Review
Marcus
Mietzner, Money, Power and Ideology: The Political
Parties in Post Authoritarian Indonesia “Introducton: Political Parties in
Indonesia Domestic, Regional and Global Pattern”. Singapore: National University of
Singapore Press.
Runtuhnya
Orde Baru telah memberikan struktur peluang bagi munculnya partai politik. Tak
kurang dari 141 partai politik mendaftarkan diri, tetapi hanya 48 diantaranya
yang berhak mengikuti Pemilu 1999, Pemilu pertama era reformasi. Harapan publik
membuncah terhadap partai-partai politik tersebut untuk memperbaiki keadaan. Hal
itu ditunjukkan dengan tingkat partisipasi dalam Pemilu 1999 yang mencapai
lebih dari 90 persen. Apalagi sebagian besar para pemimpin partai-partai politik
tersebut adalah tokoh yang turut membidani lahirnya reformasi, selain memang
mereka memiliki banyak pengikut di akar-rumput.
Namun
demikian, lebih dari satu dekade kemudian harapan besar publik terhadap partai
politik harus bertepuk sebelah tangan. Anggapan publik terhadap partai politik
sebagai aktor protagonis di awal reformasi berubah menjadi antagonis sepuluh
tahun kemudian. Sebagian besar responden menganggap partai politik−bersama
parlemen yang di dalamnya terdapat perwakilan anggota partai politik−sebagai
lembaga publik terkorup dan biasanya selalu mendapatkan rangking paling buncit jika
dibandingkan dengan lembaga lain dalam hal kepuasan publik. Bahkan dalam hal “taat”
atau tidaknya dalam menjalankan nilai-nilai Pancasila, partai politik dan
sekali lagi bersama DPR, dicap oleh publik sebagai lembaga yang paling tidak
pancasilais (KOMPAS, 1 Juni 2015).
Artinya, ada sesuatu yang salah dalam lembaga partai politik atau bahkan lebih
luas lagi pada sistem kepartaian yang ada. Hal inilah yang mengundang banyak
pengamat untuk mencoba menjelaskan munculnya sinisme publik terhadap wajah
kepartaian Indonesia pasca-Orde Baru.
Paling
tidak ada dua madzhab yang mendominasi dalam diskusi akademik kepartaian di
Indonesia pasca-Orde Baru. Pertama
adalah madzhab institusionalisasi partai. Kurang lebih madzhab ini menganggap
bahwa partai politik di Indonesia miskin kelembagaan (poorly institutionalized), elitis, dan tidak menancap di
akar-rumput. Kedua adalah madzhab
yang disebut kartelisasi. Madzhab ini menaruh perhatian pada pola aliansi
kolusif diantara mereka dalam upaya untuk menguras sumberdaya-sumberdaya
negara, ketimbang berkompetisi dalam merebut simpati publik.
Buku
Marcus Mietzner ini berusaha untuk keluar dari dua aliran dominan tersebut dan
menawarkan kerangka kerja alternatif. Adapun karakteristik pokok dua
kecenderungan dominan dalam studi kepartaian di Indonesia adalah sebagai
berikut:
Dengan
melihat perkembangan partai politik dan membandingan partai politik di kawasan
Asia Timur-Tenggara, negara-negara demokrasi baru (Eropa Timur dan Amerika
Selatan) dan negara-negara demokrasi maju (Eropa Barat) Mietzner menilai bahwa
kecenderungan degradasi partai politik sama sekali bukanlah khas Indonesia. Ia
merupakan kecenderungan yang juga ditemukan di kawasan Asia Timur-Tenggara dan
juga lazim tidak hanya di negara-negara demokrasi baru, tetapi juga di negara
demokrasi yang telah mapan. Di kawasan Asia Timur dan Tenggara, misalnya,
indeks total volatilitas bersih yang dapat mengukur tingkat fluktuasi hasil
Pemilu masih tinggi. Semakin tinggi nilainya semakin tinggi pula fluktuasi
hasil Pemilu yang terjadi. Indeks itu menunjukkan masih unstable-nya sistem kepartaian di negara-negara kawasan Asia Timur
dan Tenggara. Di Korea Selatan, Filipina dan Thailand, misalnya, nilainya masih
tinggi, masing-masing memiliki skor 75, 51 dan 39, jauh di atas skor di
negara-negara demokrasi maju yang berkisar antara 12,5 sampai dengan 44. Tidak
hanya soal nilai kuantitatif untuk mengukur institusionalisasi kepartaian, soal
adanya personalisasi figur, dengan menjadikan partai politik sebagai kendaraan
patron untuk memobilisasi dukungan klientelistik dalam Pemilu juga−sekali lagi−tidak
khas Indonesia. Tetapi hal itu jamak
ditemukan di negara lain di kawasan ini.
Melalui
kajian komparatif dan debat perkembangan partai politik di negara lain,
Mietzner juga menilai penting untuk memasukkan faktor ideologi dan faktor
fungsional dalam kajian kepartaian Indonesia. Berbeda dari pemahaman madzhab
kartelisasi, Mietzner memandang ideologi masih mengkondisikan perilaku partai
politik dalam interaksinya dengan partai politik lain. Melalui kajian ini
Mietzner seolah ingin membantah para penganjur teori kartel bahwa ideologi
belum berakhir (postponed end ideology)
(Tomsa, 2014).
Lebih
jauh, Mietzner juga tidak sepenuhnya sepakat dengan madzhab institusionalisasi.
Menurutnya, indikator kuantitatif yang digunakan bisa memiliki potensi yang
menyesatkan. Tanpa disertai dengan pemahaman yang utuh, strong atau weak yang
biasanya menjadi penanda madzhab ini, menjadi tidak relevan jika tidak
dikaitkan dengan penejelasan yang sifatnya kualitatif. Sebab kondisi sejarah,
budaya, sosial, ekonomi di masing-masing negara berbeda. Masih di sekitar
madzhab institusionalisasi, Mietzner juga menemukan bahwa indikator-indikator deinstitutionalization tidak hanya
ditemukan di negara-negara demokrasi baru, tetapi juga di negara-negara dengan
demokrasi mapan (advanced democracy).
Dengan begitu, asumsi teoritik ihwal trajektori yang linier dari weak menuju strong institutionalization, dari negara dengan demokrasi baru
menuju demokrasi mapan, menjadi kehilangan relevansinya dalam kajian
institusionalisasi partai. Ia menjadi telah kehilangan watak telelologisnya.
All in all, kajian
Mietzner ini merupakan karya yang sangat bagus; dan bagi siapapun yang akan mengkaji
partai politik di Indonesia direkomendasikan membaca buku ini. Meskipun begitu,
Dirk Tomsa (2014), pengkaji partai politik lainnya, memberikan kritik terhadap karya
Mietzner ini. Pertama, Mietzner
melakukan oversimplifikasi dengan menggunakan kategori institusionalisasi
secara reduksionis. Misalnya, pada awalnya dia memisahkan antara
institusionalisasi partai dan sistem kepartaian, tetapi selanjutnya keduanya
digunakan secara bergantian. Selain itu, ada tendensi menyamakan teori
institusionalisasi dengan analisis yang semata kuantitatif. Padahal dalam kasus
institusonalisasi, dapat juga digunakan baik pendekatan kualitatif maupun
pendekatan campuran. Kedua, kajian
Mietzner ini dinilai terlalu Jakarta-centris. Hal ini terlihat dari fokus dan pemilihan
para informannya yang sebagian besar adalah “orang pusat” di Jakarta.
Pengabaian pada konteks lokal mengakibatkan kesimpulan Mietzner tentang
meningkatnya stabilitas sistem kepartaian, profesionalisasi infrastruktur
internal partai, penggunaan sosial media dan “penundaan keberakhiran ideologi”
partai masih harus diuji di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Singkatnya,
menurut Tomsa, Mietzner menghilangkan penjelasan tentang bagaimana dan dalam
kondisi apa perkembangan di tingkat nasional tercermin di tingkat lokal.
Partai Politik:
Optimisme vs Pesimisme
Buku
Mietzner ini tidak hanya memberikan perspektif baru terhadap kajian partai
politik di Indonesia kontemporer, tetapi juga memberikan catatan yang lebih
kurang “optimistis” terhadap masa depan partai politik dan demokratisasi
Indonesia. Berbeda dengan kajian tentang partai politik lain yang cenderung
pesimistis, kajian Mietzner memproyeksikan ada sedikit harapan untuk partai
politik di Indonesia. Lebih dari itu, Mietzner bahkan menilai institusionalisasi
kepartaian di Indonesia “lebih baik” jika dibandingkan dengan negara di kawasan
Asia Tenggara dan kawasan demokrasi baru lainnya.
Kesimpulan
yang lebih optimis itu sebagai konsekuensi dari diadopsinya pendekatan
komparatif dari kajian ini. Melalui pemataan dan analisis yang seksama di
berbagai negara baik yang baru mengadopsi sistem politik demokrasi maupun
negara yang telah mapan demokrasinya, Mietzner menemukan bahwa ada keresahan
yang sama tentang idealitas dan fakta empirik partai politik di masing-masing
negara/kawasan. Sehingga “cap buruk” partai politik bukan merupakan monopoli
Indonesia, tetapi fakta yang jamak, bahkan di negara-negara yang dianggap advanced democracy. Meskipun begitu,
optimisme yang dibangun dari argumen Mietzner hendaknya tidak mengabaikan tentang
masih banyaknya PR yang harus di seleaikan oleh partai politik, seperti
mal-fungsinya dalam sistem politik, kecederungan munculnya oligarki dalam
partai politik, praktik koruptif-predatoris dan kegagalan dalam membangun basis
di level akar-rumput.
Sejengkel-jengkelnya
penilaian terhadap partai poltik dalam konteks sistem politik yang demokratik,
partai politik tetaplah menjadi pemain kunci dalam menjalankan fungsi
mediatorik masyarakat-negara dan−terutama−fungsi rekruitmen dalam pengisian
jabatan-jabatan publik. Dengan kata lain, dalam sistem politik demokratik,
sudah ada fait accompli mau tidak mau
harus menerima partai politik sebagai fakta demokrasi. Oleh sebab itu, yang
perlu dibangun dari publik bahwa jangan hanya menyalahkan partai politik
sebagai biang keladi dari seluruh kegagalan pembangunan demokrasi di Indonesia
sembari alpa untuk memberikan dukungan bagi eksistensi mereka, tetapi juga
diimbangi dukungan agar mereka memperbaiki diri dan mengapresiasi pencapaian
yang telah mereka lakukan selama ini. Celakanya, seringkali yang diserap oleh
publik melalui penggiringan opini di media adalah melulu soal disfungsi dan
watak koruptif partai tanpa ada pemahaman yang utuh tentang peran partai dalam
sistem politik di Indonesia.
Di
atas itu semua, melalui konsepsi institusionalisasi dan kartelisasi serta
kerangka kerja alternatif yang ditawarkan Mietzner, menjadi terang duduk
perkara permasalahan kepartaian di Indonesia. Salah satu yang muncul setelah
mengkaji secara detail tentang pola politik kartel dalam diri partai politik
adalah kendala pembiayaan partai politik. Dari pintu ini dapat disibak mengapa dan
dalam kondisi apa muncul dan persistensinya praktek koruptif yang dilakukan
oknum anggota partai ataupun tampilnya pengusaha-politisi dalam struktur inti
partai. Itu semua sebagai lojik dari permaslahan di hulu: perlunya biaya untuk
menopang kerja-kerja partai politiks.
DAFTAR PUSTAKA
Tomsa,
Dirk. 2014. “Review: Money, power and ideology in Indonesia’s political party
system”. In Inside Indonesia 116: Apr-Jun
2014. http://www.insideindonesia.org/review-money-power-and-ideology-in-indonesia-s-political-party-system. Diakses
tanggal 22 November 2015.
Disusun
oleh SUBHAN PURNO AJI untuk memenuhi
salah satu tugas matakuliah Kajian Politik Indonesia, Nopember 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar