliansi kolusif diantara mereka dalam upaya untuk menguras sumberdaya-sumberdaya negara, ketimbang berkompetisi dalam merebut simpati publik.

Buku Marcus Mietzner ini berusaha untuk keluar dari dua aliran dominan tersebut dan menawarkan kerangka kerja alternatif. Adapun karakteristik pokok dua kecenderungan dominan dalam studi kepartaian di Indonesia adalah sebagai berikut:
Dengan melihat perkembangan partai politik dan membandingan partai politik di kawasan Asia Timur-Tenggara, negara-negara demokrasi baru (Eropa Timur dan Amerika Selatan) dan negara-negara demokrasi maju (Eropa Barat) Mietzner menilai bahwa kecenderungan degradasi partai politik sama sekali bukanlah khas Indonesia. Ia merupakan kecenderungan yang juga ditemukan di kawasan Asia Timur-Tenggara dan juga lazim tidak hanya di negara-negara demokrasi baru, tetapi juga di negara demokrasi yang telah mapan. Di kawasan Asia Timur dan Tenggara, misalnya, indeks total volatilitas bersih yang dapat mengukur tingkat fluktuasi hasil Pemilu masih tinggi. Semakin tinggi nilainya semakin tinggi pula fluktuasi hasil Pemilu yang terjadi. Indeks itu menunjukkan masih unstable-nya sistem kepartaian di negara-negara kawasan Asia Timur dan Tenggara. Di Korea Selatan, Filipina dan Thailand, misalnya, nilainya masih tinggi, masing-masing memiliki skor 75, 51 dan 39, jauh di atas skor di negara-negara demokrasi maju yang berkisar antara 12,5 sampai dengan 44. Tidak hanya soal nilai kuantitatif untuk mengukur institusionalisasi kepartaian, soal adanya personalisasi figur, dengan menjadikan partai politik sebagai kendaraan patron untuk memobilisasi dukungan klientelistik dalam Pemilu juga−sekali lagi−tidak khas Indonesia. Tetapi  hal itu jamak ditemukan di negara lain di kawasan ini.
Melalui kajian komparatif dan debat perkembangan partai politik di negara lain, Mietzner juga menilai penting untuk memasukkan faktor ideologi dan faktor fungsional dalam kajian kepartaian Indonesia. Berbeda dari pemahaman madzhab kartelisasi, Mietzner memandang ideologi masih mengkondisikan perilaku partai politik dalam interaksinya dengan partai politik lain. Melalui kajian ini Mietzner seolah ingin membantah para penganjur teori kartel bahwa ideologi belum berakhir (postponed end ideology) (Tomsa, 2014).
Lebih jauh, Mietzner juga tidak sepenuhnya sepakat dengan madzhab institusionalisasi. Menurutnya, indikator kuantitatif yang digunakan bisa memiliki potensi yang menyesatkan. Tanpa disertai dengan pemahaman yang utuh, strong atau weak yang biasanya menjadi penanda madzhab ini, menjadi tidak relevan jika tidak dikaitkan dengan penejelasan yang sifatnya kualitatif. Sebab kondisi sejarah, budaya, sosial, ekonomi di masing-masing negara berbeda. Masih di sekitar madzhab institusionalisasi, Mietzner juga menemukan bahwa indikator-indikator deinstitutionalization tidak hanya ditemukan di negara-negara demokrasi baru, tetapi juga di negara-negara dengan demokrasi mapan (advanced democracy). Dengan begitu, asumsi teoritik ihwal trajektori yang linier dari weak menuju strong institutionalization, dari negara dengan demokrasi baru menuju demokrasi mapan, menjadi kehilangan relevansinya dalam kajian institusionalisasi partai. Ia menjadi telah kehilangan watak telelologisnya.
All in all, kajian Mietzner ini merupakan karya yang sangat bagus; dan bagi siapapun yang akan mengkaji partai politik di Indonesia direkomendasikan membaca buku ini. Meskipun begitu, Dirk Tomsa (2014), pengkaji partai politik lainnya, memberikan kritik terhadap karya Mietzner ini. Pertama, Mietzner melakukan oversimplifikasi dengan menggunakan kategori institusionalisasi secara reduksionis. Misalnya, pada awalnya dia memisahkan antara institusionalisasi partai dan sistem kepartaian, tetapi selanjutnya keduanya digunakan secara bergantian. Selain itu, ada tendensi menyamakan teori institusionalisasi dengan analisis yang semata kuantitatif. Padahal dalam kasus institusonalisasi, dapat juga digunakan baik pendekatan kualitatif maupun pendekatan campuran. Kedua, kajian Mietzner ini dinilai terlalu Jakarta-centris. Hal ini terlihat dari fokus dan pemilihan para informannya yang sebagian besar adalah “orang pusat” di Jakarta. Pengabaian pada konteks lokal mengakibatkan kesimpulan Mietzner tentang meningkatnya stabilitas sistem kepartaian, profesionalisasi infrastruktur internal partai, penggunaan sosial media dan “penundaan keberakhiran ideologi” partai masih harus diuji di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Singkatnya, menurut Tomsa, Mietzner menghilangkan penjelasan tentang bagaimana dan dalam kondisi apa perkembangan di tingkat nasional tercermin di tingkat lokal.

Partai Politik: Optimisme vs Pesimisme
Buku Mietzner ini tidak hanya memberikan perspektif baru terhadap kajian partai politik di Indonesia kontemporer, tetapi juga memberikan catatan yang lebih kurang “optimistis” terhadap masa depan partai politik dan demokratisasi Indonesia. Berbeda dengan kajian tentang partai politik lain yang cenderung pesimistis, kajian Mietzner memproyeksikan ada sedikit harapan untuk partai politik di Indonesia. Lebih dari itu, Mietzner bahkan menilai institusionalisasi kepartaian di Indonesia “lebih baik” jika dibandingkan dengan negara di kawasan Asia Tenggara dan kawasan demokrasi baru lainnya.
Kesimpulan yang lebih optimis itu sebagai konsekuensi dari diadopsinya pendekatan komparatif dari kajian ini. Melalui pemataan dan analisis yang seksama di berbagai negara baik yang baru mengadopsi sistem politik demokrasi maupun negara yang telah mapan demokrasinya, Mietzner menemukan bahwa ada keresahan yang sama tentang idealitas dan fakta empirik partai politik di masing-masing negara/kawasan. Sehingga “cap buruk” partai politik bukan merupakan monopoli Indonesia, tetapi fakta yang jamak, bahkan di negara-negara yang dianggap advanced democracy. Meskipun begitu, optimisme yang dibangun dari argumen Mietzner hendaknya tidak mengabaikan tentang masih banyaknya PR yang harus di seleaikan oleh partai politik, seperti mal-fungsinya dalam sistem politik, kecederungan munculnya oligarki dalam partai politik, praktik koruptif-predatoris dan kegagalan dalam membangun basis di level akar-rumput.
Sejengkel-jengkelnya penilaian terhadap partai poltik dalam konteks sistem politik yang demokratik, partai politik tetaplah menjadi pemain kunci dalam menjalankan fungsi mediatorik masyarakat-negara dan−terutama−fungsi rekruitmen dalam pengisian jabatan-jabatan publik. Dengan kata lain, dalam sistem politik demokratik, sudah ada fait accompli mau tidak mau harus menerima partai politik sebagai fakta demokrasi. Oleh sebab itu, yang perlu dibangun dari publik bahwa jangan hanya menyalahkan partai politik sebagai biang keladi dari seluruh kegagalan pembangunan demokrasi di Indonesia sembari alpa untuk memberikan dukungan bagi eksistensi mereka, tetapi juga diimbangi dukungan agar mereka memperbaiki diri dan mengapresiasi pencapaian yang telah mereka lakukan selama ini. Celakanya, seringkali yang diserap oleh publik melalui penggiringan opini di media adalah melulu soal disfungsi dan watak koruptif partai tanpa ada pemahaman yang utuh tentang peran partai dalam sistem politik di Indonesia.
Di atas itu semua, melalui konsepsi institusionalisasi dan kartelisasi serta kerangka kerja alternatif yang ditawarkan Mietzner, menjadi terang duduk perkara permasalahan kepartaian di Indonesia. Salah satu yang muncul setelah mengkaji secara detail tentang pola politik kartel dalam diri partai politik adalah kendala pembiayaan partai politik. Dari pintu ini dapat disibak mengapa dan dalam kondisi apa muncul dan persistensinya praktek koruptif yang dilakukan oknum anggota partai ataupun tampilnya pengusaha-politisi dalam struktur inti partai. Itu semua sebagai lojik dari permaslahan di hulu: perlunya biaya untuk menopang kerja-kerja partai politiks.

DAFTAR PUSTAKA
Tomsa, Dirk. 2014. “Review: Money, power and ideology in Indonesia’s political party system”. In Inside Indonesia 116: Apr-Jun 2014. http://www.insideindonesia.org/review-money-power-and-ideology-in-indonesia-s-political-party-system. Diakses tanggal 22 November 2015.

Disusun oleh SUBHAN PURNO AJI untuk memenuhi salah satu tugas matakuliah Kajian Politik Indonesia, Nopember 2015

Senin, 16 Mei 2016

POLITIK INDONESIA PASCA ORDE BARU: OLIGARKI ATAU NON OLIGARKI?


Perdebatan akademik seputar kepolitikan Indonesia pasca Orde Baru berkisar tentang siapa yang memegang kendali perubahan dan bagaimana karakter demokrasi Indonesia. Salah satu perdebatan yang muncul adalah perdebatan tentang argumen oligarki dan non-oligarki. Munculnya dua argumen ini tidak dapat dilepaskan dari kajian yang mencoba mengaitkan antara kekayaan material, ketimpangan dan kekuasaan.
Argumen oligarki secara kasar mengandaikan bahwa kepolitikan Indonesia era reformasi tidak banyak berubah dibandingkan dari era sebelum runtuhnya Orde Baru. Sejak 1998 memang Indonesia telah bergeser dari negara otoritarian menjadi negara demokratis, tetapi sekelompok individu masih bercokol dan memegang kendali atas sumberdaya-sumberdaya penting. Dan celakanyan individu-individu tersebut merupakan aktor lama yang “dicangkok” sejak era Soeharto. Jadi, dengan kata lain, Indonesia hari ini adalah “Orde Baru” dengan bungkus yang berbeda, isinya nyaris sama tetapi kulitnya saja berbeda.
Argumen oligarki ini cenderung pesimistis dalam memandang demokratisasi di Indoensia. Seruan ini nyaring didengungkan oleh orang-orang seperti Richard Robison dan Vedi R. Hadiz melalui karya-karya mereka, terutama kolaborasi keduanya dalam Reorganizing Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in Age of Market (2004). Selain mereka indonesianis lainnya, Jeffrey Winters, juga menulis Oligarchy (2011). Singkatnya ketiga orang ini menempatkan kajian politik Indonesia menggunakan pendekatan ilmu politik, ekonomi-politik, sosiologi dan di atas itu semua berada pada tradisi pemikiran teori elit.
Di spektrum yang lain, argumen non-oligarki mengandaikan bahwa kepolitikan Indonesia terlalu disederhanakan hanya pada penguasaan oleh segelitir kelompok elit (oligarki). Mereka menguasi sebagian besar kelompok, dimana modusnya adalah menggabungkan pencarian kekayaan dan kekuasaan politik (untuk diri mereka sendiri). Mereka berargumen bahwa kepolitikan Indonesia merupakan hasil dari dinamika banyak aktor yang menentukan keluaran (output) politik. Argumen ini kemudian menyebut dirinya sebagai pendekatan pluralis, sembari terus menyerukan pencarian kekayaan material dan kekuasaan politik dalam kajian politik Indonesia kontemporer tidak dapat dikotak-kotakan dalam perspektif oligarki saja, tetapi masih banyak aktor lain dalam “keranjang” yang berbeda yang juga turut menentukan proses-proses itu.
Artikel “bab pendahulan” dari buku yang diedit oleh Michele Ford dan Thomas B. Pepinsky ini, berusaha untuk menyajikan dua argumen itu dalam satu volume yang disatukan di bawah tema kekayaan (wealth) dan kekuasaan (power) dalam kajian politik Indonesia kontemporer. Pada awal tulisannya, Ford dan Pepinsky membahas argumen-argumen utama dari para penyeru argumen oligarki (Robision, Hadiz dan Winters) dan non-oligarki (Liddle, Pepinsky, Mietzner, Carraway-Ford, Aspinall dan Buehler). Perbedaan-perbadaan apa yang menonjol dari kedua argumen itu, apa saja kekhasaan masing-masing dan -tentu saja- bagaimana cara mereka mengeksplanasi konsep-konsep yang dibangun menjadi inti dari artikel ini.

Tesis Oligarki
Tesis utama oligarki dalam kajian politik Indonesia, sejauh pengamatan penulis, sejatinya telah muncul dalam tulisan-tulisan yang mencoba menjelaskan kepolitikan Indonesia di bawah Orde Baru, sebut saja tulisan Dwight Y. King yang mengintrodusir Orde Baru sebagai rezim Birokratik-Otoritarian (BO). King menulis :
In burecratic-Authoritarian model, ultimate authority resides in an oligarchy or the military as institution, rather than exclusively in an individual ruler. Where a group military men or the military as an institution hold of power” (King, 1982) (cetak tebal oleh penulis)

Munculnya argumen oligarki oleh King dalam rangka untuk merespon penulis-penulis sebelumnya yang mengatakan bahwa Orde Baru Indonesia hanya dikuasi oleh elit yang sangat terbatas (birokratik-polity-nya Jackson) atau bertumpu pada individu Soeharto (neo-patrimonial). King melihat besarnya kekuasaan sekelompok militer, yang dengan kekuasaan itu mereka mencoba mencari otoritas politik untuk memperbesar pengaruhnya-dan yang paling utama- untuk kepentingan survivalitas mereka sendiri. Meskipun hanya sedikit memiliki korelasi dengan argumen oligarki yang dibahas dalam artikel ini, tetapi kurang lebih sifat para oligark yang dimunculkan oleh King mengarah pada pencarian otoritas politik untuk menopang kepentingannya seperti yang didengungkan oleh penulis-penulis di bawah ini.
Dalam pada itu, argumen oligarki-nya Robison dan Hadiz serta Winters dipakai untuk menganalisis perkembangan politik Indonesia pasca-Orde Baru. Secara kasar mereka ingin mengatakan “Memang demokrasi telah merubah politik Indonesia, tetapi sama sekali tidak merubah kekuasaan oligarkis di dalamnya”, kekuasaan para oligark tetap koeksis dengan perkembangan demokratisasi, begitu singkatnya. Keduanya berjalan secara kompatibel, para oligark telah belajar cara bertingkah laku dalam ruang politik baru: demokrasi elektoral. Inilah yang menjadi poin kesaamaan antara Robison dan Hadiz di satu sisi dan Winters di sisi lain.
Meskipun keduanya masuk dalam ceruk kajian yang sama tentang persistensi oligarkis di ruang politik baru, tetapi mereka memiliki cara yang khas dalam menjelaskan obyek kajian yang mereka geluti. Robison dan Hadiz membangun konsepsi oligarki dalam cara yang strukturalis dan menggunakan cara pandang neo-Marxis. Sebaliknya Winters menggunakan cara pandang yang menekankan pada peran dan lokus koersi para oligark itu sendiri. Robison dan Hadiz mendefinisikan oligarki sebagai “a system of power relations that enables the concentration of wealth and authority an its colective defence” (dikutip dari Ford dan Pepinsky h. 3). Definisi itu sangat kental dengan perspektif strukturalisnya dan membayangkan oligarki sebagai sebuah kolektifitas (in natural, sudah dari sananya). Bandingkan dengan definisi Winters tentang oligarki yang memandang oligarki sebagai politik yang dikuasi oleh para aktor dimana konsentrasi kekayaan berada di tangan mereka, dan dengan kekayaannya itu, mereka berusaha memperbesar kekuasaan politik. Singkatnya, oligarki, bagi Winters, sebagai “politics of wealth defence”. Demikianlah, terasa sekali perbedaan keduanya, yang satu sebagai sebuah “sistem kolektif” yang lainnya sebagai “politik para aktor dalam mempertahankan kekayaannya” yang terkadang bertindak tidak harus secara kolektif.
Selain perbedaan fokus yang memunculkan perbedaan pendefinisian oligarki, keduanya juga memiliki perbedaan dalam hal unit analisis. Bagi Robison dan Hadiz munculnya oligarki sebagai konsekuensi dari kondisi kapitalisme lanjut (late capitalism) di dalam negara “pinggiran”, seperti Indonesia, dimana terdapat perkembangan yang terus-menerus dalam hal akumulasi kekayaan para kaum borjuasi dan peran negara di dalamnya. Sedangkan, Winters justru menempatkan oligarki dalam unit yang lebih individual. Baginya munculnya oligarki sebagai konsekuensi dari adanya distribusi kekayan yang tidak merata antar-indvidu, dan oleh karenanya, ia merupkan fenomena yang jamak dalam latar sosial dimanapun. Singkatnya, Robison dan Hadiz menegasikan peran individu-agen dalam hiruk-pikuk struktur negara dan kapital, sementara Winters lebih menonjolkan peran individu-agen dalam akumulasi kekayaaan.
Perbedaaan lain juga terkait dengan perlakuan terhadap para “outsiders”. Bagi Robison dan Hadiz, “outsiders” hanya dipandang jika mereka tidak menjadi anggota ologarki politik-birokratik. Sedangkan bagi Winters, kekuatan lain (outsiders) sejauh memiliki kepasitas yang mobilisasional dapat mengancam posisi oligark. Dengan pemahaman seperti itu, keduanya juga berbeda dalam memposisikan kelas pekerja. Bagi Robison dan Hadiz kaum buruh yang menjadi oposan kaum oligark tidak cukup memiliki kekuatan untuk bergerak dikarenakan kepentingan dalam diri mereka sendiri ataupun dikarenakan adanya pelemahan dari luar. Persepsi itu kurang lebih didasarkan pada pemahaman tentang eksploitasi kelas model Marxian. Tetapi bagi Winters gerakan kelas pekerja sejauh memiliki sumberdaya yang dapat mengancam posisi kaum oligark dan dapat merubah kondisi yang timpang juga patut untuk diperhitungkan. Logika ini, berbeda dengan cara Robison dan Hadiz, yang lebih “menghargai” garis mobilisasi sumber daya, bukan pada perspektif kelas.
Perbedaan terakhir dari keduanya adalah dalam penskalaan kajian. Winters bergerak dari level yang lebih “nasional”, kemudian mengambil potret lokal, terutama di wilayah-wilayah yang kaya sumber daya alam, untuk menguatkan pola yang ada di level nasional itu. Sebaliknya, Robison dan Hadiz lebih asik memotret potongan-potongan lokalitas Indonesia. Oleh sebab itu, menurut mereka, desentralisasi di level lokal telah menjadi arena kontestasi baru para oligark pasca Orde Baru.
Adapun perbedaan-perbedaan diantara keduanya dapat disederhanakan dalam tabel di bawah ini :

Tesis Non-Oligarki
Dalam buku ini juga disertakan pandangan non-oligarki. Yang pertama adalah sumbangan tulisan R. William Liddle. Liddle, seperti tulisan-tulisan sebelumnya, masih konsisten dengan aspek individual dalam memahami politik Indonesia. Ketimbang memperahatikan aspek struktur, kelompok dan institusi, Liddle lebih peduli pada “the craft that skillfull politicians” (Ford dan Pepinsky h.7), yang menempatkan individu-politisi dalam kaitannya dengan pengejaran kekayaan dan otoritas politik dalam skema “theory of action”.
Selain Liddle, juga ada orang seperti Pepinsky sendri yang lebih manaruh perhatian pada keluaran kebijakan yang mempengaruhi distribusi kekuasaan dan otoritas politik. Kajian kebijakan dikaitkan dengan tindakan politik mereka yang memiliki kekayaan dan bagaimna pengaruhnya. Di tulisan lain, Marcus Mietzner, mencoba melihat kepolitikan Indonesia, khususnya diskusi tentang partai politik, dari sisi non-oligarki. Baginya perlu dibedakan antara elit politik dan oligarki. Jika hanya melihat pada aspek “oligarki” yang dipahami oleh pendukung oligarki meniadaakan kelompok elit, terutama pada mereka yang meng-counter oligarki, seperti generasi baru masyarakat sipil yang juga politisi.
Dalam nada yang sama Aspinall juga menyadari tentang kekurangan argumen oligarki. Baginya, politik Indonesia adalah arena kontestasi dari banyak aktor, tidak melulu dominasi kaum oligarki. Anggapan argumen oligarki meniadakan peran mobilisasi sumber daya dan peran agensi. Di tempat lain, Caraway dan Ford memandang argumen “outsider” oligarki tidak sesederhana yang dipahami. Tidak menolak sepenuhnya argumen oligarki tetapi bahwa dinamika gerakan kaum pekerja juga nampak dari mulai terlibatnya gerakan itu dalam proses elektoral. Dan terakhir argumen Michael Buehler tentang kompetisi elit pasca Orde Baru yang lebih kompleks daripada yang dipahami dalam kerangka kerja oligarki.

Oligarki dan Dinamika Politik Pasca-Orde Baru
Menjelaskan politik Indonesia pasca Orde Baru memang tidak akan kehabisan obyek yang dibahas. Sebab semakin banyak penulis yang mencoba mejelaskan, justru semakin terbuka ruang untuk penulisan karya baru. Itulah prinsip falisifikasi Popperian, teori akan semakin valid justru ketika ia terbuka untuk dikritisi. Demikianlah yang terjadi tentang argumen oligarki dan non-oligarki di Indonesia.
Argumen pokok oligarki bahwa demokratisasi Indonesia justru kompatibel dengan kekuasaan oligarki sulit untuk dibantah. Penjelasan itu dapat berlaku di satu tempat, tetapi bisa tidak memadai di tempat lain. Bagaimana tesis itu menjelaskan munculnya elit baru di beberapa daerah pasca Orde Baru sebagai konsekuensi dari invited space yang dibuka sejak era reformasi. Selain itu, dengan melihat karya Saiful Mujani tentang  Muslim Demokrat (2007) kita dapat memahami bahwa ada pergesaran penting dalam perilaku individu dalam merespon sistem politik demokrasi yang telah dibuka itu, yang dengan sikap itu, mereka juga menentukan perkembangan demokrasi di Indonesia. Penjelasan argumen oligarki juga kurang memadai dalam hal kondisi pergesaran penting dalam kerangka kelembagaan demokrasi dan Pemilu di Indonesia. Meskipun mereka berhasil mensiasati aneka ragam kelembagaan baru, tetapi pastilah kerangka kelembagaan demokrasi juga faktor yang harus diikutsertakan dalam memahami gejala dan dinamika demokrasi di Indonesia.

DAFTAR BACAAN

King, Dwight Y. “Indonesia’s New Order as a Bureucratic Polity, a Neopatrimonial Regime or a Bureucratic Authoritarian Regime: What Difference Does It Make?”. In Bennedict R.O’G. Anderson and Audrey Kahin (eds). 2010. Interpreting Indonesian Politics: Thirteen Contributions to the Debate (First Equinox Edition). Singapore: Equinox Publishing
Michele Ford and Thomas B. Pepinsky “Introduction: Beyond Oligarchy?”. In Michele Ford and Thomas B. Pepinsky (eds.). 2014. Beyond Oligarchy: Wealth, Power, and Contemporary Indonesian PoliticsIthaca: Cornell University Press
Mujani, Saiful. 2007. Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia pasca Orde Baru. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Disusun oleh SUBHAN PURNO AJI untuk memenuhi tugas matakuliah Kajian Politik Indonesia, Nopember 2015

Minggu, 15 Mei 2016

BIROKRASI dan ORGANISASI PEMILU: MENEMUKENALI PATOLOGI-PATOLOGINYA

Pemilu sebagai suatu event yang sangat penting dalam sebuah negara demokratis, menuntut pengorganisasian dan birokrasinya yang modern untuk melaksanakannya. Sejak Pemilu 1955, Pemilu pertama yang dilaksanakan di Indonesia, telah terbentuk suatu organisasi dan birokrasi Pemilu, meskipun dalam taraf yang masih sederhana. Sebagai sebuah entitas yang hidup, organisasi dan birokrasi Pemilu tidak dapat dilepaskan patologi yang menyertainya. Baik patologi yang sifatnya bawaan, “fitrah” dari sananya, sebagaimana jamak ditemukan dalam birokrasi dan organisasi modern manapun, maupun patologi yang khas, unik dan hanya terjadi pada organisasi dan birokrasi penyelenggara Pemilu saja.
Itulah yang dapat disarikan dari diskusi matakuliah Birokrasi dan Organisasi Pemilu, Senin (9/5) lalu, di ruang kuliah BA 402. Pada sesi ini giliran Yudi Rollies yang mendapatkan giliran untuk memberikan presentasi sebagai pemantik diskusi di awal sesi di bawah judul “Problematika Organisasi dan Birokrasi Pemilu di Indonesia: Menyoal Independensi dan Integritas KPU”. Berdasarkan pengamatannya, Yudi mensinyalir bahwa problematika yang paling sering dihadapi bagi penyelenggara pemilu adalah permasalahan independensi dan permasalahan integritas. “Dua problem dasar ini yang menjadi ‘pintu masuk’ bagi problematika pemilu lainnya”, ujar staf Sekretariat KPU Kota Pekalongan, Jawa Tengah ini. Independensi yang disoroti, menurut pria yang juga pernah bertugas di sekretriat KPU Kabupaten Gunungkidul ini, yakni independensi institusional dan independensi persoal-fungsional. Independensi yang pertama dikaitkan dengan strukturk kelembagaan KPU, sedangkan yang disebut kedua merujuk pada independensi individu-individu di dalam organisasi KPU.
Selanjutnya, berdasarkan pengalaman dan studi pustaka yang dilakukan, Yudi memetakan permasalahan yang dihadapi birokrasi dan organisasi penyelenggara Pemilu. Salah satu permasalahan diantara banyak permasalahan yang penting adalah birokrasi di tingkat bawah yang tidak bebas dari campur tangan aparatur pemerintahan di level kecamatan dan desa/kelurahan. Sekretariat PPK dan PPS berasal dari PNS atau perangkat desa, yang diusulkan oleh kepala daerah setempat. “Mereka diusulkan oleh kepala daerah, KPU hanya tinggal men-SK-kan saja”, ujar Yudi, memberikan alasan munculnya problem loyalitas yang mengambat pelaksanaan tupoksi PPK dan PPS.

Vote Trading
Selain permasalahan di atas, Yudi mencatat adanya praktik jual-beli suara (vote trading). Hal itu menjadi bukti betapa masalah ini bukan hanya isapan jempol belaka. Sidang sengketa hasil di Mahkamah Konstitusi menyingkap sisi lain dari perilaku oknum yang melakukan penggelembangan-penggembosan suara. Sialnya hal itu dilakukan oleh oknum-oknum tidak hanya di level panitia ad hoc, tetapi juga di level KPU dan/atau Panwaslu. Dengan mengutip tulisan M. Najib (2014), Yudi menggaris bawahi bahwa ada insentif materil yang menggiurkan untuk melakukan vote trading,yang pada dasarnya insentif itu juga sebesar risiko harus mereka tanggung bila melakukannya.
Melihat kondisi itu, Yudi memberikan tiga rekomendasi. Pertama, Komisioner harus memiliki pemahaman yang cukup dan bersifat netral. Kedua, lembaga pengawas dan lembaga etik yang telah ada diberikan kewenangan yang resolutif. Dan ketiga, Peran serta masyarakat  (civil society) memberikan input dalam pelaksanaan pemilu, baik dalam hal pengawasan maupun sebagai pengguna jasa KPU.

Birokrasi Sebagai Agent of Change
Paparan dari Yudi memantik diskusi lebih lanjut,Wahdi Hafizy menjelaskan bahwa KPU RI telah mengupayakan langkah-langkah terkait dengan problem birokrasi, diantaranya penegakan meritokrasi dalam pengisian jabatan di sekreteraiat jenderal. Melalui lelang jabatan, sedikit banyak telah mengurangi potensi birokrasi yang korup dan tidak kapabel. Selain itu, menurut staf setjen KPU RI ini, di biro-biro di sekretariat jenderal juga mulai telah dimunculkan pegawai-pegawai yang memiliki visi perubahan. Merekalah agent of change, untuk setidaknya memberikan warna dan mendorong perubahan di bironya masing-masing.
Selanjutnya, juga didiskusikan tentang ‘patologi khas birokrasi dan organisasi KPU’. Subhan Purno Aji menyinggung soal paradoks dalam birokrasi Pemilu. Disaat birokrasi dalam rezim pemerintahan daerah mengarah kepada desentraliasasi, pendelegasian otoritas ke daerah, justru birokrasi dan organisasi pemilu dibawa ke arah sentralisasi. Sentralisme birokrasi rezim Pemilu diberlakukan guna menegakkan satu tujuan besar, yakn Pemilu jujur dan adil. Tetapi faktanya berbagai kondisi sosio-kultural dan perbedaan geografis masing-masing daerah di Indonesia berbeda, yang membuat banyak hal tidak berjalan sesuai dengan asumsi asimetrisitas Pemilu. Papua adalah contoh nyata bahwa sentralisme rezim Pemilu tidak berjalan dan dipaksakan begitu saja.
Lebih lanjut, Cornelis Lay menyebutkan birokrasi memang menjadi dilema tersendiri dalam kehidupan suatu masyarakat, dibutuhkan tetapi juga harus menerima dengan konsekuensi segala potensi patologisnya. Namun, menurutnya, core problem yang dihadapi birokrasi dn organisasi KPU mungkin vote trading, sebab di tempat lain tidak muncul problem serupa.

YUDI ROLLIES P. DAN SUBHAN PURNO AJI

Sabtu, 14 Mei 2016

“SHADOW HIERARCHY” ATAU “SHADOW STATE”: KONTEKSTUALISASINYA DI INDONESIA DAN PERLUNYA ADVOKASI KEBIJAKAN

Review Artikel:
Tanja A. Borzel and Thommas Risse. “Governance Without a State: Can it Work?”. Regulation & Governance Volume 4, Issue 2, pages 113–134, June 2010Purwo Santoso. “Proses Kebijakan, Karakteristik dan Advokasinya”. Disampaikan dalam Pelatihan Fasilitator Prakarsa Pembaruan Tata Pemerintahan Daerah (P2TPD) yang diselenggarakan oleh USC SATUNAMA dengan dukungan BAPPENAS dan The World Bank, 11-20 September 2002.

Pengantar
Besarnya pengaruh paradigma struktural-fungsional di Indonesia terhadap perkembangan ilmu sosial di Indonesia masih terasa hingga kini. Dikerangkai oleh pemahaman bahwa unit-unit sosial yang ada di dalam masyarakat diandaikan memiliki fungsi-fungsi sosialnya masing-masing, dengan begitu segala macam gejala yang mengarah kepada chaos ataupun konflik niscaya akan menemukan titik temunya sendiri, suatu titik ekuilibrium. Corak-pandang keilmuan ini, pada umumnya ditempatkan dalam garis positivis. Garis positivis inilah yang seolah menjadi “ortodoksi” dalam ilmu sosial di Indonesia dan seolah dikukuhkan menjadi “ideologI’ resmi lewat pandangan pembangunan-isme yang menopang Orde Baru selama 32 tahun kekuasaannya. Secara simplistis, dalam topangan perpektif positivis-pembangunanisme-struktural-fungsional itu, negara dipandang sebagai satu-satunya agen yang dapat menciptakan tertib sosial. Dengan asumsi, yang kurang lebih, bahwa negaralah yang memiliki otoritas, dan dengan begitu, negaralah yang handal dalam mengelola kebajikan publik dan negara pula yang tahu segala yang dibutuhkan oleh masyarakat (Santoso et.al, 2004:xxvi). Dalam pandangan ini, negara dianggap sebagai agen yang “baik hati” dan piawai dalam mengelola segala hal, termasuk memastikan semua kebutuhan warganya tercapai tanpa melibatkan pihak-pihak lain.
Pandangan “negara-sentris” inilah yang diserang habis-habisan, apalagi setelah sistem politik yang menopangnya (atau ditopangnya)-Orde Baru-, runtuh berkeping-keping pada 1998. Mulailah muncul wacana de-statisasi dalam tema besar demokratisasi dan desentralisasi yang beriringan dengan wacana good governance. Lalu, yang terjadi di Indonesia tidak sekedar wacana, akan tetapi telah diterapkan secara berangsur-angsur melalui serangkaian perubahan kelembagaan demokrasi dan tata kelola pemerintahan. Kata (good) governance mulai menghiasi wacana akademis sampai dengan retorika para politisi. Dalam istilah governance, negara tidak lagi menjadi aktor utama dalam pengelolaan urusan publik, governance lebih sebagai mode koordinasi yang tidak saja melibatkan aktor-aktor negara, tetapi juga aktor non-negara, seperti swasta dan masyarakat.
Pandangan inilah yang cukup dominan sejak tahun 1990-an, apalagi dengan munculnya negara demokrasi baru pasca sapuan gelombang demokratisasi ketiga (Huntington 1993). Pandangan ini menonjolkan bahwa yang dapat menciptakan tertib sosial adalah mekanisme pertukaran sukarela model pasar. Pandangan yang paling radikal dari model ini adalah meminggirkan sama sekali negara dari pengelolaan urusan publik atau yang dikenal dengan governance without state/government dalam skema mode koordinasi baru. Tapi apakah bisa governance bisa bekerja tanpa melibatkan negara/pemerintah?

Governance With(Out) Government dan Hirarki Bayangan
 Hal itulah yang menjadi fokus artikel T.A. Borzel dan T. Risse, Governance Without a State, Can it Work?. Artikel ini memberikan lanskap baru dalam kajian tentang governance, bahwa peran negara jangan sampai dihilangkan sepenuhnya dalam governance, karena jarang ditemukan pengaturan swakelola masyarakat yang efektif tanpa melibatkan negara. Negaralah yang memiliki kapasitas untuk mengambil dan menegakkan keputusan-keputusan kolektif. Di negara-negara yang menjalankan governance secara efektif, seperti dinegara-negara industri maju, keterlibatan aktor non-negara sangat menonjol dalam pengelolaan kebaikan publik. Bukan berarti tidak ada keterlibatan pemerintah, malah seringkali pemerintah melakukan peran aktif melalui serangkaian negosiasi dengan aktor-aktor non-negara dalam apa yang disebut “hirarki bayangan”, “the state threatens – explicitly or implicitly – to impose binding rules or laws on private actors in order to change their cos-benefit calculations in favor of a voluntary agreement closer to the common good rather than to particularistic self-interest” (h. 116). Lebih lanjut, menurut Borzel dan Risse, hirarki bayangan inilah faktor penting efektifnya model governance with(out) government. Lantas apakah dengan governance with(out) government dapat berlaku di negara-negara yang memiliki institusi yang lemah (weak state)? Jawabannya bisa. Sebab di negara-negara tersebut ada pengganti hirarki bayangan. Pengganti hirarki bayangan itu adalah 1) risiko terjadinya anarki, dimana keterlibatan aktor non-negara dalam penyediaan barang-barang publik karena keharusan. Jika tidak mereka akan menghadapi bahaya yang lebih besar; 2) adanya organisasi dan pemerintah asing yang terlibat dalam pengelolaan urusan publik; 3) keterlibatan perusahaan dalam urusan-urusan publik karena didorong oleh tuntutan konsumen, Corporate Social Responsibility (CSR) misalnya; dan 4) adanya tuntutan dari komunitas tradisional agar perusahaan semakin banyak memberikan perhatian kepada mereka. Semua itu secara langsung mendorong aktor-aktor non-negara untuk terlibat dalam penyediaan kebutuhan publik dalam kondisi tidak adanya institusi negara yang kuat. Tetapi apakah dalam kondisi itu governance with(out) government efektif dan legitim?. Apakah hal itu legitimate? Jawabannya dalam hal pengelolaannya terdapat terdapat akuntabilitas, dilakukan secara partisipatif, memenuhi standar internasional dalam hal penghormatan HAM dan memiliki penegakan hukum dan demokrasi.

Advokasi Sebagai “Teknologi Gerakan” Masyarakat Sipil
Sejak runtuhnya Orde Baru, serangkaian reformasi kelembagaan demokrasi telah dilakukan. Salah satu yang menonjol adalah diadopsinya perubahan tata kelola pemerintahan. Dengan begitu, Indonesia mengadopsi apa yang menjadi tren global, dari government menjadi governance with government. Dalam artikel Proses Kebijakan, Karakteristik dan Advokasinya, Purwo Santoso memberikan konteks yang bagus tentang perubahan dari government ke governance tersebut dari sisi kebijakan. Dia memberikan catatan kritis tentang dominannya perspektif rational-komprehensif dalam analisis kebijakan publik. Dari perspektif yang cenderung administratif-manajerial ini, menempatkan kebijakan publik sebagai domainnya para birokrat yang seolah tahu kebutuhan publik. Tidak ada ruang partisipasi masyarakat di dalamnya (model government). Sehingga “Kenyataan bahwa masih ada masalah, justru membuka peluang baru untuk mengajukan proyek-proyek baru, dan disyahkannya kebijakan baru berarti peluang baru untuk melakukan mendapat keuntungan finansial (rent seeking)” (h. 3).
Purwo Santoso juga melihat bahwa kondisi itu ditambah telah dibukanya kesempatan masyarakat untuk semakin terlibat tidak hanya dalam tahapan implementasi tetapi juga sejak agenda kebijakan itu dibuat, sudah saatnya elemen masyarakat sipil melihat advokasi sebagai celah untuk memastikan bahwa kebijakan benar-benar memihak kepada kepentingan masyarakat. Negara telah membuka ruang partisipasi masyarakat untuk terlibat, sekalipun terdapat kecenderungan elitisme, tetapi celah itu harus dimanfaatkan. Kata Purwo Santoso :
“Persoalan kunci yang penting untuk digarisbawahi disini adalah, bahwa masyarakat adalah aktor yang sah untuk menentukan arah, dan juga secara aktor yang relevan dan kompeten untuk melalukan pengelolaan proses kebijakan. Proses kebijakan bukan proses di dalam jajaran birokrasi pemerintah semata, dan perubahan kebijakan dalam banyak kasus justru harus diperjuangkan dari luar jajaran pemerintahan” (h.6)

Santoso mengajak elemen masyarakat sipil untuk benar-benar memanfaatkan “teknologi gerakan” berupa advokasi dalam kerangka yang terpadu. Bahwa upaya untuk mengubah kebijakan memerlukan pendayagunaan otot dan otak. Baginya, sudah saatnya elemen masyarakat sipil melihat advokasi secara keselurahan, tidak hanya pada level agenda setting, tetapi tetap harus dikawal sampai dengan tahap implementasi, jika menginginkan perubahan yang permanan tidak ad hoc belaka. Maka yang penting juga adalah upaya yang sungguh-sungguh dalam penggalangan aliansi, sebab proses kebijakan publik memperlihatkan interaksi antara masyarakat-pemerintah. Untuk itu, perlu pengambangan koalisi diantara pihak-pihak yang sepaham agar keberhasilan advokasi dapat tercapai.

Shadow Hierarchy atau Shadow State: Kasus Indonesia
Bekerjanya governance with(out) government di negara-negara global north, seperti yang jelaskan oleh Borzel dan Risse cara berjalannya aktor negara dan non-negara di wilayah-wilayah tersebut seperti sudah berjalan dengan sendirinya (taken for granted). Hal ini bisa dimaklumi mengingat di sana masyarakat sudah dapat mengatur diri mereka sendiri dan negara memiliki kapasitas yang kuat, sehingga institusi informal, (negosiasi, aturan-aturan yang tidak tertulis, jaringan), shadow hierarchy, misalnya, berjalan seiring dengan institusi formal (peraturan, organisasi resmi) yang ada. Keduanya dalam hubungan yang komplementer.
Sementara di banyak negara global south yang memiliki trauma kolonialisme, sistem sosial yang heterogen dan pengalaman pembangunan yang dituntun oleh negara (state-led development), kondisi sama sekali berbeda. Manakala model governance (baik with maupun without) diterapkan pola-pola yang muncul sangat bervariasi. Di Indonesia ketika model governance diterapkan dimana pemerintah mulai mengundang aktor non-negara untuk terlibat dalam pengelolaan urusan publik, yang terjadi justru reorganisasi kekuatan lama (oligarki) dalam aransemen kelembagaan yang baru. Mereka masih mempertahankan relasi politiko-bisnis yang predatoris antara negara dan aktor-aktor non-negara lain (Robison dan Hadiz, 2004).
Salah satu yang muncul adalah tumpang tindihnya antara pemerintahan formal dan informal di tingkat lokal. Di Banten, salah satu provinsi hasil pemekaran pertama pasca Orde Baru, muncul pengaturan yang melibatkan aktor non-negara dalam pengambilan kebijakan publik. Tetapi pola sama sekali berbeda dengan apa yang dibayangkan oleh Borzel dan Risse di atas, dimana output kebijakan bermuara pada pelayanan publik, yang terjadi adalah pengaturan societal actor (dalam hal ini jawara-pengusaha) dalam kebijakan publik dengan state actor (penyelenggara negara) tetapi hanya menguntungkan segelintir elit. Elit masyarakat ini justru lebih banyak mengintervensi aneka kebijakan publik untuk kepentingannya sendiri. Mereka mengembangkan mekanisme jaringan informal antara state actor dan non-state actor untuk mengeruk sumber daya ekonomi dan politik negara. Pola ini disebut “shadow state”, dimana kaburnya pengaturan-pengaturan formal dan informal serta aktor non-negara mengintervensi proses kebijakan publik untuk diri mereka sendiri (Hidayat, 2007). Alih-alih koordinasi antara aktor negara-non negara dibingkai oleh apa yang disebut sebagai “shadow hierarchy” (Borzel dan Risse, 2009) yang muaranya adalah kebaikan bersama, tetapi yang terjadi adalah “negara bayangan”,  yang dengannya urusan publik diatur sedemikian rupa oleh para elit. Semua itu beriringan dengan masih lemahnya institusi negara, sehingga institusi informal berkelindan dengan institusi formal tetapi menghasilkan pola yang bukan malah saling melengkapi untuk kebaikan publik, tetapi malah pola yang substitusi (institusi formal digantikan oleh institusi informal). Saling pengaruh tersebut sayangnya berjalan dalam proses yang kedap terhadap partisipasi dan miskin akuntabilitas. Pola-pola semacam itu tidak hanya terjadi di Banten, tetapi juga banyak terjadi di tempat lain ketika model governance diterapkan (Hadiz 2003; Nordholt dan Klinken 2007). Celakanya, inilah paradoks yang terjadi di Indonesia.
Pada saat yang sama mengharapkan hadirnya masyarakat sipil yang kuat yang dapat memberikan kontrol terhadap pola yang menyimpang dalam relasi aktor negara-non-negara juga masih jauh dari apa yang diinginkan oleh tulisan Purwo Santoso di atas. Idealnya jika terjadi “perselingkuhan” yang merugikan masyarakat banyak karena governance dibajak oleh elit, masyarakat sipil dapat hadir untuk membongkar kebebalan yang sistematis itu dengan “teknologi gerakan”-nya: advokasi. Yang terjadi, meskipun tidak seluruhnya demikian dan hanya sebagian kecil, munculnya masyarakat sipil (civil society) pasca Orde Baru justru menjadi kekuatan yang “uncivil” dengan menjadi penyulut kekerasan SARA yang terjadi di Ambon dan Sampit pasca Orde Baru (Hadiwinata, 2009). Alih-alih mereka memanfaatkan advokasi sebagai “celah” dalam proses kebijakan publik, tetapi malah menjadi elemen yang destruktif.
Tentu pandangan yang pesimistis itu tidak menjadi fenomena yang umum terjadi. Di banyak tempat hadirnya invited space dengan diterapkannya model governanace with government memberikan dampak kebijakan yang signifikan dengan perbaikan pelayanan publik, peningkatan kesejahteraan dan perbaikan iklim investasi. Masyarakat sipil yang tumbuh beriringan dengan reformasi pasca Orde Baru juga menyiratkan optimisme akan munculnya masyarakat sipil yang semakin terlibat dalam proses pengambilan kebijakan publik.

Penutup
Pengetrapan governance with(out) government membutuhkan adanya “shadow hierarchy” yang mengandaikan juga adanya negara yang kuat. Tetapi munculnya governance with(out) government bahkan di negara-negara yang lemah mengindikasikan bahwa hal itu bisa saja bekerja.
Ruang yang telah dibuka untuk aktor-aktor non-negara dengan diterakannya model governance di Indonesia perlu ditindaklanjuti oleh masyarakat sipil untuk semakin terlibat di dalam proses kebijakan publik melalui advokasi.
Yang terjadi di Indonesia pengetrapan governance memunculkan pola-pola yang bervariasi. Sebagian diantaranya malah paradoks, yaitu model governance justru dijadikan sebagai ajang aktor non-negara untuk mengeruk keuntungan diri sendiri. Munculnya “shadow state” di Banten dapat dijadikan contoh untuk kasus di Indonesia. Di saat yang sama masyarakat sipil yang menjadi lokomotif reformasi di Indonesia juga tidak selamnya menjadi aktor yang dapat sepenuhnya menjadi pengontrol dari kebijakan publik yang merugikan masyarakat. Bahkan sebagian diantaranya menjadi kekuatan yang kontraproduktif dengan kepentingan khalayak banyak. Tetapi potret itu tidak menjadi fenomena yang jamak di Indonesia. Oleh karenanya ada beberapa hal dapat dijadikan catatan:
1.     Model governance yang menjadi kecenderungan global tetaplah harus membutuhkan peran negara. Sebab negaralah yang dapat mengatur dan memaksakan peraturan dan hukum kepada aktor-aktor non-negara, sehingga masing-masing tidak hanya mencari keuntungan saja tetapi juga terlibat dalam pengelolaan urusan publik.
2.     Masyarakat juga harus terlibat dalam proses kebijakan dengan melakukan advokasi. Advokasi harus dipahami sebagai proses yang terpadu dan harus melibatkan sebanyak mungkin aliansi agar hasil akhir kebijakan bukan hanya untuk kepentingan yang ad hoc, tetapi juga untuk kepentingan yang berjangka panjang.
3.     Pengetrapan model governance memunculkan hasil dan pola yang berbeda di masing-masing negara. Tergantung dari konteks sosial-politik-ekonomi-sejarah yang ada di negara tersebut. Sama halnya dengan memahami governance sebagai kebijakan, yang didalamnya terdapat dimensi isi, proses dan konteks, kajian tentang governance juga harus sensitif dengan aneka-ragam pola yang keluar dari pakem yang ada di buku-buku teks.

DAFTAR BACAAN
Borzel, Tanja A. and Thommas Risse. 2010. “Governance Without a State: Can it Work?”. Dalam Regulation & Governance Volume 4, Issue 2, pages 113–134
Hadiwinata, Bob Sugeng. 2009. “From Heroes to Troublemakers? Civil Society and Democratization in Indonesia”. Dalam Marco Bunte and Andreas Ufen. Democartization in Post-Soeharto Indonesia. London and New York: Routledge:
Hadiz, Vedi. 2003. “Power and Politics in North Sumatra: The Uncompleted Reformasi”. Dalam Edward Aspinall and Greg Fealy. Local Power and Politics in Indonesia.: Singapore: Institute of Southeast Asia Studies
Huntington, Samuel P. 1993. The Third Wave Democatization in The Late Twentieth Century. Oklahoma: University of Oklahoma Press
Hidayat, Syarif. 2007. “Shadow State...? Bisnis dan Politik di Provinsi Banten”. Dalam Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken. Politik Lokal di Indonesia. Jakarta: KITLV-Yayasan Obor Indonesia.
Nordholt, Henk Schulte dan Gerry van Klinken. 2007. Politik Lokal di Indonesia. Jakarta: KITLV-Yayasan Obor Indonesia.
Robison, Richard and Vedi R. Hadiz. 2004. Reorganizing Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in Age of Market. Routledge Curzon: London-NewYork.
Santoso, Purwo. 2002. “Proses Kebijakan, Karakteristik dan Advokasinya”. Disampaikan dalam Pelatihan Fasilitator Prakarsa Pembaruan Tata Pemerintahan Daerah (P2TPD) yang diselenggarakan oleh USC SATUNAMA dengan dukungan BAPPENAS dan The World Bank.
Santoso, Purwo, Hasrul Hanif dan Rachmad Gustomy (eds.). 2004. Menembus Ortodoksi Kajian Kebijakan Publik. Yogyakarta: Fisipol UGM.


Disusun oleh SUBHAN PURNO AJI untuk memenuhi salah satu tugas matakuliah Governance dan Kebijakan Publik, S2 JPP Fisipol UGM, Oktober 2015