Idealnya pemilihan umum merupakan
cara beradab untuk memilih para pejabat publik, yakni mereka yang diberikan mandat
dan otoritas untuk mengurus urusan-urusan publik. Pemilu menggantikan penggunaan
kekerasan dan perang dalam suksesi kepemimpinan. Melalui mekanisme itulah surat
suara menggantikan senjata. Di atas logika besar itu dipahami bahwa setiap
orang berhak untuk memilih siapa saja yang dikehendaki menjadi pemimpinnya,
tanpa ada paksaan dari pihak manapun.
Akan tetapi, konsepsi-konsepsi ideal
itu berjalan asimetris bila diterapkan di beberapa wilayah di Indonesia.
Wilayah yang menjadi studi kasus adalah Provinsi Aceh, provinsi di ujung barat
Indonesia. Paparan tentang Kekerasan Pemilu di Aceh menjadi salah satu yang
diangkat pada matakuliah Pencegahan dan Penanganan
Konflik Pemilu. Adapun yang mendapat giliran untuk mempresentasikan kasus
tersebut adalah Annas Rizaldi, mahasiswa asal Aceh ini, di ruang BA 402, Rabu
(27/4) lalu.
Dalam uraiannya, Anas mempersoalkan
terus berulangnya tindakan kekerasan pada masa Pemilu ataupun Pilkada di Aceh
pasca perjanjian perjanjian damai dalam rantang waktu 2006-2014. Menurutnya, secara
kuantitatif dan kualitatif tindak kekerasan semakin meningkat justru pada periode
penyelenggaraan tahapan Pemilu/Pilkada (tahun 2006, 2009, 2012 dan 2014). “Dominasi
kekerasan dalam pemilu selalu menghiasi hajatan lima tahunan tersebut”, ujar salah
satu mahasiswa konsentrasi TKP dari non-KPU/Bawaslu ini, sambil menunjukkan tabel
data tindak kekerasan Pemilu di Aceh.
Pengawetan Konflik
Melihat persistensi terjadinya
kekerasan apalagi menjelang pelaksanaan Pemilu, menurut Annas, nampak adanya upaya
untuk terus-menerus mengawetkan konflik. Tujuannya tidak lain adalah sebagai
cara untuk mempertahankan kekuasaan bagi elit-elit di Aceh. Menurutnya, kekerasan
ini dilakukan oleh profesional, terlatih, terencana dan brutal. Kekerasan ini
juga sangat erat dengan perebutan kekuasan parlemen pada pemilu legislatif, kerena
korbannya umumnya mereka yang terlibat baik langsung maupun tidak langsung
dengan partai politik tertentu.
Pola kekerasan yang dilakukan
secara sistematis dan profesional, lanjut Annas, biasanya tidak terlepas dari
adanya struktur pemberi perintah dan petugas eksekusi lapangan. “Melihat waktu
terjadinya kekerasan, dimana 21 kasus terjadi pada antara pukul nol-nol sampai
menjelang pagi, maka berbagai kejadian tersebut tidak mungkin terjadi secara
spontanitas”, katanya menyimpulkan data tindak kekerasan berdasarkan waktu
kejadian.
Konflik Regulasi atau Regulasi Yang Dikonflikkan
Mengomentari paparan yang
disampaikan Annas, Drs. Bambang Eka Cahya, M.Si, salah satu pengampu matakuliah
ini, mengajukan dimensi konflik lainnya selain tindak kekerasan menjelang
Pemilu/Pilkada. Berdasarkan pengalamannya, khususnya pelaksanaan pemilihan
kepala daerah, Aceh selalu unik dan menarik untuk dikaji, dan dengan begitu, diperlukan
kiat khusus untuk mengelolanya. Bagaimana tidak, lanjut mantan Ketua Bawaslu RI
ini, Pilkada di Aceh tidak hanya soal tindak kekerasan saja, sejak dari
hulunya, yakni regulasi yang mengaturnya telah menimbulkan persoalan sendiri.
Di sana Pilkada tidak hanya di atur oleh regulasi tentang kepemiluan saja, tetapi
juga terdapat peraturan perundang-undangan tentang pemerintahan Aceh yang juga
banyak mengatur ihwal penyelenggaran pemilihan kepala daerah. Celakanya, dalam
beberapa hal, terjadi banyak perbedaan dan tumpang tindih diantara
regulasi-regulasi itu. “Sebagai contoh dalam undang-undang Penyelenggara
Pemilu, anggota Panwaslu provinsi berjumlah tiga orang, tapi dalam undang-undang
Pemerintahan Aceh disebutkan lima orang, apa nggak pusing itu (Bawaslu-red)?”, ujarnya berbagi pengalaman pembentukan
Panwaslu Provinsi Aceh pada Pilgub 2012 lalu oleh Bawaslu RI.
Permasalahan semakin rumit karena
para pihak yang terlibat dalam pelaksanaan pengaturan Pilkada, seringkali sulit
untuk duduk bersama menyelaraskan regulasi-regulasi yang ada. Para pihak
cenderung mempertahankan pendiriannya masing-masing, jika tidak dapat dikatakan
memiliki kepentingan tersembunyi terhadap permasalahan itu. Jika sudah ada
pihak yang membuka ruang, pihak yang lain seolah menghindar agar disharmoni
regulasi tetap berlangsung, demikian juga sebaliknya. “Kalau meminjam kata
seorang temen di sana, itu bukan karena konflik regulasi. Itu regulasi yang
dikonflikkan”, katanya. Oleh sebab itu, berdasarkan pengalamannya sebagai Ketua
Bawaslu RI periode 2007-2012, Pilkada di Aceh harus mendapat perhatian ekstra
dari para pemangku kepentingan di tingkat pusat maupun di daerah. KPU maupun
Bawaslu di Jakarta harus paham benar duduk permasalahannya, siapa aktor yang
berpengaruh dan apa kepentingannya. “Dalam kondisi itu terkadang penyelesaiakan
sengketa alternatif seringkali efektif dilakukan di sana, di saat pendekatan
legal-formal menemui jalan buntu”, ujar Bambang memberi saran.
Pada kesempatan yang sama, pengampu
matakuliah yang lain, DR. Haryanto, MA memberi komentar bahwa melihat data,
pola dan latennya konflik dan tindak kekerasan Pemilu di Aceh muncul anggaan
yang kuat bahwa itu semua sebagi produk dari perubahan seting sosial-politik
pra dan pasca perjanjian damai. Menurutnya, nampaknya ada pihak-pihak yang
mecoba menjadikan konflik dan tindak kekerasan sebagai sarana untuk
mempertahankan kekuasaan dan akses atas sumber daya. “Kalau Saya boleh menilai
dan menyimpulkan ada kekhawatiran para elit-elit tertentu kehilangan kekuasaan
dan akses sumber daya”, katanya memberi catatan.
ANNAS RIZALDI DAN SUBHAN PURNO AJI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar