Pemikiran utama yang mendasari
munculnya sistem pemilu proporsional (perwakilan berimbang) adalah untuk
menjamin adanya pembagian yang proporsional antara perolehan suara partai
secara dengan perolehan kursinya di parlemen. Sebagai ilustrasi partai besar
yang mendapatkan suara empat puluh persen suara seharusnya mendapatkan empat
puluh persen kursi, adapun partai lain yang mendapatkan suara sepuluh persen
maka harusnya juga mendapat sepuluh persen kursi secara proporsional. Sistem
ini memberikan perimbangan pada setiap disproporsionalitas yang muncul dari
sistem pluralitas mayoritas
Demikian poin utama presentasi
Wahdi Hafizy tentang sistem pemilu proporsional dalam pertemuan keempat Mata Kuliah
Perbandingan Sistem Pemilu, Wilayah Penyelenggaraan dan Pelanggaran Pemilu (08/03)
beberapa waktu yang lalu. Adapun dosen pengampu mata kuliah ini adalah Dr.rer.Pol
Mada Sukmajati, MPP.
Lebih lanjut, staf biro perencanaan
Setjen KPU RI ini menjelaskan bahwa sistem proporsional tidak hanya lazim
dipilih oleh negara-negara demokrasi, baru tetapi juga banyak diterapkan di
negara dengan demokrasi mapan. Menurut catatan International IDEA sebanyak 23
negara demokrasi maju menggunakan sistem ini dengan berbagai macam variannya. “Sistem
ini banyak dipakai negara di Amerika Latin dan Eropa Barat, dan mencakup
sepertiga dari semua sistem yang digunakan di Afrika”, katanya sambil
menunjukkan grafik persentase negara-negara yang menggunakan sistem
proporsional.
Secara umum, masih menurut Wahdi, data
International IDEA (2004) mencatat sebanyak 72 atau 36% negara yang menggunakan
sistem proporsional, 91 atau 46% negara menggunakan sistem pluralitas/mayoritas,
30 atau 15% negara menggunakan sistem campuran dan 6 atau 3% negara menggunakan
sistem lain-lain.
Munculnya Sistem Proporsional
Selanjutnya, munculnya sistem
proporsional dimulai pada tahun 1864 bertempat di Amsterdam. Thomas Hare
memperkenalkan sistem perwakilan berimbang dalam konferensi Asosiasi
Internasional Ilmu Sosial. “Kelahiran sistem ini dilatarbelakangi karena
ketidakpuasan para politisi dan ilmuwan politik terhadap sistem
mayoritas/pluralitas yang menimbulkan over-representation
dan under-representation”, kata Wahdi
sembari menjelaskan bahwa dalam sistem proporsional partai politik membuat
daftar kandidat yang mereka tawarkan kepada pemilih untuk mengisi kursi lembaga
parlemen.
Mengutip dari pendapat Carstair (1980)
publikasi Hare tentang sistem ini bukanlah kali pertama dipresentasikan
meskipun susah untuk ditelusuri jejaknya, jauh sebelumnya pada tahun 1780, Duke
of Richmond menawarkan kepada British
House of Lord bahwa untuk pemilihan House
of Commons, negara perlu membagi perwakilan berdasarkan konstituensi yang
setara dengan jumlah populasi. “Meskipun belum berbentuk perwakilan berimbang,
namun konsep ini menawarkan kepastian bahwa setiap anggota merepresentasikan
jumlah yang setara dari penduduk. Selain itu, ada juga Marquis de Mirabeau yang
menyampaikan dalam dalam parlemen provinsi pada tahun 1789 yang menyatakan
bahwa komposisi parlemen harus merefleksikan detail daerah pemilihan”, tulis
Wahdi dalam presentasinya.
Sebelum Mirabeau, dua ilmuan
matematika Prancis Jean Charles de Borda pada tahun 1770 dan Marquis de
Condorcet tahun 1785 adalah orang pertama yang memikirkan problem teknis yang
memastikan keadilan dan kesetaraan dalam hasil pemilu. Sistem Hare pada versi
pertamanya menawarkan bahwa negara merupakan satu konstetuensi, dan konsep ini
merupakan sugesti serta dukungan potensial untuk sistem perwakilan berimbang.
Victor D’Hondt, lanjut Wahdi,
menawarkan formula sistem perwakilan berimbang untuk mereformasi pemilu di
Belgia pada tahun 1881. Proses uji coba sistem ini dipublikasikan dalam jurnal
bulanan La Representation Proportionnelle yang dipublikasikan oleh Asosiasi
Belgia. “Kedua tokoh ini beserta suporternya memuculkan perdebatan sengit antar
negara di Eropa terkait mengenai sistem yang akan dipakai dalam reformasi
pemilu”, tukas Wahdi masih mengutip pendapat Carstair (1980).
Dalam Konferensi Tahun 1885 yang
dihadiri delegasi dari Swiss, Prancis, Belgia, Jerman, Italia, Belanda dan
Denmark memutuskan bahwa mereka lebih tertarik untuk menggunakan sistem D’Hondt
yang mengakhiri perdebatan sistem alternatif untuk dipakai dalam pemilu di
Eropa saat itu. “Konsep D’Hondt pertama kali dipakai pada tahun 1899 dan pada
tahun 1920 sistem perwakilan berimbang dipakai di mayoritas negara di Eropa
Barat, dari sinilah sejarah sistem ini dimulai”, ujar Wahdi, mengakhiri sesi
presentasi.
WAHDI HAFIZY
Tidak ada komentar:
Posting Komentar