Pemilu, seperti halnya permainan, selalu ada pihak
yang mencoba memanipulasi aturannya untuk memenangkan pihak tertentu sembari
mengecoh, mencegah dan mengebiri pihak lainnya untuk memenangkan Pemilu. Adalah
Elbridge Gerry (1744-1814), Gubernur Massachussets, negara bagian di Amerika
Serikat, yang ̶ sengaja ̶ melakukan praktek yang bermaksud untuk memberikan
keuntungan untuk parpolnya dengan
memanipulasi batas wilayah (district boundaries). Ceritanya, diawali
dari diadopsinya wewenang dalam konstitusi bahwa penentuan daerah pemilihan dilakukan
oleh legislatif yang didominasi oleh Partai Republik pada tahun 1812. Tetapi
anehnya dapil yang dibentuk itu berbentuk anah dan mencang-mencong (contorted),
seperti hewan Salamander (sejenis kadal). Ternyata, pendapilan (districting) itu dirancang untuk
meningkatkan kontrol atas hasil Pemilu yang menguntungkan Partai Republik.
Jadilah, gerrymandering menjadi
istilah jamak untuk mewakili segala bentuk manipulasi pendapilan, padahal belum
tentu si Gubernur yang pertama kali melakukannya, tetapi toh praktik culas semacam itu dilekatkan dengan namanya.
Demikian salah satu inti paparan Keke Eskatario pada
matakuliah Perbandingan Sistem Pemilu, Wilayah penyelenggaraan dan pengawasan
Pemilu, yang diampu oleh Dr.rer.pol Mada Sukmajati, MPP. Keke lebih lanjut
menjelaskan bahwa gerrymandering
menyebabkan ketidakadilan (malapportionment).
Sebab, pemilih seharusnya dapat memilih wakilnya sesuai dengan preferensi
mereka, tetapi karena dimanipulasi oleh pengkotak-kotakan dapil, suaranya
menjadi tidak berguna. “Praktek perwakilan politik menggunakan gerrymandering dan malapportionment digunakan untuk mencoba mempertahankan kekuasaan
(bagi incumbant)”, tegas peserta
beasiswa TKP asal Bawaslu RI ini.
Praktek gerrymandering
lebih berpengaruh jika digunakan pada Pemilu dengan sistem pemenang tunggal
(single winner voting system), dimana
hanya satu calon yang berhak menjadi wakil pada dapil tersebut, tetapi tidak
begitu berpengaruh pada sistem perwakilan berimbang, yang biasanya satu dapil diwakili
lebih dari satu calon dengan proporsi yang berimbang.
Adapun beberapa strategi gerrymandering, lanjut Keke, yang saat ini sering dipraktikkan,
yaitu cracking (menyebar pemilih
dengan tipe tertentu kedalam banyak distrik), packing (memusatkan banyak pemilih yang memiliki tipe sama kedalam
satu distrik pemilihan tunggal, untuk mengurangi pengaruh mereka di distrik
lain), hijacking (menggambar ulang
dua distrik jadi satu distrik untuk memaksa dua incumbent dari partai politik yang sama untuk saling bertarung
dalam satu distrik dan memastikan bahwa salah satu dari mereka akan kalah) dan kidnapping (bertujuan untuk memindahkan
area di mana seorang pejabat terpilih yang memiliki dukungan yang
signifikan distrik yang lain, sehingga
lebih sulit untuk memenangkan pemilu mendatang dengan pemilih baru).
Efek,
Bentuk dan Pencegahannya
Gerrymandering,
kata Keke, memberikan efek yang cenderung negatif karena sifatnya yang
manipulatif. Meskipun dapat meningkatkan kompetisi antara partai politik tetapi
kompetisi dalam arti tidak harus parpol yang memiliki pendukung banyak untuk menang pemilu, partai
yang mempunyai dukungan sedikit cukup mengutak-atik distrik untuk menang.
Selain itu, gerrymandering akan
sangat menguntungkan incumbent dalam
kampanye dan menghemat biaya politik mereka. “Incumbent yang mempunyai akses terhadap kekuasaan dalam hal ini
mengutak-atik dapil akan diuntungkan karena bisa merekayasa dapil berdasarkan
basis dukungannya, sehingga tidak perlu tenaga dan cost politics lebih besar ketika berkampanye di dapil yang
mayoritas merupakan basis dukungannya”, ujar Keke. Yang pasti, lanjut Keke,
menciptakan less representation,
representasi berdasarkan rekayasa, bukan representasi yang fair dan sesungguhnya.
Bentuknya, pertama,
partisan gerrymandering, yakni
pembentukan daerah pemilih sepanjang basis pendukung/partisan. Kedua,
rasial gerrymandering, yaitu
pembentukan dapil sepanjang basis rasial, banyak ras mayoritas bisa memilih
secara solid, ras minoritas disebar diantara distrik-distrik yang lain untuk
memeatsikan mereka tidak bisa memilih kandidat mereka secara solid. Ketiga, incumbent protection
gerrymandering, yaitu distrik yang yang sengaja direkayasa agar
menguntungkan atau melindungi incumbent
agar terus dominan.
Lalu mencegahnya dapat dilakukan dengan pendapilan
ulang oleh lembaga netral yang tidak punya kepentingan (independen) atau
lembaga yang terdiri dari lintas parpol (sehingga distrik adalah hasil
kesepakatan dan bisa saling mengontrol ketika proses pembentukan distrik. Ini
dilakukan di Inggris dan Jerman dengan pembentukan lembaga khusus untuk
mengurusi dapil. Kemudian dapat juga dilakukan dengan penyusulan regulasi yang
transparan atau dengan cara merubah sistem pemilihan, menggunakan sistem
semi-proportional (Single
Non-Transverable Vote [SNTV] atau cumulative
voting, yang juga mengurangi
proporsi sisa suara terbuang, misalnya). Dapat juga menggunakan model
distrik tetap, setiap Pemilu dapil tidak diubah. Gerrymandering juga dapat
dicegah dengan peciptaan aturan yang obyektif atau dengan bantuan teknologi database.
Keke menambahkan bahwa di Indonesia gerrymandering bisa saja terjadi namun
belum ada studi ilmiah yang membahasnya tetapi terjadi karena faktor
ketidaksengajaan. Kalaupun terjadi, efeknya dikurangi dengan sistem Pemilu
perwakilan berimbang.
KEKE ESKATARIO dan SUBHAN PURNO AJI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar