Rabu, 20 April 2016

MEMAHAMI KEKERASAN ELEKTORAL DI PAPUA

Pusat Kajian Keamanan dan Perdamaian (PSKP) dan Institute of International Studies (IIS) UGM, Senin (18/4), menyelenggarakan diskusi tentang “Kekerasan Pilkada di Papua” di ruang Seminar Timur FISIPOL. Dr. Mohammad Zulfan Tadjoeddin (Western Sydney University) dan Dr. Rizal Panggabean, M.Sc (PKSP UGM) hadir sebagai pembicara untuk memaparkan rencana penelitiannya tentang meningkatnya kekerasan Pilkada di Papua dari Pilkada seri I (2005-2008) dan Pilkada seri II (2010-2013). Sebagai pembahas adalah Kuskrido Ambardi, Ph.D (Departemen Ilmu Komunikasi FISIPOL) dan Drs. Bambang Purwoko (Jurusan Politik Pemerintahan FISIPOL). Adapun moderator adalah Prof. Dr. Sigit Riyanto, SH, LLM.
Pada pemaparannya Zulfan membeberkan hasil penelitiannya tentang kekerasan Pilkada di Papua dengan mengintrodusir Electoral Hostility Index (EHI), yakni skor yang disusun berdasarkan jumlah dan intensitas kekerasan Pemilu. EHI dibagi ke dalam empat level, 1 (rendah), 2 (sedang), 3 (tinggi) dan 4 (sangat tinggi). Menurutnya, terjadi peningkatan yang sangat mencolok dalam hal EHI dengan level 4 di beberapa kabupaten/kota di Papua antara seri I Pilkada dan seri II Pilkada. Hal ini sangat berbeda dengan pemilu-pemilu nasional, yang dapat dikatakan tidak terjadi kekerasan yang berarti. “Terjadi perbedaan perilaku elektoral oleh masyarakat atau aktor pemilihan, antara pemilu nasional dan pemilu daerah. Secara signifikan, terdapat lebih banyak konflik dan kekerasan dalam Pilkada dibandingkan dengan pemilu nasional”, ujar penulis buku Explaining Collective Action in Contemporary Indonesia: From Conflict to Cooperation (Palgrave, 2014) ini.
Lebih lanjut, Zulfan menjelaskan bahwa peningkatan EHI inilah yang mendorongnya untuk lebih dalam memahami gejala ini. Jika pada penelitian sebelumnya ia banyak menggunakan teori-teori modernisasi, seperti Martin Lipset dan Robert Barro, maka pada penelitian ini akan banyak bersentuhan dengan teori-teori yang menjelaskan kekerasan sebagai bagian dari strategi para aktor, baik elit maupun massa, serta variasi yang terjadi antar wilayah. “Penelitian ini akan menggabungkan perspektif makro dan perspektif mikro untuk memahami kekerasan Pilkada”, imbuhnya.
Sementara itu, Rizal menambahkan bahwa pemahaman tentang kekerasan Pilkada di Papua belum mampu untuk menjawab mengapa di satu kabupaten/kota terjadi kekerasan sementara yang lain tidak. Menurutnya, hal itu dikarenakan kecenderungan akademik untuk memahami Papua lebih banyak menaruh perhatian pada faktor struktur dan kultur, sehingga seolah-olah seluruh wilayah Papua itu sama. Pemahaman itu mengabaikan strategi para aktor yang berbeda satu tempat dengan tempat lain. “Papua selalu dipahami sebagai satu kesatuan yang monolitik, padahal ada banyak variasi”, ujar pengajar Departemen Hubungan Internasional Fisipol ini. Maka penelitian ini difokuskan pada level kabupaten/kota untuk dapat lebih memetakan strategi para aktor dan mobilisasi untuk menjadi tindakan kolektif berupa kekerasan.

Variasi Etnisitas dan Tradisi Pemerintahan
Pada tanggapannya, Kuskrido Ambardi memberikan apresiasi terhadap penyusunan EHI, yang membayangkan bagaimana kerasnya untuk mengubah data mentah dari berita-berita di media cetak dalam rentang waktu yang relatif panjang menjadi angka-angka sampai menjadi indeks. Meski begitu, masih terdapat pertanyaan tentang bagaimana penelitian ini akan menempatkan variasi pembelahan sosial di masyarakat, padahal dalam Pilkada seringkali faktor agama dan etnisitas sangat penting. “Berdasarkan pengalaman melakukan survey di beberapa Pilkada, isu tentang suku, misalnya, sangat penting”, ujar pria yang akrab disapa Dodi ini.
Pada kesempatan yang sama, Bambang Purwoko memaparkan pengalaman penelitiannya di Papua. Menurut Bambang, masyarakat Papua memiliki keragaman yang sangat tajam dan beragam, dan sangatlah berbeda dengan masyarakat Indonesia di tempat lain. Struktur sosial masyarakat Papua dibagi atas beberapa suku, setiap suku belah lagi menurut institusi rumah adat, sehingga disana tidak pernah ada suku yang memiliki otoritas yang kedudukannya lebih tinggi dari yang lain. “Disana tidak mengenal tradisi kerajaan, seperti di Jawa atau Kalimantan. Maka tidak memiliki tradisi berpemerintahan seperti di daerah lain”, ujarnya. Akibatnya, institusi-institusi demokrasi, misalnya Pemilu dan partai politik dianggap sebagai sesuatu yang baru bagi masyarakat Papua. Bambang juga memberikan perhatian pada aspek nilai-nilai tradisi, seperti upacara “bakar batu” sebagai tradisi untuk merayakan perdamaian antar suku setelah terjadi peperangan, yang secara tidak langsung mempengaruhi cara mereka untuk memaknai kekerasan-kekerasan yang terjadi. “Ada makna yang berbeda tentang kekerasan bagi kita sebagai peneliti dengan makna kekerasan menurut mereka”, ujar pria yang juga menjadi Ketua Pokja Papua di Jurusan Politik dan Pemerintahan ini.

SUBHAN PURNO AJI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar