Selanjutnya Wahdi Hafizy
melanjutkan pemaparan tentang varian, isu dan konsekuensi dari penerapan sistem
proporsional. Menurutnya, dengan mengutip buku Handbook of Electoral System Design (International IDEA), secara
umum terdapat dua varian dalam sistem proporsional yaitu proporsional dengan daftar
(List Proportional Representation/List PR)
dan Sistem Suara Tunggal yang dapat ditransfer/prefensial (Single Transferable Vote/STV). Dalam buku itu juga, lanjut Wahdi, teridentifikasi
72 negara yang menggunakan sistem List PR dan hanya 2 negara menggunakan STV.
Meskipun seringkali kursi dibagi dengan dasar distrik wakil majemuk regional,
di beberapa negara (misalnya: Jerman, Namibia, Israel, Belanda, Denmark, Afrika
Selatan, dan Selandia Baru), pembagian kursi parlemen ditentukan secara efektif
oleh perolehan suara nasional.
Sistem Proporsional dengan Daftar (List
Proportional Representation)
Menurut Wahdi, varian ini digunakan
dalam distrik berwakil banyak, dimana para pemilih akan memilih partai politik
dalam konsep Close List PR (sistem
daftar tertutup), atau memilih kandidat yang ditawarkan oleh partai politik Open List PR (sistem daftar terbuka),
atau memilih keduanya. Pemenang ditentukan oleh proporsi suara sah yang
didapatkan oleh masing-masing partai politik atau kandidat. “Dalam beberapa sistem Close List PR, kandidat pemenang
akan disesuaikan dengan nomor urut, dalam konsep Open List PR pemilih diberi keleluasaan untuk memilih partai atau
kandidat pada nomor urut manapun”, ujarnya.
Dalam sistem ini, menurutnya, diperlukan
ambang batas (treshold) dalam rangka
menjamin agar hanya partai yang didukung pemilih di atas ambang batas yang
mendapatkan kursi di parlemen. Pilihan sistem antara tertutup dan terbuka akan
berkonsekuensi terhadap kompleksitas surat suara. Sedangkan ciri umum dan
sederhana dari bekerjanya Sistem ini adalah bahwa setiap daerah pemilihan
memiliki wakil yang majemuk, setiap partai politik menyajikan daftar caleg ke
pemilih, pemilih memilih satu partai, partai memperoleh suara sebanding dengan
perolehannya secara nasional dan kursi diisi oleh mereka yang ada di daftar
nama kandidat yang ditawarkan oleh partai politik secara berurutan.
Adapun sistem proporsional ini
selain memiliki kelebihan juga memiliki kelemahan. Kelebihan dari sistem ini diantaranya
adalah dapat menghasilkan proporsi perwakilan yang sesuai dengan perolehan
suara yang ada sehingga meminimalisir ketidakadilan atau jumlah suara yang
tidak terpakai seperti yang terjadi pada sistem pluralitas/mayoritas. Disamping
itu, sistem juga dapat mendorong dan mengharuskan pembentukan organisasi atau
partai politik untuk mengajukan kandidat untuk maju dalam daftar pemilihan. Hal
ini dapat mengklarifikasi/menjelaskan berbagai ideologi, kebijakan yang ada
pada masyarakat. “Kelebihan lainnya adalah memberikan peluang bagi partai
politik minoritas atau kecil untuk memiliki perwakilan di parlemen, mendorong
partai politik untuk berkampanye di luar daerah pemilihan yang dianggap sebagai
basis masa yang kuat bagi partai tersebut sehingga sistem ini mendorong partai
politik yang bersifat nasional, dapat membawa keberlanjutan dan stabilitas atas
kebijakan. Dan tak kalah pentingnya adalah bahwa sistem ini memungkinkan adanya
pembagian kekuasaan atara partai politik dengan kelompok kepentingan yang lebih
fisibel”, tulis Wahdi dalam paparannya.
Sedangkan kelemahan dari sistem ini
adalah koalisi pemerintahan akan dapat membawa legislatif pada kondisi yang
macet (gridlock) dan konsekuensinya
pada ketidakmampuan membuat kebijakan yang koheren, sistem proporsional juga dapat
membawa atau memfasilitasi terfragmentasinya sistem kepartaian sehingga
melahirkan kemungkinan bahwa pluralism ekstrim dapat membuat pihak partai
minoritas/ kecil untuk menahan pihak partai yang lebih besar untuk menembus
negosiasi dalam koalisi. “Kelemahan lain dari siste proporsional adalah dapat
memberikan panggung di legislatif bagi pihak-pihak yang berseberangan seperti,
partai politik dengan ideologi ekstrim kiri dan kanan. Contoh yang sering
dikutip adalah runtuhnya Weimar Jerman, dimana diantara penyebabnya adalah sistem
pemilu PR yang memberi tumpuan pada kelompok-kelompok ekstrim kiri dan kanan. Sistem
ini dapat membuka celah bagi partai besar terdorong untuk membentuk koalisi
dengan partai-partai kecil sehingga dapat melahirkan ketidakproporsionalan pada
pembagian atau penguasaan jabatan yang didapatkan partai kecil di pemerintahan.
Sistem ini dapat memberatkan pemilih maupun administrator pemilu untuk memahami
kompleksitas dari aturan pemilu yang ada pada sistem PR, jika dibanding dengan
sistem lainnya. Oleh karena itu, dalam sistem PR ini membutuhkan sosialisasi
dan pendidikan yang lebih bagi pemilih, serta kerja-kerja training yang lebih
pula bagi para pekerja/administrator penyelenggara pemilu untuk dapat
mensukseskan berjalannya pemilihan umum di suatu negara”, tulisnya.
Suara Tunggal yang dapat Ditransfer (Single Transferable Vote)
Selain sistem Daftar, sistem
proporsional juga mengenal varian STV adalah sistem prefensial dimana pemilih
akan memberikan rangking terhadap kandidat dalam distrik berwakil banyak,
kandidat yang memiliki suara diatas kuota yang ditentukan pada pilihan
preferensi pertama dinyatakan sebagai calon terpilih. “Dalam perhitungan, suara
didistribusikan dari kandidat yang tereleminasi dan kelebihan suara dari kuota
didistribusikan sampai menghasilkan kandidat yang memiliki suara di atas kuota.
Pemilih normalnya akan memilih kandidat dibanding partai politik, meskipun
memilih partai politik dapat menjadi opsi bagi pemilih”, kata Wahdi,
menggambarkan varian yang diadopsi untuk pemilu lokal di Skotlandia, beberapa
otoritas di New Zeland serta dipilih juga sebagai sistem yang digunakan oleh
Parlemen Rakyat British Colombia.
Banyak kalangan ilmuwan politik,
lanjut Wahdi, beranggapan bahwa sistem
STV ini salah satu sistem yang paling atraktif, akan tetapi tidak banyak negara
yang menggunakannya dalam pemilu parlemen. Diantara negara yang menggunakan
sistem ini adalah Republik Irlandia sejak Tahun 1921, Malta sejak tahun 1947, sekali
di Estonia pada Tahun 1990 dan digunakan juga dalam pemilu Senat Australia di
beberapa Negara Bagian Australia dan di Eropa serta Pemilu Lokal di Utara
Irlandia.
Selanjutnya, Wahdi merinci
ciri-ciri umum varian STV ini adalah sebagai berikut:
1.
Sistem ini menggunakan daerah pemilihan yang
menyediakan lebih dari satu kursi.
2.
Para pemilih mengurutkan kandidat berdasarkan
preferensi yang mereka miliki di kertas suara (seperti mengurutkan 1,2,3 dan
seterusnya), tetapi pada dasarnya pemilih tidak diwajibkan untuk menandai atau
mengurutkan caleg berdasarkan preferensi mereka, karena jika mau pemilih dapat
memilih satu caleg saja untuk dipilih.
3.
Kandidat yang mendapatkan suara melebihi ambang
batas (threshold) dinyatakan menang/
terpilih,
4.
Jika tidak ada kandidat yang memperoleh suara
mencapai kuota/ ambang batas, maka kandidat yang mendapatkan suara terendah
dicoret dari daftar dan suara preferensi keduanya dibagikan lagi kepada para
caleg yang tertinggal.
5.
Kemudian, pada saat yang sama, jumlah kelebihan
suara caleg terpilih (yakni suara diatas ambang batas) dibagikan lagi menurut
preferensi kedua pada kertas suara. Agar adil, semua kertas suara caleg dibagi
lagi tetapi masing-masing menurut persentase dari satu suara, sehingga jumlah
total suara yang dibagikan sama dengan sisa surplus suara.
Seperti halnya varian Daftar,
varian ini kelebihan, diantaranya:
1. STV adalah termasuk sistem pemilu yang paling
canggih diantara semua sistem pemilihan umum, karena sistem ini memberikan
kesempatan bagi para pemilih untuk memilih antar partai dan caleg dalam
partai-partai tersebut.
2. Adanya tingkat proporsionalitas yang lebih
adil.
3. Dalam sistem STV hubungan geografis yang
penting antara caleg dan pemilih masih dapat dipertahankan.
4. Para pemilih dapat mempengaruhi komposisi
koalisi pasca pemilu, ini seperti yang terjadi di Irlandia.
5. Sistem STV ini memberikan insentif bagi
akomodasi antar partai lewat pertukaran preferensi antara pihak-pihak yang
berkepentingan.
6. Sistem STV juga memberikan kesempatan yang
lebih baik bagi pemilihan caleg independen daripada List PR, karena para pemilih
memilih caleg, bukan memilih partai.
Selain kelebihan-kelebihan di atas,
pemilu dengan sistem STV ini juga tidak lepas dari kritik para ilmuwan politik
lain yang kurang/tidak setuju dengan sistem ini. Kritik tersebut setidaknya
diarahkan pada kelemahan-kelemahan berikut ini:
1. Dalam
sistem ini, pemilihan dengan preferensi kurang dikenal oleh kebanyakan
masyarakat.
2. Sistem
ini minimal memerlukan suatu tingkat baca tulis dan pengerti angka yang baik.
3. Cara
penghitungan suara dalam sistem ST juga sangat kompleks.
4. Sistem
ini dapat menyebabkan tekanan pada partai-partai politik sehingga mereka dapat
terpecah secara internal, karena pada saat yang bersamaan anggota-anggota dari
partai yang sama saling berkompetisi secara sengit antara satu sama lain,
selain dengan caleg partai oposisi untuk memperoleh suara.
Isu
dan Konsekuensi Sistem Proporsional
Wahdi menjelaskan bahwa tidak hanya
tentang varian sistem proporsional yang sering dibahas, tetapi juga menyangkut
isu-isu dan konsekuensi tak kalah penting untuk dipahami. Yang pertama adalah besaran
daerah pemilihan. Hal yang paling utama dalam kemampuan menentukan sistem
pemilu yang mengkonversi suara kepada kursi dalam sistem perwakilan berimbang
adalah besaran daerah pemilihan, dimana melalui daerah pemilihan akan terpilih beberapa
orang anggota parlemen. “Dengan sistem proporsional, maka jumlah anggota yang
akan terpilih dalam suatu daerah pemilihan tergantung dari besar kecilnya
daerah pemilihan tersebut secara proporsional”, katanya.
Menurutnya, semakin besar daerah
pemilihan maka akan semakin proporsional perwakilan yang akan didapat, karena
dapat menjamin bahwa partai kecilpun dapat memiliki kursi. Hal ini nantinya
akan berpengaruh dalam perhitungan suara serta konversi suara ke dalam kursi.
Indonesia pernah mengalami mekanisme konversi yang membuat sisa suara dibawa ke
provinsi dan pernah mengalami mekanisme konversi yang membuat susa suara habis
di daerah pemilihan. Pilihan sistem ini akan menimbulkan kesulitan dalam
melakukan konversi, karena ketika perhitungan tahap pertama suara partai tidak
mencukupi maka partai tersebut akan mengikuti perhitungan tahap kedua dimana
harga suatu kursi dihitung separuh dari harga awal.
Isu kedua adalah tentang ambang batas
(treshold). Setiap sistem pemilu
memiliki ambang batas dimana ambang batas merupakan level minimal suatu partai
untuk mendapatkan kursi. Ambang batas dapat dibuat sebagai sesuatu yang formal
(formal treshold) atau terwujud
sebagai formula matematika dalam sistem pemilu (effective or natural treshold).
Dalam sistem perwakilan berimbang,
penetapan ambang batas memiliki konsekuensi calon dalam partai tertentu tidak
menjadi calon terpilih dikarenakan secara nasional partai tersebut tidak
memenuhi ambang batas.
Isu ketiga, menurut Wahdi adalah faftar
terbuka, tertutup dan bebas. Menurutnya, sistem List PR didasarkan pada prinsip bahwa partai atau grup politik
mengajukan kandidat, dan pemilih diberi kesempatan untuk memilih baik kandidat
yang ditawarkan ataupun memilih partai politik sehingga sistem ini memiliki
tiga pilihan varian. Sistem Daftar Terbuka memberi kesempatan kepada pemilih
untuk memilih secara spesifik calon yang diinginkan, sebagai konseksuensinya
apabila partai politik peserta pemilu banyak dengan jumlah kandidat yang banyak
maka surat suara yang digunakan dalam pemilu akan menjadi besar karena harus
mencantumkan nama partai dan nama tiap kandidat di tiap partai. “Sistem Daftar
Tertutup dapat menyederhanakan permasalahan besarnya surat suara, akan tetapi
apabila sistem kepartaian dan pencalonan di tiap partai tidak berjalan dengan
demokratis, maka hanya calon-calon pilihan partai/yang dekat dengan partailah
yang akan terpilih”, katanya menegaskan.
Isu keemapat adalah apparentement atau penggabungan. Ambang batas sangat efektif namun dapat membuat
diskriminasi bagi partai kecil, bahkan dapat jadi alat bagi partai besar untuk
mengkerdilkan partai kecil sehingga tidak mendapatkan kursi. Oleh karenanya, lanjut
Wahdi, beberapa negara dengan sistem List PR memperbolehkan partai politik
kecil yang tidak memenuhi ambang batas untuk menggabungkan suara mereka
sehingga mendapatkan kursi dan menempatkan calon terpilih sesuai dengan
kesepakatan. “Hal ini menguntungkan bagi mereka karena akan memiliki
representasi di parlemen”, katanya, dengan menunjukkan beberapa negara yang
menggunakan sistem ini adalah negara-negara di benua Eropa, Latin Amerika dan
Israel.
Sistem Perwakilan Berimbang
diperlukan bagi negara-negara yang mengedepakan proporsionalitas dalam
perwakilan, dengan entik yang beragam, komposisi agama, gender serta geografis
yang tersebar membutuhkan perwakilan yang merata sehingga dapat mengakomodasi
perbedaan yang ada dalam suatu negara.
Sistem ini juga akan mengurangi
jumlah suara yang terbuang karena suara akan terbagi secara proporsional kepada
calon dan partai yang mendapat kursi seharga pembagi pemilih serta akan dibagi
habis dalam perhitungan tahap berikutnya.
Pilihan sistem pemilu sekali lagi
adalah upaya suatu negara untuk mendapatkan perwakilan yang sesuai dengan
kebutuhan negara tersebut. Sistem apapun yang digunakan bertujuan untuk
mweujudkan demokrasi berkeadilan melalui penyelenggaraan pemilu yang bebas dan
adil.
WAHDI HAFIZY
Tidak ada komentar:
Posting Komentar