Buku-buku teks tentang manajemen
kepemiluan mengkategorikan model badan penyelenggara Pemilu dengan model independen, campuran dan partisan.
Sedangkan model pengisian anggotanya dapat dikategorikan model para ahli (expert-based) dan partisan partai
politik (multy party-based). Adapun
proses rekruitmen juga dapat dibedakan antara model rekruitmen terbuka (open recruitment), diumumkan secara
terbuka dan memberikan kesempatan pada semua orang, dan model rekruitmen
tertutup (close-recruitment), yakni
hanya pihak-pihak
tertentu saja yang dapat menjadi anggota BPP (Wall et.all
2006). Indonesia sering dikategorikan mempraktekkan kategori yang pertama,
dimana pengumuman rekruitmen anggota diumumkan secara terbuka, prosesnya
menekankan pada kemampuan, pengalaman dan pengetahuan sertapara pelaksanaannya
dilakuan dengan ketat melalui tes-tes tertentu. Kategori rekruitmen ini yang
dikenal dengan istilah merit-system. Tetapi pertanyaannya mengapa di
Indonesia seringkali praktek-praktek rekruitmen anggota BPP tidak mencerminkan
konsepsi ideal itu. Justru, kadangkala ditemui rekruitmen berdasarkan kategori
lain, lebih mencerminlan perwakilan berdasarkan pada peta kekuatan politik,
identitas dan/atau ideologi yang ada di dalam masyarakat? Bukankah jika
konsisten dengan merit-system setiap
orang yeng memiliki kemampuan dan pengalaman berhak memiliki kesempatan menjadi
anggota badan penyelenggara Pemilu? Mengapa pada proses rekruitmen selalu saja
ada indikasi calon titipan, “wongku”
(orang saya), jaringanku (jaringan saya) dan istilah serupa yang lebih
dikategorikan sebagai spoil system
atau patronage system. Bagaimana kita
dapat menjelaskan itu semua?
Demikianlah beberapa
pertanyaan-pertanyaan yang mengemuka pada diskusi kelas matakuliah “Birokrasi
dan Organisasi Penyelenggara Pemilu”, Jumat (22/4). Matakuliah ini memang
mengharuskan setiap peserta kelas untuk mempresentasikan sub-tema yang akan
dibahas, dari mulai sejarah sampai dengan rekuritmen BPP di tingkat global
sampai dengan yang terjadi di Indonesia. Tema-tema yang diaparkan sedapat
mungkin masalah-masalah yang dihadapi, dilihat, dialami dan menjadi kehirauan (concern) masing-masing. Pada kelas ini
akan diulas masalah politisasi rekruitmen anggota BPP di Indonesia.
“Dengan melihat daftar riwayat
hidup para anggota KPU non-partisan periode 2001-2007, 2007-2012 dan 2012-2017
serta KPU kabupaten yang dijadikan kasus, ada pola dimana latar belakang
organisasi kemasyarakatan dan alumni organisasi kemahasiswaan menjadi hal
penting dalam proses rekruitmen”, ujar Subhan Purno Aji dalam presentasinya, yang
lebih lanjut melabeli gejala itu sebagai “politisasi informal”. Gejala itu terutama
nampak pada tahap akhir proses rekruitmen. Lebih lanujut, selain adanya politisasi
informal, juga dalam proses rekruitmen meniscayakan politisasi formal, yakni
campur-tangan aktor-aktor formal negara dalam proses rekutimen. Politisasi
jenis ini memang menjadi keinginan regulasi formal, yakni anggota BPP dipilih
oleh lembaga politik. “Pemilihan para anggota KPU melalui proses politik di
DPR, disana meniscayakan adanya kompromi, power-sharing,
negosiasi dan lain-lain. Sehingga rekruitmen merupakan field of power”, tambahnya. Meski begitu, derajat politisasi, baik
formal maupun informal, berlangsung secara berbeda-beda pada setiap periode,
tempat, dan tingkat (pusat, provinsi
kabupaten/kota), bergantung pada regulasi formal dan konstelasi politik
masing-masing. Melalui konsepsi derajat politisasi, yakni bagaimana intensitas,
kedalaman dan pola regulasi formal dan “pengaturan” informal dalam proses
seleksi, dapat menjadi kategori baru mengklasifikasikan proses rekruitmen yang
khas Indonesia.
Independensi sebagai “ideal-type”
Dikarenakan para anggota BPP
tidak dapat dilepaskan dari sejarah personalnya, lingkungan sosial pergaulannya
dan afiliasinya dengan kekuatan sosial-politik tertentu, akan sangat sulit
untuk menegakan independensi dan imparsialitas. Para anggota BPP memiliki
karakter sosial yang telah embedded (melekat)
dengan struktur sosial yang ada di masyarakat. Dengan demikian, independensi yang
distandarkan terutama dalam buku-buku teks, seolah hanya menjadi “ideal-type”
di atas kertas, ketimbang realitas di lapangan. “Oleh karena itu, agenda riset
ke depan adalah bagaimana mengaitkan performa termasuk derajat independensi dan
kualitas penyelenggaraan Pemilu yang dihasilkan dari proses rekruitmen yang
mengalami politisasi itu”, lanjut Subhan, yang mengaku akan menjadikan hal itu
sebagai tema tesisnya.
Sementara itu, di beberapa tempat
di wilayah timur Indonesia, juga mengamini adanya politisasi. Disana proses
yang rekruitmen anggota BPP diwarnai indikasi yang kuat adanya politisasi
formal dan informal. “Mungkin kalau di Papua lebih pada kategori orang
pendatang dan orang pribumi dalam penentuan akhir siapa-siapa yang terpilih”,
ujar Amrin Wou, mahasiswa tata kelola Pemilu (TKP) asal Papua.
Hal yang sama disampiakan Yenita
Rahmah, mahasiswa kelas TKP asal Papua Barat, yang memperhatikan faktor agama
para calon terpilih sebagai pertimbangan dalam penentuan hasil akahir proses
rekruitmen. “Ada kompromi 2 banding 3 atau 1 banding 4, dengan memperhatikan
agama para calon anggota”, kata perempuan yang akan mengambil partisipasi
sebagai tema tesis ini.
Politisasi tidak hanya terjadi
pada proses seleksi komisioner, tetapi juga, bahkan, pada rekruitmen panitia ad hoc PPK, PPS dan KPPS. Hal itu
disampaikan oleh Abdul Latif dengan mengambil kasus di Kabupaten Batang. “Ada
kecenderungan jika komisionernya dari organisasi tertentu, sampai tingkat KPPS
diisi oleh anggota dari afiliasi yang sama”, ujar Abiy, panggilan akrab pria
asal Brebes ini. Menurut Abiy, hal seperti tidak seluruhnya berdampak negatif, di
beberapa keadaan malah sebaliknya, menjadi hal yang positif dalam
penyelenggaraan Pemilu.
Cornelis Lay, pengajar mata
kuliah ini mengkritisi ketidaksinkronan antara data yang disajikan dengan
penarikan kesimpulan. Menurutnya, data yang ditampilkan sudah menyertakan
adanya latar belakang organisasi, tapi apakah kesimpulannya hanya cukup
mengatakan adanya kedekatan dengan aktor politik. Data itu justru seolah ingin mengatakan
bahwa adanya rekruitmen berdasar pada ideologi dan identitas menjadi hal yang
penting, ketimbang keahlian. Itu harus dipertegas agar data yang sudah
diperoleh dapat dijadikan sebagai kategori analitis yang jelas. “Dalam
mengkategorikan harus diperbaiki lagi”, kata pria yang juga penulis buku Involusi Politik ini.
Sementara itu, Mohammad Najib
yang juga menjadi pengajar pada kelas ini juga memberikan penilaian bahwa
memang itulah masalah-masalah yang dihadapi dalam proses rekruitmen. Selanjutnya,
tinggal dari kelas ini dapat melahirkan rekomendasi untuk perbaikan ke depan.
SUBHAN PURNO AJI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar