Sabtu, 23 April 2016

STUDI TATA KELOLA PEMILU DI UGM (Bagian II)

Pada bagain pertama dari tulisan ini telah dijelaskan tentang studi konsentrasi tata kelola pemilu di UGM secara umum. Pada bagian kedua tulisan ini hendak menjelaskan suasana dan tradisi akademik yang berlaku dalam studi pasca sarjana di Jurusan Politik Pemerintahan (JPP) UGM yang sangat berpengaruh terhadap studi konsentrasi tata kelola pemilu.
Masing-masing kelas S-2 di JPP tidak boleh lebih dari 18 orang, maka untuk angkatan 30 (penerimaan mahasiswa S-2 semester gasal 2015/2016), dibagi menjadi dua kelas karena satu angkatan berjumlah 35 orang. Peserta yang berasal dari KPU/Bawaslu pun dibagi menjadi dua, masing-masing empat orang di kelas A dan tiga orang di kelas B. Ini bisa jadi sebagai wujud dari kebijakan JPP UGM yang lebih menekankan kualitas daripada kuantitas mahasiswa.
Interaksi antara pengampu matakuliah dengan para mahasiswa pun dilakukan tidak hanya tatap muka langsung di dalam kelas, tetapi juga melalui penggunaan teknologi informasi. Salah satu media yang dipakai adalah dropbox, yang disediakan secara garis oleh perusahaan raksasa teknologi. Saluran informasi itu lebih fleksibel ketimbang melalui e-mail. Salin dropbox, UGM juga telah menyediakan sistem manajemen perkuliahan yang disebut elisa (e-learning system of academic community). Akses terhadap sumber-sumber pustaka juga sangat mendukung di UGM. Pihak perpustakaan UGM telah menyediakan akses atas koleksi pustaka sama baiknya dengan akses atas sumber-sumber elektronik, seperti e-book, jurnal dalam negeri dan luar negeri, laporan penelitian dan koleksi elektronik tesis dan dissertasi. Beberapa hal itu sangat membantu perkuliahan.
Pada semester pertama, memang nyaris tidak ada matakuliah yang langsung terkait dengan tata kelola Pemilu. Hal itu sempat menjadi kesulitan bagi para peserta yang berasal dari KPU/Bawaslu, terutama mereka yang studi sarjananya bukan dari rumpun ilmu sosial di bawah naungan Fisipol. Sebagian membayangkan studi tata kelola pemilu lebih banyak membahas hal-hal teknis-administratif, seperti tata laksana organisasi, manajemen organisasi, dan birokrasi kepemiluan. Hal itu dapat dimaklumi mengingat menurut informasi awal yang didapat sebelum mendaftar ke universitas pilihan, di UGM lebih memfokuskan diri pada aspek birokrasi dan organisasi penyelenggara Pemilu. Para peserta pun sempat meminta konfirmasi baik kepada pengelola maupun biro SDM KPU/Bawaslu tentang ketidaksamaan ekspektasi dengan apa yang terjadi. Maka dari itu, rencana tesis yang disusun sebagai salah satu syarat pendaftaran pun telah difokuskan pada tema-tema yang menyangkut organisasi dan birokrasi kepemiluan itu. Apalagi di awal perkuliahan pihak pengelola belum memberitahukan matakuliah tata kelola pemilu apa yang ditawarkan.
Jet lag
Terdapat dua matakuliah pada semester pertama yang mengarahkan mahasiswa untuk mulai memikirkan tema riset tesis yang akan dilakukan, yaitu Cakupan dan Metodologi Ilmu Politik dan Teori Politik. Pada matakuliah ini mahasiswa ditanya rencana riset yang akan diambil, tentu tema tersebut harus berada pada cakupan ilmu politik. Jadilah para peserta dari KPU/Bawaslu sempat “jet lag” (kondisi mabuk pasca-penerbangan) di bulan-awal awal perkuliahan. Karena apa yang mereka pikirkan tentang tata kelola pemilu sangat berbeda dengan tradisi akademik JPP UGM. Belum apa-apa pertanyaan yang diajukan oleh para pengampu matakuliah adalah di sisi mana dimensi politik dari rencana tesis yang akan diambil. Pertanyaan “mana politiknya” menjadi momok yang terus menggelayut di benak para peserta. “Apa bedanya rencana tesis Anda dengan laporan kegiatan di kantor KPU/Bawaslu”, sindir salah satu pengampu matakuliah.
Para pengajar, terutama yang terkait dengan metodologi, memang mengharuskan semua rencana tesis harus mencakup dimensi relasi kuasa, dimensi yang menjadi pembeda ilmu politik dengan ilmu sosial lain. Itu semua sebagai konsekuensi studi tata kelola pemilu di bawah naungan JPP, dan dengan begitu, harus menjelaskan aspek “who get what, when and how much” a la Laswell dalam setiap fenomena yang dikaji, tak terkecuali rencana tesis dari para peserta tata kelola pemilu.
Tantangannya menjadi semakin berat karena diawal perkuliahan pengelola sudah memberikan ultimatum kepada para peserta dari KPU/Bawaslu untuk tidak lepas dari tema-tema yang terkait dengan penyelenggaraan pemilu, dan lebih di dorong untuk mengambil permasalahan yang dihadapi sehari-hari di satker masing-masing. Tidak hanya untuk rencana tesis, bahkan sampai dengan penulisan paper penugasan perkuliahan juga akan dipantau oleh pengelola. Dengan demikian, semakin menambah beban para peserta untuk menjelaskan bagaimana tata kelola pemilu dipahami dengan menggunaan cara pandang dan cara baca ilmuwan politik dalam menjelaskan beragam fenomena dan gejala sosial.
Beragam Perspektif
Meskipun kegalauan-kegalauan di atas muncul, tetapi hal itu tidak pernah disesali. Sekalipun matakuliah pada semester pertama tidak ada yang langsung terkait dengan tata kelola pemilu dan tidak sesuai “ekspektasi” para peserta, tetapi sangat bermanfaat dalam memberikan perspektif dalam studi-studi tata kelola pemilu maupun kepemiluan secara umum. Matakuliah metodologi dan matakuliah lain secara simultan memberikan landasan yang kuat untuk memahami dan memberikan penjelasan atas fenomena dan gejala sosial yang muncul dalam penyelenggaraan Pemilu. Maka di bawah ini akan diuraikan secara sekilas matakuliah yang diajarkan pada semester pertama itu dan hal-hal yang dapat diterapkan dalam studi tata kelola pemilu.
Pertama adalah matakuliah Kekuasaan, Konflik dan Demokrasi (KKD). Ini adalah matakuliah yang langsung terkait dengan proyek besar yang sedang yang digarap oleh JPP UGM dan Universitas Oslo, Norwegia, dalam payung riset Power, Welfare and Democracy (PWD), yakni mengaitkan isu-isu demokrasi dan kesejahteraan. Pada matakuliah ini dikaji tulisan-tulisan “babon” tentang keterkaitan demokrasi dengan modernisasi, pertumbuhan kelas menengah, kewarganegaraan, kebebasan, dan kesejahteraan. Tulisan yang dikaji adalah karya-karya Joseph Schumpeter, Seymour Martin Lipset, Barrington Moore, Tatu Vanhannen, Alexis de Tocqueville, T.H. Marshall, Amartya Sen, Mancur Olson dan Stephen Haggard-Robert R. Kaufman. Pemikiran-pemikiran mereka sangat berpengaruh dalam membentuk peta besar pemikiran demokrasi secara keseluruhan, termasuk pemilu di dalamnya. Output akhir penugasan dari matakuliah ini adalah pembuatan paper yang dikerucutkan dalam isu kekuasaan, kesejahteraan dan demokrasi melalui teori-teori yang telah dikaji. Khusus untuk peserta TKP didorong untuk mengaitkan Pemilu dengan isu-isu yang muncul dalam survey baseline PWD 2013, seperti keinginan publik agar negara menaruh perhatian pada pelayanan dasar (kesejahteraan), menguatnya politik berbasis tokoh, munculnya populisme dan telah mapannya institusi demokrasi yang menyangkut masyarakat sipil (PWD,2013)
Matakuliah kedua adalah Kajian Politik Indonesia (KPI). Matakuliah ini mengkaji perkembangan studi-studi tentang politik Indonesia. Matakuliah ini memetakan beragam perspektif untuk memahami kepolitkian Indonesia sejak Orde Baru sampai dengan Indonesia pasca-Orde Baru. Literatur yang digunakan menjelaskan kepolitikan Orde Baru, adalah karya-karya Indonesianis awal seperti Herbert Feith, Harry J. Benda, Ruth T. McVey, Dwight Y. King, Rex Mortimer, dan Richard Robison. Masing-masing kajian tersebut menjelaskan kepolitikan Orde Baru dari perspektif dan pendekatan yang berbeda-beda, sehingga dapat dianalisis kelemahan dan kekuatannya. Hasil kajian indonesianis awal ini masih sangat berpengaruh dalam membentuk pemahaman politik Indonesia kontemporer. Paruh kedua perkuliahan difokuskan untuk membahas kajian politik Indonesia pasc-aOrde Baru. Adapun tulisan yang didalami untuk memahami kepolitikan Indonesia pasca-Orde Baru adalah karya-karya Vedi R. Hadiz dan Richard Robison tentang munculnya oligarki, William Reno tentang korupsi politik, Bossisme/local strongman dari John T. Sidel dan perkembangan kajian partai politik yang digagas oleh Marcus Mietzner. Kajian mereka saat ini begitu dominan untuk memahami kepolitikan Indonesia pasca-Orde Baru, sehingga memberikan perspektif yang lebih komprehensif dalam memahami fenomena dan gejala politik, termasuk penyelenggaraan Pemilu.
Matakuliah ketiga adalah Cakupan dan Metodologi Ilmu Politik (CMIP). Kebijakan akademik JPP UGM memang mendorong mahasiswa S2 untuk sudah memiliki rancangan tema tesis sejak awal. Matakuliah ini dirancang untuk memberikan panduan penyusunan proposal tesis, setidaknya sampai pada kerangka teori. Harapannya masuk semester kedua para mahasiswa telah memiliki proposal tesis yang mendekati “matang”. Berbeda dengan matakuliah lain, di matakuliah ini mahasiswa lebih banyak praktek daripada teori. Sejak awal para mahasiswa diminta untuk menentukan tema tesis yang sesuai dalam “cakupan” ilmu politik. Kemudian dari tema itu diminta untuk membuat problematisasi atas fenomena/gejala yang akan diteliti sampai dengan merumuskan masalah penelitian. Pengampu matakuliah akan menilai progres mahasiswa melalui tulisan-tulisan yang telah dibuat melalui media “dropbox”. Meskipun terlihat mudah, tetapi inilah matakuliah yang menguras energi selama semester pertama. Sebagian besar mahasiswa tergopoh-gopoh mengikutinya. Tidak hanya harus memiliki skill dalam menyampaikan gagasan melalui media tulisan, tetapi juga harus memiliki pemahaman atas masalah yang diambil, bagaimana cara mendekatinya, gap pengetahuan apa yang nampak pada masalah itu dilengkapi dengan tinjauan pustaka atas masalah yang akan diteliti dan memilih perspektif yang diambil. Para mahasiswa tidak hanya sudah harus memikirkan dengan sungguh-sungguh tentang tema tesis yang akan diambil di awal perkuliahan, tetapi juga sudah mulai mengambil posisi darimana mereka akan mengambil persepektif terhadap masalah yang akan diteliti. Model “mencicil” tesis ini sangat bermanfaat untuk mempercepat akselerasi perkuliahan. Selama perkuliahan, pengampu matakuliah hanya memberikan beberapa literatur yang wajib dibaca, diantaranya adalah Power: A Radical View-nya Steven Lukes dan Theory and Methods in Political Science (David Marsh dan Gerry Stoker).
Matakuliah keempat adalah Politik Intermediari. Matakuliah ini mengkaji relasi kuasa dan distribusi sumberdaya para “aktor pertengahan”, yakni mereka yang tidak termasuk sebagai aktor negara dan mereka yang tidak termasuk aktor masyarakat. Para aktor-aktor ini dibagi dua, yakni aktor elektoral  dan aktor non-elektoral. Aktor elektoral diantaranya partai politik dan badan penyelenggara Pemilu. Sedangkan aktor non-elektoral diantaranya, kelompok bisnis, civil society, media, dan pemimpin-pemimpin informal. Bagaimana mereka saling berinteraksi, sumberdaya apa yang diperebutkan, bagaimana mereka melakukan negosiasi, power and resources-sharing, dan seperti apa polanya, adalah pertanyaan kunci dalam matakuliah ini. Karya John T. Sidel Capital, Coercion and Crime: Bossism in the Phillipines seringkali dikutip oleh pengampu untuk memberikan contoh bagaimana aktor-aktor informal berperan dalam politik di Filipina. Sebagai tugas akhir, mahasiswa diminta untuk memilih tema dan aktor intermediari yang akan dkaji. Bentuk tugas akhirnya pun tidak harus dalam bentuk paper, dapat juga berupa “kuliah” bersama aktor intermediari dan membuat film dokumenter. Salah satu hasil tugas dari matakuliah ini adalah kuliah bersama aktor penyelenggara Pemilu, studi kasus atas Ketua Bawaslu Provinsi DIY dan peran yang dimainkan oleh NU dan Muhammadiyah dalam Pilkada serentak di tiga kabupaten di Provinsi DIY tahun 2015. Matakuliah ini memberikan insight baru bahwa aktor-aktor intermediari tidak hanya berperan menjembatani relasi antara negara dan masyarakat, tetapi juga relasi diantara mereka pun memiliki dinamika dan logikanya sendiri.
Matakuliah kelima adalah Teori Politik. Matakuliah ini memberi dasar teoritis atas beragam gejala dan fenomena yang menjadi cakupan ilmu politik. Mahasiswa dibekali pemahaman tentang fungsi teori dalam penelitian dan bagaimana memungut teori tersebut menjadi kerangka berfikir. Ada lima teori yang diulas secara panjang-lebar, yaitu teori basis kuasa, teori elit, teori representasi, teori strukturasi Anthony Gidden dan teori contentious. Keempat teori tersebut dapat dikatakan sebagai satu rangkaian cara berfikir dan masih tersambung satu sama lain, dari yang sederhana sampai yang paling kompleks. Sebagai tugas akhir mahasiswa langsung terjun ke lapangan (Studi lapangan di obyek wisata Goa Pindul di Kabupaten Gunungkidul) dan diminta membuat laporan sesuai dengan pilihan teori yang diambil. Mereka diminta untuk menilai kelemahan dan kelebihan masing-masing teori manakala digunakan untuk melihat dinamika masyarakat. Matakuliah ini memberikan dasar bahwa tidak ada teori yang “sempurna” untuk memahami masyarakat, tetap ada ruang untuk mengkritik teori yang ada. Untuk itu, tugas para ilmuwan adalah menemukan celah dari teori, justru dengan cara itu, ilmu politik menjadi semakin berkembang.
Matakuliah terakhir adalah Governance dan Kebijakan Publik (GKP). Matakuliah ini memberikan dimensi-dimensi kunci pada isu kesalingterhubungan dan ke-salingmembutuhkan-nya antara negara, pasar dan masyarakat dalam mengurus urusan publik (governance), pergeseran-pergeseran pada seputar isu itu dan kecenderungan yang terjadi saat ini. Tak terkecuali mengelaborasi kegagalan-kegagalan sejumlah model yang pernah diterapkan. Pada paruh kedua didalami masalah kebijakan-kebijaan publik, bagaimana ia dirumuskan sampai dengan diimplementasikan tentu dari dimensi bagaimana ilmuwan politik memahami kebijakan publik. Pada akhir semester, mahasiswa diminta untuk menyusun policy paper terhadap suatu permasalahan.
Demikianlah, uraian tentang studi konsentrasi tata kelola di UGM. Perspektif dan insight yang didapat pada perkuliahan semester pertama sangat membantu pada perkulihan semster kedua yang “sangat pemilu”. Melalui beragam cara baca dan mode pemahaman yang didapat dikeenam matakuliah tersebut sedikit banyak telah membawa konsentrasi tata kelola di UGM menjadi tidak eksklusif terhadap fenomena dan gejala yang nampak “bukan pemilu”, tapi sesungguhnya sangat terkait dengan penyelenggaraan Pemilu. Selain itu, melalui pemahaman itu juga membuat pemahaman studi konsentrasi tidak terisolir pada dimensi teknis-administratif semata, tetapi juga jalin-kelindannya dengan dimensi kekuasaan dan sumber daya. Di atas itu semua, membuat kajian tata kelola pemilu lebih senstif pada dimensi etika dan diskursus demokrasi secara lebih luas.

SUBHAN PURNO AJI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar