Rabu, 20 April 2016

JIMLY: DARI RULE OF LAW KE RULE OF ETHIC

Ancaman sanksi pidana pada undang-undang Pemilu ternyata tidak memberikan efek jera kepada para pihak untuk melakukan pelanggaran Pemilu. Hal itu dapat dimaklumi karena ancamannya hanya tiga bulan kurungan. Lagi pula para penegak hukum melalui Gakumdu (penegakan hukum terpadu) tidak berjalan efektif selama ini. Untuk itu diperlukan cara lain untuk membuat efek jera demi untuk menegakan integritas Pemilu.
Demikian salah satu petikan materi yang disampaikan oleh Prof. Jimly Asshidiqy, Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), pada acara  Seminar Internasional bertajuk “Democracy, Election, and Election Supervision in Connection to Exchange of View and Election System Comparison on Election with Partner Countries”, Rabu (20/4), di aula Asri Medical Centre (AMC) UMY. Kegiatan ini terselenggara atas kerjasama Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Republik Indonesia, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, dan Fakultas Hukum UI. Jimly yang daulat sebagai keynote speaker menambahkan bahwa dalam undang-undang Pemilu dikenal tiga aturan, yaitu etika, hukum administrasi negara dan hukum pidana. Masing-masing hukum mengenal juga sanksi. Saat ini, menurut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini, ternyata sanksi pidana berupa ancaman kurungan tidak efektif, maka saatnya memikirkan penegakan hukum etik dengan ancaman hukum administrasi negara berupa pencoretan dan dikualifikasi. DKPP telah berjalan untuk menegakan etika para penyelenggara Pemilu dan telah menjatuhkan sanksi pemecetan bagi mereka yang melanggar etika berat. Tetapi aspek etik belum diatur bagi para peserta, mereka belum tersentuh dimensi etika Pemilu. “Seharusnya para peserta Pemilu juga terikat pada kode etik rule of ethics”, ujar Jumly, yang pelanggarannya dapat dijatuhi ancaman pencoretan dan diskualifikasi agar memberikan efek jera.
Cabang Kekuasaan
Selain itu, Jimly menyoroti pembagian kekuasaan menurut Montesquieu yang sudah perlu dipikirkan ulang. Menurutnya trias politika sudah tidak relevan lagi. Yang terjadi saat ini, secara makro, yang berkuasa adalah eksekutif, legislatif, yudikatif dan media. Keempat itu mencerminkan interaksi antara pasar, negara dan masyarakat sipil. Media telah menjadi pembentuk opini yang efektif, terutama media televisi. “Jangan sampai keempat kekuasaan hanya terpusat di satu tangan”, katanya, sembari menjelaskan saat ini ada kecenderungan untuk terpusat pada pihak-pihak tertentu. Untuk itu, media harus diatur, karena mereka juga menggunakan fasilitas publik berupa frekuensi. Karena mereka menggunakan fasilitas publik, mereka juga harus bertanggung jawab dan memberikan kontribusinya untuk mendidik masyarakat dalam perbaikan proses demokrasi. Misalnya, saat ini partai politik mengeluarkan biaya yang besar untuk biaya kampanye, jadi mengapa media televisi tidak dimintai slot jam tayang untuk seluruh partai politik secara adil dan berimbang.
SUBHAN PURNO AJI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar