Pada bagain pertama dari tulisan
ini telah dijelaskan tentang studi konsentrasi tata kelola pemilu di UGM secara
umum. Pada bagian kedua tulisan ini hendak menjelaskan suasana dan tradisi akademik
yang berlaku dalam studi pasca sarjana di Jurusan Politik Pemerintahan (JPP)
UGM yang sangat berpengaruh terhadap studi konsentrasi tata kelola pemilu.
Masing-masing kelas S-2 di JPP
tidak boleh lebih dari 18 orang, maka untuk angkatan 30 (penerimaan mahasiswa
S-2 semester gasal 2015/2016), dibagi menjadi dua kelas karena satu angkatan
berjumlah 35 orang. Peserta yang berasal dari KPU/Bawaslu pun dibagi menjadi
dua, masing-masing empat orang di kelas A dan tiga orang di kelas B. Ini bisa
jadi sebagai wujud dari kebijakan JPP UGM yang lebih menekankan kualitas
daripada kuantitas mahasiswa.
Interaksi antara pengampu
matakuliah dengan para mahasiswa pun dilakukan tidak hanya tatap muka langsung
di dalam kelas, tetapi juga melalui penggunaan teknologi informasi. Salah satu
media yang dipakai adalah dropbox,
yang disediakan secara garis oleh perusahaan raksasa teknologi. Saluran
informasi itu lebih fleksibel ketimbang melalui e-mail. Salin dropbox, UGM juga telah menyediakan sistem
manajemen perkuliahan yang disebut elisa
(e-learning system of academic community).
Akses terhadap sumber-sumber pustaka juga sangat mendukung di UGM. Pihak perpustakaan
UGM telah menyediakan akses atas koleksi pustaka sama baiknya dengan akses atas
sumber-sumber elektronik, seperti e-book, jurnal dalam negeri dan luar negeri, laporan
penelitian dan koleksi elektronik tesis dan dissertasi. Beberapa hal itu sangat
membantu perkuliahan.
Pada semester pertama, memang
nyaris tidak ada matakuliah yang langsung terkait dengan tata kelola Pemilu.
Hal itu sempat menjadi kesulitan bagi para peserta yang berasal dari
KPU/Bawaslu, terutama mereka yang studi sarjananya bukan dari rumpun ilmu
sosial di bawah naungan Fisipol. Sebagian membayangkan studi tata kelola pemilu
lebih banyak membahas hal-hal teknis-administratif, seperti tata laksana
organisasi, manajemen organisasi, dan birokrasi kepemiluan. Hal itu dapat
dimaklumi mengingat menurut informasi awal yang didapat sebelum mendaftar ke
universitas pilihan, di UGM lebih memfokuskan diri pada aspek birokrasi dan
organisasi penyelenggara Pemilu. Para peserta pun sempat meminta konfirmasi
baik kepada pengelola maupun biro SDM KPU/Bawaslu tentang ketidaksamaan
ekspektasi dengan apa yang terjadi. Maka dari itu, rencana tesis yang disusun
sebagai salah satu syarat pendaftaran pun telah difokuskan pada tema-tema yang
menyangkut organisasi dan birokrasi kepemiluan itu. Apalagi di awal perkuliahan
pihak pengelola belum memberitahukan matakuliah tata kelola pemilu apa yang
ditawarkan.
Jet lag
Terdapat dua matakuliah pada
semester pertama yang mengarahkan mahasiswa untuk mulai memikirkan tema riset
tesis yang akan dilakukan, yaitu Cakupan dan Metodologi Ilmu Politik dan Teori
Politik. Pada matakuliah ini mahasiswa ditanya rencana riset yang akan diambil,
tentu tema tersebut harus berada pada cakupan ilmu politik. Jadilah para
peserta dari KPU/Bawaslu sempat “jet lag” (kondisi mabuk pasca-penerbangan) di
bulan-awal awal perkuliahan. Karena apa yang mereka pikirkan tentang tata kelola
pemilu sangat berbeda dengan tradisi akademik JPP UGM. Belum apa-apa pertanyaan
yang diajukan oleh para pengampu matakuliah adalah di sisi mana dimensi politik
dari rencana tesis yang akan diambil. Pertanyaan “mana politiknya” menjadi
momok yang terus menggelayut di benak para peserta. “Apa bedanya rencana tesis
Anda dengan laporan kegiatan di kantor KPU/Bawaslu”, sindir salah satu pengampu
matakuliah.
Para pengajar, terutama yang
terkait dengan metodologi, memang mengharuskan semua rencana tesis harus
mencakup dimensi relasi kuasa, dimensi yang menjadi pembeda ilmu politik dengan
ilmu sosial lain. Itu semua sebagai konsekuensi studi tata kelola pemilu di
bawah naungan JPP, dan dengan begitu, harus menjelaskan aspek “who get what, when and how much” a la
Laswell dalam setiap fenomena yang dikaji, tak terkecuali rencana tesis dari
para peserta tata kelola pemilu.
Tantangannya menjadi semakin
berat karena diawal perkuliahan pengelola sudah memberikan ultimatum kepada
para peserta dari KPU/Bawaslu untuk tidak lepas dari tema-tema yang terkait
dengan penyelenggaraan pemilu, dan lebih di dorong untuk mengambil permasalahan
yang dihadapi sehari-hari di satker masing-masing. Tidak hanya untuk rencana
tesis, bahkan sampai dengan penulisan paper penugasan perkuliahan juga akan
dipantau oleh pengelola. Dengan demikian, semakin menambah beban para peserta untuk
menjelaskan bagaimana tata kelola pemilu dipahami dengan menggunaan cara
pandang dan cara baca ilmuwan politik dalam menjelaskan beragam fenomena dan
gejala sosial.
Beragam Perspektif
Meskipun kegalauan-kegalauan di
atas muncul, tetapi hal itu tidak pernah disesali. Sekalipun matakuliah pada
semester pertama tidak ada yang langsung terkait dengan tata kelola pemilu dan
tidak sesuai “ekspektasi” para peserta, tetapi sangat bermanfaat dalam
memberikan perspektif dalam studi-studi tata kelola pemilu maupun kepemiluan
secara umum. Matakuliah metodologi dan matakuliah lain secara simultan memberikan
landasan yang kuat untuk memahami dan memberikan penjelasan atas fenomena dan
gejala sosial yang muncul dalam penyelenggaraan Pemilu. Maka di bawah ini akan
diuraikan secara sekilas matakuliah yang diajarkan pada semester pertama itu
dan hal-hal yang dapat diterapkan dalam studi tata kelola pemilu.
Pertama adalah matakuliah
Kekuasaan, Konflik dan Demokrasi (KKD). Ini adalah matakuliah yang langsung
terkait dengan proyek besar yang sedang yang digarap oleh JPP UGM dan Universitas
Oslo, Norwegia, dalam payung riset Power,
Welfare and Democracy (PWD), yakni mengaitkan isu-isu demokrasi dan
kesejahteraan. Pada matakuliah ini dikaji tulisan-tulisan “babon” tentang keterkaitan
demokrasi dengan modernisasi, pertumbuhan kelas menengah, kewarganegaraan,
kebebasan, dan kesejahteraan. Tulisan yang dikaji adalah karya-karya Joseph
Schumpeter, Seymour Martin Lipset, Barrington Moore, Tatu Vanhannen, Alexis de
Tocqueville, T.H. Marshall, Amartya Sen, Mancur Olson dan Stephen
Haggard-Robert R. Kaufman. Pemikiran-pemikiran mereka sangat berpengaruh dalam
membentuk peta besar pemikiran demokrasi secara keseluruhan, termasuk pemilu di
dalamnya. Output akhir penugasan dari matakuliah ini adalah pembuatan paper
yang dikerucutkan dalam isu kekuasaan, kesejahteraan dan demokrasi melalui teori-teori
yang telah dikaji. Khusus untuk peserta TKP didorong untuk mengaitkan Pemilu dengan
isu-isu yang muncul dalam survey baseline
PWD 2013, seperti keinginan publik agar negara menaruh perhatian pada pelayanan
dasar (kesejahteraan), menguatnya politik berbasis tokoh, munculnya populisme
dan telah mapannya institusi demokrasi yang menyangkut masyarakat sipil (PWD,2013)
Matakuliah kedua adalah Kajian Politik
Indonesia (KPI). Matakuliah ini mengkaji perkembangan studi-studi tentang
politik Indonesia. Matakuliah ini memetakan beragam perspektif untuk memahami
kepolitkian Indonesia sejak Orde Baru sampai dengan Indonesia pasca-Orde Baru.
Literatur yang digunakan menjelaskan kepolitikan Orde Baru, adalah karya-karya
Indonesianis awal seperti Herbert Feith, Harry J. Benda, Ruth T. McVey, Dwight
Y. King, Rex Mortimer, dan Richard Robison. Masing-masing kajian tersebut menjelaskan
kepolitikan Orde Baru dari perspektif dan pendekatan yang berbeda-beda,
sehingga dapat dianalisis kelemahan dan kekuatannya. Hasil kajian indonesianis
awal ini masih sangat berpengaruh dalam membentuk pemahaman politik Indonesia
kontemporer. Paruh kedua perkuliahan difokuskan untuk membahas kajian politik
Indonesia pasc-aOrde Baru. Adapun tulisan yang didalami untuk memahami kepolitikan
Indonesia pasca-Orde Baru adalah karya-karya Vedi R. Hadiz dan Richard Robison
tentang munculnya oligarki, William Reno tentang korupsi politik, Bossisme/local strongman dari John T. Sidel dan
perkembangan kajian partai politik yang digagas oleh Marcus Mietzner. Kajian
mereka saat ini begitu dominan untuk memahami kepolitikan Indonesia pasca-Orde
Baru, sehingga memberikan perspektif yang lebih komprehensif dalam memahami
fenomena dan gejala politik, termasuk penyelenggaraan Pemilu.
Matakuliah ketiga adalah Cakupan dan
Metodologi Ilmu Politik (CMIP). Kebijakan akademik JPP UGM memang mendorong
mahasiswa S2 untuk sudah memiliki rancangan tema tesis sejak awal. Matakuliah
ini dirancang untuk memberikan panduan penyusunan proposal tesis, setidaknya
sampai pada kerangka teori. Harapannya masuk semester kedua para mahasiswa
telah memiliki proposal tesis yang mendekati “matang”. Berbeda dengan
matakuliah lain, di matakuliah ini mahasiswa lebih banyak praktek daripada teori.
Sejak awal para mahasiswa diminta untuk menentukan tema tesis yang sesuai dalam
“cakupan” ilmu politik. Kemudian dari tema itu diminta untuk membuat
problematisasi atas fenomena/gejala yang akan diteliti sampai dengan merumuskan
masalah penelitian. Pengampu matakuliah akan menilai progres mahasiswa melalui
tulisan-tulisan yang telah dibuat melalui media “dropbox”. Meskipun terlihat
mudah, tetapi inilah matakuliah yang menguras energi selama semester pertama. Sebagian
besar mahasiswa tergopoh-gopoh mengikutinya. Tidak hanya harus memiliki skill
dalam menyampaikan gagasan melalui media tulisan, tetapi juga harus memiliki pemahaman
atas masalah yang diambil, bagaimana cara mendekatinya, gap pengetahuan apa yang nampak pada masalah itu dilengkapi dengan
tinjauan pustaka atas masalah yang akan diteliti dan memilih perspektif yang
diambil. Para mahasiswa tidak hanya sudah harus memikirkan dengan
sungguh-sungguh tentang tema tesis yang akan diambil di awal perkuliahan,
tetapi juga sudah mulai mengambil posisi darimana mereka akan mengambil
persepektif terhadap masalah yang akan diteliti. Model “mencicil” tesis ini
sangat bermanfaat untuk mempercepat akselerasi perkuliahan. Selama perkuliahan,
pengampu matakuliah hanya memberikan beberapa literatur yang wajib dibaca,
diantaranya adalah Power: A Radical View-nya
Steven Lukes dan Theory and Methods in
Political Science (David Marsh dan Gerry Stoker).
Matakuliah keempat adalah Politik
Intermediari. Matakuliah ini mengkaji relasi kuasa dan distribusi
sumberdaya para “aktor pertengahan”, yakni mereka yang tidak termasuk sebagai aktor
negara dan mereka yang tidak termasuk aktor masyarakat. Para aktor-aktor ini
dibagi dua, yakni aktor elektoral dan
aktor non-elektoral. Aktor elektoral diantaranya partai politik dan badan
penyelenggara Pemilu. Sedangkan aktor non-elektoral diantaranya, kelompok
bisnis, civil society, media, dan
pemimpin-pemimpin informal. Bagaimana mereka saling berinteraksi, sumberdaya
apa yang diperebutkan, bagaimana mereka melakukan negosiasi, power and resources-sharing, dan seperti
apa polanya, adalah pertanyaan kunci dalam matakuliah ini. Karya John T. Sidel Capital, Coercion and Crime: Bossism in the
Phillipines seringkali dikutip oleh pengampu untuk memberikan contoh
bagaimana aktor-aktor informal berperan dalam politik di Filipina. Sebagai
tugas akhir, mahasiswa diminta untuk memilih tema dan aktor intermediari yang
akan dkaji. Bentuk tugas akhirnya pun tidak harus dalam bentuk paper, dapat
juga berupa “kuliah” bersama aktor intermediari dan membuat film dokumenter.
Salah satu hasil tugas dari matakuliah ini adalah kuliah bersama aktor
penyelenggara Pemilu, studi kasus atas Ketua Bawaslu Provinsi DIY dan peran yang
dimainkan oleh NU dan Muhammadiyah dalam Pilkada serentak di tiga kabupaten di
Provinsi DIY tahun 2015. Matakuliah ini memberikan insight baru bahwa aktor-aktor intermediari tidak hanya berperan menjembatani
relasi antara negara dan masyarakat, tetapi juga relasi diantara mereka pun memiliki
dinamika dan logikanya sendiri.
Matakuliah kelima adalah Teori Politik.
Matakuliah ini memberi dasar teoritis atas beragam gejala dan fenomena yang
menjadi cakupan ilmu politik. Mahasiswa dibekali pemahaman tentang fungsi teori
dalam penelitian dan bagaimana memungut teori tersebut menjadi kerangka
berfikir. Ada lima teori yang diulas secara panjang-lebar, yaitu teori basis
kuasa, teori elit, teori representasi, teori strukturasi Anthony Gidden dan
teori contentious. Keempat teori
tersebut dapat dikatakan sebagai satu rangkaian cara berfikir dan masih
tersambung satu sama lain, dari yang sederhana sampai yang paling kompleks.
Sebagai tugas akhir mahasiswa langsung terjun ke lapangan (Studi lapangan di
obyek wisata Goa Pindul di Kabupaten Gunungkidul) dan diminta membuat laporan
sesuai dengan pilihan teori yang diambil. Mereka diminta untuk menilai kelemahan
dan kelebihan masing-masing teori manakala digunakan untuk melihat dinamika
masyarakat. Matakuliah ini memberikan dasar bahwa tidak ada teori yang “sempurna”
untuk memahami masyarakat, tetap ada ruang untuk mengkritik teori yang ada. Untuk
itu, tugas para ilmuwan adalah menemukan celah dari teori, justru dengan cara
itu, ilmu politik menjadi semakin berkembang.
Matakuliah terakhir adalah Governance dan Kebijakan Publik (GKP). Matakuliah ini memberikan
dimensi-dimensi kunci pada isu kesalingterhubungan dan ke-salingmembutuhkan-nya
antara negara, pasar dan masyarakat dalam mengurus urusan publik (governance), pergeseran-pergeseran pada
seputar isu itu dan kecenderungan yang terjadi saat ini. Tak terkecuali mengelaborasi
kegagalan-kegagalan sejumlah model yang pernah diterapkan. Pada paruh kedua
didalami masalah kebijakan-kebijaan publik, bagaimana ia dirumuskan sampai
dengan diimplementasikan tentu dari dimensi bagaimana ilmuwan politik memahami
kebijakan publik. Pada akhir semester, mahasiswa diminta untuk menyusun policy paper terhadap suatu
permasalahan.
Demikianlah, uraian tentang studi
konsentrasi tata kelola di UGM. Perspektif dan insight yang didapat pada perkuliahan semester pertama sangat
membantu pada perkulihan semster kedua yang “sangat pemilu”. Melalui beragam
cara baca dan mode pemahaman yang didapat dikeenam matakuliah tersebut sedikit
banyak telah membawa konsentrasi tata kelola di UGM menjadi tidak eksklusif
terhadap fenomena dan gejala yang nampak “bukan pemilu”, tapi sesungguhnya
sangat terkait dengan penyelenggaraan Pemilu. Selain itu, melalui pemahaman itu
juga membuat pemahaman studi konsentrasi tidak terisolir pada dimensi
teknis-administratif semata, tetapi juga jalin-kelindannya dengan dimensi kekuasaan
dan sumber daya. Di atas itu semua, membuat kajian tata kelola pemilu lebih
senstif pada dimensi etika dan diskursus demokrasi secara lebih luas.
SUBHAN PURNO AJI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar