Pemilu sebagai suatu event
yang sangat penting dalam sebuah negara demokratis, menuntut
pengorganisasian dan birokrasinya yang modern untuk melaksanakannya. Sejak
Pemilu 1955, Pemilu pertama yang dilaksanakan di Indonesia, telah terbentuk
suatu organisasi dan birokrasi Pemilu, meskipun dalam taraf yang masih
sederhana. Sebagai sebuah entitas yang hidup, organisasi dan birokrasi Pemilu
tidak dapat dilepaskan patologi yang menyertainya. Baik patologi yang sifatnya
bawaan, “fitrah” dari sananya, sebagaimana jamak ditemukan dalam birokrasi dan
organisasi modern manapun, maupun patologi yang khas, unik dan hanya terjadi
pada organisasi dan birokrasi penyelenggara Pemilu saja.
Itulah yang dapat disarikan dari diskusi matakuliah Birokrasi dan Organisasi Pemilu, Senin
(9/5) lalu, di ruang kuliah BA 402. Pada sesi ini giliran Yudi Rollies yang
mendapatkan giliran untuk memberikan presentasi sebagai pemantik diskusi di
awal sesi di bawah judul “Problematika Organisasi dan Birokrasi Pemilu di
Indonesia: Menyoal Independensi dan Integritas KPU”. Berdasarkan pengamatannya,
Yudi mensinyalir bahwa problematika yang paling sering dihadapi bagi
penyelenggara pemilu adalah permasalahan independensi dan permasalahan
integritas. “Dua problem dasar ini yang menjadi ‘pintu masuk’ bagi problematika
pemilu lainnya”, ujar staf Sekretariat KPU Kota Pekalongan, Jawa Tengah ini. Independensi
yang disoroti, menurut pria yang juga pernah bertugas di sekretriat KPU Kabupaten
Gunungkidul ini, yakni independensi institusional dan independensi
persoal-fungsional. Independensi yang pertama dikaitkan dengan strukturk
kelembagaan KPU, sedangkan yang disebut kedua merujuk pada independensi
individu-individu di dalam organisasi KPU.
Selanjutnya, berdasarkan pengalaman dan studi pustaka yang
dilakukan, Yudi memetakan permasalahan yang dihadapi birokrasi dan organisasi
penyelenggara Pemilu. Salah satu permasalahan diantara banyak permasalahan yang
penting adalah birokrasi di tingkat bawah yang tidak bebas dari campur tangan aparatur
pemerintahan di level kecamatan dan desa/kelurahan. Sekretariat PPK dan PPS
berasal dari PNS atau perangkat desa, yang diusulkan oleh kepala daerah
setempat. “Mereka diusulkan oleh kepala daerah, KPU hanya tinggal men-SK-kan
saja”, ujar Yudi, memberikan alasan munculnya problem loyalitas yang mengambat
pelaksanaan tupoksi PPK dan PPS.
Vote Trading
Selain permasalahan di atas, Yudi mencatat adanya praktik
jual-beli suara (vote trading). Hal
itu menjadi bukti betapa masalah ini bukan hanya isapan jempol belaka. Sidang
sengketa hasil di Mahkamah Konstitusi menyingkap sisi lain dari perilaku oknum
yang melakukan penggelembangan-penggembosan suara. Sialnya hal itu dilakukan
oleh oknum-oknum tidak hanya di level panitia ad hoc, tetapi juga di level KPU dan/atau Panwaslu. Dengan mengutip
tulisan M. Najib (2014), Yudi menggaris bawahi bahwa ada insentif materil yang
menggiurkan untuk melakukan vote trading,yang pada dasarnya insentif itu juga sebesar
risiko harus mereka tanggung bila melakukannya.
Melihat kondisi itu, Yudi memberikan tiga rekomendasi. Pertama, Komisioner harus memiliki
pemahaman yang cukup dan bersifat netral. Kedua,
lembaga pengawas dan lembaga etik yang telah ada diberikan kewenangan yang
resolutif. Dan ketiga, Peran serta
masyarakat (civil society) memberikan input dalam pelaksanaan pemilu, baik
dalam hal pengawasan maupun sebagai pengguna jasa KPU.
Birokrasi Sebagai
Agent of Change
Paparan dari Yudi memantik diskusi lebih lanjut,Wahdi Hafizy
menjelaskan bahwa KPU RI telah mengupayakan langkah-langkah terkait dengan problem
birokrasi, diantaranya penegakan meritokrasi dalam pengisian jabatan di
sekreteraiat jenderal. Melalui lelang jabatan, sedikit banyak telah mengurangi
potensi birokrasi yang korup dan tidak kapabel. Selain itu, menurut staf setjen
KPU RI ini, di biro-biro di sekretariat jenderal juga mulai telah dimunculkan
pegawai-pegawai yang memiliki visi perubahan. Merekalah agent of change, untuk setidaknya memberikan warna dan mendorong perubahan
di bironya masing-masing.
Selanjutnya, juga didiskusikan tentang ‘patologi khas birokrasi
dan organisasi KPU’. Subhan Purno Aji menyinggung soal paradoks dalam birokrasi
Pemilu. Disaat birokrasi dalam rezim pemerintahan daerah mengarah kepada desentraliasasi,
pendelegasian otoritas ke daerah, justru birokrasi dan organisasi pemilu dibawa
ke arah sentralisasi. Sentralisme birokrasi rezim Pemilu diberlakukan guna
menegakkan satu tujuan besar, yakn Pemilu jujur dan adil. Tetapi faktanya
berbagai kondisi sosio-kultural dan perbedaan geografis masing-masing daerah di
Indonesia berbeda, yang membuat banyak hal tidak berjalan sesuai dengan asumsi
asimetrisitas Pemilu. Papua adalah contoh nyata bahwa sentralisme rezim Pemilu
tidak berjalan dan dipaksakan begitu saja.
Lebih lanjut, Cornelis Lay menyebutkan birokrasi memang
menjadi dilema tersendiri dalam kehidupan suatu masyarakat, dibutuhkan tetapi
juga harus menerima dengan konsekuensi segala potensi patologisnya. Namun, menurutnya,
core problem yang dihadapi birokrasi
dn organisasi KPU mungkin vote trading,
sebab di tempat lain tidak muncul problem serupa.
YUDI ROLLIES P. DAN
SUBHAN PURNO AJI
ASSALAMUALIKUM...selamat siang,saya mahpudin calon mahasiswa TKP. jika berkenan boleh saya minta kontak mas untuk bertukar informasi soal isu dan kultur akademik terkait TKP?. terimakasih
BalasHapus