Minggu, 24 Juli 2016

"NEGARA BAYANGAN" DAN KORUPSI POLITIK

Review William Reno “Chapter I Informal markets and The Shadow State: Some Theoritical Issues”. In William Reno. 1995. Corruption and State Politics in Sierra Leone. Cambridge University Press: Cambridge.

Karya William Reno ini memberikan gambaran penting tentang paradoks di negara-negara yang kaya akan sumber daya alam tetapi kesejahteraan masyarakatnya masih absen. Melalui karya ini William Reno memberikan penjelasan tentang kondisi sosial-politik dan dinamika kekuasaan di Sierra Leone, salah satu negara penghasil berlian di Afrika. Kasus Sierra Lione memberikan salah satu penjelasan menarik betapa sumber daya alam yang besar, di kelola oleh segelintir orang di dalam tata kelola negara yang amburadul. Hasilnya adalah sebuah paradoks. Kekayaan alam yang besar menjadi kutukan bagi rakyatnya, natural resources curse. Akses pengelolaan pertambangan berlian yang semestinya menjadi bagian dari tugas struktur-struktur formal negara, tetapi malah digantikan oleh struktur informal di luar negara. Kondsi inilah yang dilabeli Reno sebagai “negara bayangan” (shadow state). Reno menuliskan :
“...elsewhere i call this shadow state, a very real, but not formally recognized, patronage system that was rigidly organized and centered on rules control over resources” (Reno, 1995: 2)

Reno lebih lanjut menilai bahwa tumbuh-suburnya “negara bayangan” ini sebagai akibat dari pelapukan fungsi struktur-struktur formal negara yang akut, sehingga dengan kondisi itu dengan leluasa intitusi-institusi informal dengan mudah mengambil alih fungsi struktur formal. Celakanya, pengaturan oleh negara bayangan ini bukan untuk menggantikan struktur formal negara dalam menjalankan tugas menciptakan kesejahteraan, tetapi sebaliknya menjadi predator dan pemburu rente atas hasil sumber daya negara. Kondisi inilah yang dipaparkan Reno dalam karyanya itu.
Dalam menjabarkan cara bekerjanya “negara bayangan” bayangan ini Reno melihatnya dalam dua pendekatan, yaitu pendekatan state-centered dan society-centered. Pendekatan pertama mencoba melihat bahwa kondisi munculnya “negara bayangan” sebagai akibat dari tidak berfungsinya struktur pemerintahan “resmi”. Kondisi itu kemudian diberi label negara lemah (weak state). Pandangan ini menggambarkan kondisi institusi-institusi negara yang tidak dapat mengeluarkan kebijakan publik yang bagus (bad policy), sehingga tidak mampu menyelesaikan masalah-masalah yang dihadapi. Pelapukan fungsi negara tersebut dikarenakan terjadi pembusukan dalam organisasi birokrasi itu sendiri. Jaringan klientelisme yang predatoris dengan memanfaatkan sumber daya negara untuk diri mereka sendiri inilah yang semakin memperparah kondisi struktur resmi negara. Dalam situasi itu, kehadiran lembaga-lembaga donor internasional, seperti Wolrd Bank dan IMF justru semakin memperparah kondisi. Sebab mereka tidak melihat “penyakit” sesungguhnya, yaitu pada relasi kekuasaan yang predatoris. Akibatnya manakala mereka memberikan “resep obat” melalaui serangkaian reformasi kelembagaan tidak menyelesaikan akar masalahnya. 
Kedua, pendekatan society-centered. Melalui pendekatan ini Reno melihat bahwa semakin otonomnya pasar informal dalam menjalankan aktifitas-aktifitas ekonomi. Sudah dapat ditebak apa yang terjadi jika pasar dibiarkan mengatur dirinya sendiri. Yang terjadi adalah demi pengejaran keuntungan sebesar-besarnya, maka aktor-aktor di dalamnya melakukan transaksi-transaksi ekonomi yang illegal. Mereka berusaha untuk survive dengan keuntungannya masing-masing. Demi mendapatkan keuntungan, tak jarang hasil-hasil yang didapat dari akifitas pertambangan di ekspor ke luar negeri tanpa adanya intervensi negara melalui pajak dan bea. Hal ini selain karena lemahnya fungsi negara, juga terjadi “kong-kalikong” dengan aparat birokrasi negara. Pengaturan-pengaturan inilah yang semakin menguatkan akan kehadiran “negara bayangan” di Sierra Lione.
Dengan demikian, tulisan Reno dapat disimpulkan sebagai ketidakberdayaan negara dalam menjalankan fungsi-fungsinya. Ketidakberdayaan itu sendiri karena fungsinya sengaja dilucuti oleh aktor-aktor negara itu sendiri melalui pembusukan birokrasi dan korupsi. Di tambah lagi dengan semakin “ganasnya” pengaturan aktifitas-aktifitas ekonomi melalui pasar informal yang telah mengarah kepada transaksi yang illegal dengan “izin” negara. Yang terjadi di Sierra Lione adalah presiden yang korup, dimana manakala investor datang untuk menanamkan investasinya dalam pertambangan berlian justru tidak disalurkan dalam pengaturan yang resmi, tetapi malah diatur melalui institusi yang informal, suatu “negara bayangan”.

 Shadow State” dan Korupsi di Indonesia
Melalui penjelasan dan operasionalisasi argumen “negara bayangan” di Sierra Lione, Reno memberikan pijakan akademik yang sangat kuat tentang kajian korupsi di negara-negara yang kaya akan sumber daya alam, termasuk Indonesia, negara dengan sumber daya alam yang berkelimpahan. Konsep “negara bayangan” Reno sangat relevan untuk dipungut menjadi konsep penjelas muncul dan berkembangnya korupsi di Indonesia.
Salah satu yang muncul menjadi bahasan akademik yang menarik adalah tumpang tindihnya antara pemerintahan formal dan informal di tingkat lokal di Banten, salah satu provinsi hasil pemekaran pertama pasca Orde Baru. Disana muncul pengaturan yang melibatkan aktor non-negara dalam pengambilan kebijakan publik, dimana output kebijakan yang seharusnya bermuara pada pelayanan publik, tetapi yang terjadi adalah pengaturan societal actor (dalam hal ini jawara-pengusaha) dengan state actor (penyelenggara negara) untuk kepentingan diri mereka sendiri. Elit masyarakat ini justru lebih banyak mengintervensi aneka kebijakan publik untuk kepentingannya sendiri. Mereka mengembangkan mekanisme jaringan informal antara state actor dan non-state actor untuk mengeruk sumber daya ekonomi dan politik negara. Pola ini disebut “shadow state”, dimana kaburnya pengaturan-pengaturan formal dan informal serta aktor non-negara mengintervensi proses kebijakan publik untuk diri mereka sendiri (Hidayat, 2007). Alih-alih koordinasi antara aktor negara-non negara dibingkai oleh apa yang “good governance” yang muranya adalah kebaikan bersama, tetapi yang terjadi adalah “negara bayangan” yang dengannya urusan publik diatur sedemikian rupa oleh para elit. Semua itu beriringan dengan masih lemahnya institusi negara, sehingga institusi informal berkelindan dengan institusi formal tetapi menghasilkan pola yang bukan malah saling melengkapi untuk kebaikan publik, tetapi malah pola yang substitusi (institusi formal digantikan oleh institusi informal). Saling pengaruh tersebut sayangnya berjalan dalam proses yang kedap terhadap partisipasi dan miskin akuntabilitas.
Temuan-temuan penting Hidayat yang telah tekun meneliti perkembangan “negara bayangan” di Banten terkonfirmasi dengan penetapan tersangka Ratu Atut Choisiyah, penerus generasi jawaran-pengusaha di Banten. Atut ditetapkan sebagai tersangka karena berusaha untuk menyuap hakim konstitusi dalam penyelesaian perkara Pilkada untuk memenangkan salah satu kroninya.
Celakanya, pola-pola semacam itu tidak hanya terjadi di Banten, tetapi juga banyak terjadi di tempat lain ketika model governance diterapkan (Nordholt dan Klinken: 2007). Inilah paradoks yang terjadi di Indonesia.


DAFTAR PUSTAKA

Hidayat, Syarif. 2007. “Shadow State...? Bisnis dan Politik di Provinsi Banten”. Dalam Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken. Politik Lokal di Indonesia. KITLV-Yayasan Obor Indonesia: Jakarta.
Nordholt, Henk Schulte dan Gerry van Klinken. 2007. Politik Lokal di Indonesia. KITLV-Yayasan Obor Indonesia: Jakarta

Reno, William. Corruption and State Politics in Sierra Leone. Cambridge University Press.

Disusun oleh SUBHAN PURNO AJI sebagai tugas matakuliah Kajian Politik Indonesia Oktober 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar