Ancaman sanksi pidana pada
undang-undang Pemilu ternyata tidak memberikan efek jera kepada para pihak
untuk melakukan pelanggaran Pemilu. Hal itu dapat dimaklumi karena ancamannya hanya
tiga bulan kurungan. Lagi pula para penegak hukum melalui Gakumdu (penegakan
hukum terpadu) tidak berjalan efektif selama ini. Untuk itu diperlukan cara
lain untuk membuat efek jera demi untuk menegakan integritas Pemilu.
Demikian salah satu petikan
materi yang disampaikan oleh Prof. Jimly Asshidiqy, Ketua Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu (DKPP), pada acara Seminar Internasional bertajuk “Democracy, Election, and Election
Supervision in Connection to Exchange of View and Election System Comparison on
Election with Partner Countries”, Rabu (20/4), di aula Asri Medical Centre
(AMC) UMY. Kegiatan ini terselenggara atas kerjasama Badan Pengawas Pemilu
(Bawaslu) Republik Indonesia, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, dan Fakultas
Hukum UI. Jimly yang daulat sebagai keynote
speaker menambahkan bahwa dalam undang-undang Pemilu dikenal tiga aturan,
yaitu etika, hukum administrasi negara dan hukum pidana. Masing-masing hukum
mengenal juga sanksi. Saat ini, menurut mantan Ketua Mahkamah Konstitusi ini,
ternyata sanksi pidana berupa ancaman kurungan tidak efektif, maka saatnya
memikirkan penegakan hukum etik dengan ancaman hukum administrasi negara berupa
pencoretan dan dikualifikasi. DKPP telah berjalan untuk menegakan etika para
penyelenggara Pemilu dan telah menjatuhkan sanksi pemecetan bagi mereka yang
melanggar etika berat. Tetapi aspek etik belum diatur bagi para peserta, mereka
belum tersentuh dimensi etika Pemilu. “Seharusnya para peserta Pemilu juga terikat
pada kode etik rule of ethics”, ujar
Jumly, yang pelanggarannya dapat dijatuhi ancaman pencoretan dan diskualifikasi
agar memberikan efek jera.
Cabang Kekuasaan
Selain itu, Jimly menyoroti
pembagian kekuasaan menurut Montesquieu yang sudah perlu dipikirkan ulang.
Menurutnya trias politika sudah tidak relevan lagi. Yang terjadi saat ini, secara
makro, yang berkuasa adalah eksekutif, legislatif, yudikatif dan media. Keempat
itu mencerminkan interaksi antara pasar, negara dan masyarakat sipil. Media
telah menjadi pembentuk opini yang efektif, terutama media televisi. “Jangan
sampai keempat kekuasaan hanya terpusat di satu tangan”, katanya, sembari
menjelaskan saat ini ada kecenderungan untuk terpusat pada pihak-pihak tertentu.
Untuk itu, media harus diatur, karena mereka juga menggunakan fasilitas publik
berupa frekuensi. Karena mereka menggunakan fasilitas publik, mereka juga harus
bertanggung jawab dan memberikan kontribusinya untuk mendidik masyarakat dalam
perbaikan proses demokrasi. Misalnya, saat ini partai politik mengeluarkan
biaya yang besar untuk biaya kampanye, jadi mengapa media televisi tidak
dimintai slot jam tayang untuk seluruh partai politik secara adil dan
berimbang.
SUBHAN PURNO AJI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar