Rabu, 20 April 2016

BELAJAR PENYELENGGARAAN PEMILU DARI BELANDA, ARGENTINA DAN INDIA


Dalam International Seminar : “Democracy, Election, and Election Supervision In Conection to Exchange of View And Election System Comparison on Election With Partner Countries” di AMC UMY(20/4), Bawaslu mengundang Henk Kummeling (Ketua KPU Belanda), Ricardo Luis Bocalandro (Duta Besar Argentina di Indonesia), dan Ms Nengcha Lhouvum Mukhopadhaya (Duta Besar India di Indonesia).

Mengapa Belanda dan Argentina? Kedua negara ini memiliki sistem pemilu yang sama dengan Indonesia menggunakan sistem Proportional Reprsentation sedangkan mengapa India? sistem pemilu di India berbeda menggunakan Majority Plurality khususnya First Pass The Post (FPTP) namun memiliki jumlah pemilih yang besar kurang lebih 800 juta pemilih (terbesar kedua di dunia), sama dengan Indonesia yang memiliki jumlah pemilih besar pula.

Meskipun memiliki sistem pemilu yang sama, penyelenggaraan Pemilu di Belanda lebih sederhana. Memiliki Electoral Council di tingkat nasional dengan 7 anggota, yang independen,dipilh dengan open recruitment (berdasarkan skills dan expertise), dan bertemu sebulan sekali apabila tidak mendekati pemilu. Pengadaan logistik diserahkan pewakilan daerah, Electoral Council hanya memberikan spesifikasi. Pendidikan pemilih dan supervisi dana kampanye dilakukan oleh Kementerian dalam Negeri. Belanda tidak memiliki Badan Pengawas Pemilu. Apabila terjadi sengketa secara informal diselesaikan oleh Electoral Council, atau secara fprmal melalui Administrative Court. Pada suatu saat pernah terjadi kesalahan administrasi penyelenggara ketika salah satu perwakilan daerah seharusnya mengisi rekapitulasi suara menggunakan pensil namun digunakanlah bolpoin biru, dan kertas tersebut dimasukkan dalam mesin penghitung. Akhirnya hasil penghitungan suara tersebut oleh Electoral Council diserahkan pada partai politik, dan partai politik tidak mempersalahkannya. Betapa tingkat trust peserta pemilu sangatlah tinggi terhadap penyelenggara Pemilu.

Argentina, memiliki daftar pemilih secara permanen (Permanent Voters Registration).Penyelenggara pemilu mengupdate berkala daftar pemilih. Daftar pemilih yang baik didukung dengan data kependudukan yang baik pula. Mendaftarkan anak ketika lahir adalah wajib, dan apabila tidak dilaksanakan mendapatkan sanksi. Penggunan dokumen orang yang sudah meninggal pun juga memiliki sanksi yang berat. Argentina tidak memiliki badan pengawas Pemilu secara formal, warga negara aka terpilih menjadi pengawas Pemilu dengan disurati, dan didampingi oleh saksi partai politik serta apabila terjadi sengketa pemilu di tingkat daerah diseleaikan oleh pengadilan federal di masing-masing daerah (jika di Indonesia di tingkat provinsi) dan terdapat National Electional Chamber yang memiliki kapasitas utama dalam mengontrol proses sengketa nasional.

India, Election Comission terdiri dari 3 komisioner dan dibantu sekretariat yang bertugas melaksanakan dan megawasi pemilu. Pemilu di India diselenggarakan dalam beberapa hari. Pemungutan suara dengan e-voting. Dan mesin itu dibawa bergilir ke beberapa tempat pemungutan suara. Mesin e-voting dirancang dan diproduksi di India. Untuk menjaga integritas pemilu,penggunaan mesin e-voting memiliki prosedur ketat tentang siapa yang bisa menjadi operator, pengecekan tidak adanya data yang sudah dimasukkan sebelum digunakan saat pemungutan suara. Dan apabila ada sengketa pemilu diselesaikan di pengadilan.

Belajar dari ketiga negara di atas, Penyelenggara Pemilu di Indonesia paling lengkap, terdapat Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilu dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu. Kita harus berbangga atau prihatin? Pada awalnya penyelenggara pemilu di Indonesia hanyalah Komisi Pemilihan Umum dan berkembang karena kebutuhan akan independensi masing-masing lembaga tersebut. Kelengkapan lembaga pemilu di Indonesia adalah agar menjamin pelaksanaan pemilu yang berintegritas dari sisi pelaksanaan dan etika. Dan apakah dengan keberadaan lembaga-lembaga tersebut pemilu di Indonesia sudah demokratis? Ataukah di Indonesia  trust akan lembaga pemilu rendah, ketidakpercayaan akan satu lembaga diselesaikan dengan pembuatan lembaga baru atau penguatan lembaga yang lain. Pertanyaan selanjutnya kapan kita bisa menata daftar pemilih yang berkelanjutan dan penggunaan teknologi untuk pemungutan suara?  
ANI ARIFIANI UMAR

Tidak ada komentar:

Posting Komentar