Jumat, 22 April 2016

EXPERT-BASED, IDENTITY-BASED ATAU IDEOLOGY-BASED?: MENGKAJI ULANG KATEGORI REKRUITMEN BADAN PENYELENGGARA PEMILU DI INDONESIA

Buku-buku teks tentang manajemen kepemiluan mengkategorikan model badan penyelenggara Pemilu dengan  model independen, campuran dan partisan. Sedangkan model pengisian anggotanya dapat dikategorikan model para ahli (expert-based) dan partisan partai politik (multy party-based). Adapun proses rekruitmen juga dapat dibedakan antara model rekruitmen terbuka (open recruitment), diumumkan secara terbuka dan memberikan kesempatan pada semua orang, dan model rekruitmen tertutup (close-recruitment), yakni hanya pihak-pihak
tertentu saja yang dapat menjadi anggota BPP (Wall et.all 2006). Indonesia sering dikategorikan mempraktekkan kategori yang pertama, dimana pengumuman rekruitmen anggota diumumkan secara terbuka, prosesnya menekankan pada kemampuan, pengalaman dan pengetahuan sertapara pelaksanaannya dilakuan dengan ketat melalui tes-tes tertentu. Kategori rekruitmen ini yang dikenal dengan istilah merit-system. Tetapi pertanyaannya mengapa di Indonesia seringkali praktek-praktek rekruitmen anggota BPP tidak mencerminkan konsepsi ideal itu. Justru, kadangkala ditemui rekruitmen berdasarkan kategori lain, lebih mencerminlan perwakilan berdasarkan pada peta kekuatan politik, identitas dan/atau ideologi yang ada di dalam masyarakat? Bukankah jika konsisten dengan merit-system setiap orang yeng memiliki kemampuan dan pengalaman berhak memiliki kesempatan menjadi anggota badan penyelenggara Pemilu? Mengapa pada proses rekruitmen selalu saja ada indikasi calon titipan, “wongku” (orang saya), jaringanku (jaringan saya) dan istilah serupa yang lebih dikategorikan sebagai spoil system atau patronage system. Bagaimana kita dapat menjelaskan itu semua?
Demikianlah beberapa pertanyaan-pertanyaan yang mengemuka pada diskusi kelas matakuliah “Birokrasi dan Organisasi Penyelenggara Pemilu”, Jumat (22/4). Matakuliah ini memang mengharuskan setiap peserta kelas untuk mempresentasikan sub-tema yang akan dibahas, dari mulai sejarah sampai dengan rekuritmen BPP di tingkat global sampai dengan yang terjadi di Indonesia. Tema-tema yang diaparkan sedapat mungkin masalah-masalah yang dihadapi, dilihat, dialami dan menjadi kehirauan (concern) masing-masing. Pada kelas ini akan diulas masalah politisasi rekruitmen anggota BPP di Indonesia.
“Dengan melihat daftar riwayat hidup para anggota KPU non-partisan periode 2001-2007, 2007-2012 dan 2012-2017 serta KPU kabupaten yang dijadikan kasus, ada pola dimana latar belakang organisasi kemasyarakatan dan alumni organisasi kemahasiswaan menjadi hal penting dalam proses rekruitmen”, ujar Subhan Purno Aji dalam presentasinya, yang lebih lanjut melabeli gejala itu sebagai “politisasi informal”. Gejala itu terutama nampak pada tahap akhir proses rekruitmen. Lebih lanujut, selain adanya politisasi informal, juga dalam proses rekruitmen meniscayakan politisasi formal, yakni campur-tangan aktor-aktor formal negara dalam proses rekutimen. Politisasi jenis ini memang menjadi keinginan regulasi formal, yakni anggota BPP dipilih oleh lembaga politik. “Pemilihan para anggota KPU melalui proses politik di DPR, disana meniscayakan adanya kompromi, power-sharing, negosiasi dan lain-lain. Sehingga rekruitmen merupakan field of power”, tambahnya. Meski begitu, derajat politisasi, baik formal maupun informal, berlangsung secara berbeda-beda pada setiap periode, tempat,  dan tingkat (pusat, provinsi kabupaten/kota), bergantung pada regulasi formal dan konstelasi politik masing-masing. Melalui konsepsi derajat politisasi, yakni bagaimana intensitas, kedalaman dan pola regulasi formal dan “pengaturan” informal dalam proses seleksi, dapat menjadi kategori baru mengklasifikasikan proses rekruitmen yang khas Indonesia.
Independensi sebagai “ideal-type”
Dikarenakan para anggota BPP tidak dapat dilepaskan dari sejarah personalnya, lingkungan sosial pergaulannya dan afiliasinya dengan kekuatan sosial-politik tertentu, akan sangat sulit untuk menegakan independensi dan imparsialitas. Para anggota BPP memiliki karakter sosial yang telah embedded (melekat) dengan struktur sosial yang ada di masyarakat. Dengan demikian, independensi yang distandarkan terutama dalam buku-buku teks, seolah hanya menjadi “ideal-type” di atas kertas, ketimbang realitas di lapangan. “Oleh karena itu, agenda riset ke depan adalah bagaimana mengaitkan performa termasuk derajat independensi dan kualitas penyelenggaraan Pemilu yang dihasilkan dari proses rekruitmen yang mengalami politisasi itu”, lanjut Subhan, yang mengaku akan menjadikan hal itu sebagai tema tesisnya.
Sementara itu, di beberapa tempat di wilayah timur Indonesia, juga mengamini adanya politisasi. Disana proses yang rekruitmen anggota BPP diwarnai indikasi yang kuat adanya politisasi formal dan informal. “Mungkin kalau di Papua lebih pada kategori orang pendatang dan orang pribumi dalam penentuan akhir siapa-siapa yang terpilih”, ujar Amrin Wou, mahasiswa tata kelola Pemilu (TKP) asal Papua.
Hal yang sama disampiakan Yenita Rahmah, mahasiswa kelas TKP asal Papua Barat, yang memperhatikan faktor agama para calon terpilih sebagai pertimbangan dalam penentuan hasil akahir proses rekruitmen. “Ada kompromi 2 banding 3 atau 1 banding 4, dengan memperhatikan agama para calon anggota”, kata perempuan yang akan mengambil partisipasi sebagai tema tesis ini.
Politisasi tidak hanya terjadi pada proses seleksi komisioner, tetapi juga, bahkan, pada rekruitmen panitia ad hoc PPK, PPS dan KPPS. Hal itu disampaikan oleh Abdul Latif dengan mengambil kasus di Kabupaten Batang. “Ada kecenderungan jika komisionernya dari organisasi tertentu, sampai tingkat KPPS diisi oleh anggota dari afiliasi yang sama”, ujar Abiy, panggilan akrab pria asal Brebes ini. Menurut Abiy, hal seperti tidak seluruhnya berdampak negatif, di beberapa keadaan malah sebaliknya, menjadi hal yang positif dalam penyelenggaraan Pemilu.
Cornelis Lay, pengajar mata kuliah ini mengkritisi ketidaksinkronan antara data yang disajikan dengan penarikan kesimpulan. Menurutnya, data yang ditampilkan sudah menyertakan adanya latar belakang organisasi, tapi apakah kesimpulannya hanya cukup mengatakan adanya kedekatan dengan aktor politik. Data itu justru seolah ingin mengatakan bahwa adanya rekruitmen berdasar pada ideologi dan identitas menjadi hal yang penting, ketimbang keahlian. Itu harus dipertegas agar data yang sudah diperoleh dapat dijadikan sebagai kategori analitis yang jelas. “Dalam mengkategorikan harus diperbaiki lagi”, kata pria yang juga penulis buku Involusi Politik ini.
Sementara itu, Mohammad Najib yang juga menjadi pengajar pada kelas ini juga memberikan penilaian bahwa memang itulah masalah-masalah yang dihadapi dalam proses rekruitmen. Selanjutnya, tinggal dari kelas ini dapat melahirkan rekomendasi untuk perbaikan ke depan.

SUBHAN PURNO AJI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar