Pusat Kajian Keamanan dan Perdamaian (PSKP) dan Institute of
International Studies (IIS) UGM, Senin (18/4), menyelenggarakan diskusi tentang
“Kekerasan Pilkada di Papua” di ruang Seminar Timur FISIPOL. Dr. Mohammad Zulfan
Tadjoeddin (Western Sydney University) dan Dr. Rizal Panggabean, M.Sc (PKSP
UGM) hadir sebagai pembicara untuk memaparkan rencana penelitiannya tentang meningkatnya
kekerasan Pilkada di Papua dari Pilkada seri I (2005-2008) dan Pilkada seri II
(2010-2013). Sebagai pembahas adalah Kuskrido Ambardi, Ph.D (Departemen Ilmu
Komunikasi FISIPOL) dan Drs. Bambang Purwoko (Jurusan Politik Pemerintahan
FISIPOL). Adapun moderator adalah Prof. Dr. Sigit Riyanto, SH, LLM.
Pada pemaparannya Zulfan membeberkan hasil penelitiannya
tentang kekerasan Pilkada di Papua dengan mengintrodusir Electoral Hostility Index (EHI), yakni skor yang disusun
berdasarkan jumlah dan intensitas kekerasan Pemilu. EHI dibagi ke dalam empat level,
1 (rendah), 2 (sedang), 3 (tinggi) dan 4 (sangat tinggi). Menurutnya, terjadi
peningkatan yang sangat mencolok dalam hal EHI dengan level 4 di beberapa
kabupaten/kota di Papua antara seri I Pilkada dan seri II Pilkada. Hal ini
sangat berbeda dengan pemilu-pemilu nasional, yang dapat dikatakan tidak
terjadi kekerasan yang berarti. “Terjadi perbedaan perilaku elektoral oleh
masyarakat atau aktor pemilihan, antara pemilu nasional dan pemilu daerah.
Secara signifikan, terdapat lebih banyak konflik dan kekerasan dalam Pilkada
dibandingkan dengan pemilu nasional”, ujar penulis buku Explaining Collective Action in Contemporary Indonesia: From Conflict
to Cooperation (Palgrave, 2014) ini.
Lebih lanjut, Zulfan menjelaskan bahwa peningkatan EHI
inilah yang mendorongnya untuk lebih dalam memahami gejala ini. Jika pada
penelitian sebelumnya ia banyak menggunakan teori-teori modernisasi, seperti Martin
Lipset dan Robert Barro, maka pada penelitian ini akan banyak bersentuhan
dengan teori-teori yang menjelaskan kekerasan sebagai bagian dari strategi para
aktor, baik elit maupun massa, serta variasi yang terjadi antar wilayah. “Penelitian
ini akan menggabungkan perspektif makro dan perspektif mikro untuk memahami
kekerasan Pilkada”, imbuhnya.
Sementara itu, Rizal menambahkan bahwa pemahaman tentang
kekerasan Pilkada di Papua belum mampu untuk menjawab mengapa di satu
kabupaten/kota terjadi kekerasan sementara yang lain tidak. Menurutnya, hal itu
dikarenakan kecenderungan akademik untuk memahami Papua lebih banyak menaruh
perhatian pada faktor struktur dan kultur, sehingga seolah-olah seluruh wilayah
Papua itu sama. Pemahaman itu mengabaikan strategi para aktor yang berbeda satu
tempat dengan tempat lain. “Papua selalu dipahami sebagai satu kesatuan yang
monolitik, padahal ada banyak variasi”, ujar pengajar Departemen Hubungan
Internasional Fisipol ini. Maka penelitian ini difokuskan pada level
kabupaten/kota untuk dapat lebih memetakan strategi para aktor dan mobilisasi
untuk menjadi tindakan kolektif berupa kekerasan.
Variasi Etnisitas dan
Tradisi Pemerintahan
Pada tanggapannya, Kuskrido Ambardi memberikan apresiasi
terhadap penyusunan EHI, yang membayangkan bagaimana kerasnya untuk mengubah
data mentah dari berita-berita di media cetak dalam rentang waktu yang relatif
panjang menjadi angka-angka sampai menjadi indeks. Meski begitu, masih terdapat
pertanyaan tentang bagaimana penelitian ini akan menempatkan variasi pembelahan
sosial di masyarakat, padahal dalam Pilkada seringkali faktor agama dan
etnisitas sangat penting. “Berdasarkan pengalaman melakukan survey di beberapa
Pilkada, isu tentang suku, misalnya, sangat penting”, ujar pria yang akrab
disapa Dodi ini.
Pada kesempatan yang sama, Bambang Purwoko memaparkan
pengalaman penelitiannya di Papua. Menurut Bambang, masyarakat Papua memiliki keragaman
yang sangat tajam dan beragam, dan sangatlah berbeda dengan masyarakat
Indonesia di tempat lain. Struktur sosial masyarakat Papua dibagi atas beberapa
suku, setiap suku belah lagi menurut institusi rumah adat, sehingga disana
tidak pernah ada suku yang memiliki otoritas yang kedudukannya lebih tinggi
dari yang lain. “Disana tidak mengenal tradisi kerajaan, seperti di Jawa atau
Kalimantan. Maka tidak memiliki tradisi berpemerintahan seperti di daerah lain”,
ujarnya. Akibatnya, institusi-institusi demokrasi, misalnya Pemilu dan partai
politik dianggap sebagai sesuatu yang baru bagi masyarakat Papua. Bambang juga
memberikan perhatian pada aspek nilai-nilai tradisi, seperti upacara “bakar
batu” sebagai tradisi untuk merayakan perdamaian antar suku setelah terjadi
peperangan, yang secara tidak langsung mempengaruhi cara mereka untuk memaknai
kekerasan-kekerasan yang terjadi. “Ada makna yang berbeda tentang kekerasan
bagi kita sebagai peneliti dengan makna kekerasan menurut mereka”, ujar pria
yang juga menjadi Ketua Pokja Papua di Jurusan Politik dan Pemerintahan ini.
SUBHAN PURNO AJI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar