Perdebatan akademik seputar kepolitikan
Indonesia pasca Orde Baru berkisar tentang siapa yang memegang kendali
perubahan dan bagaimana karakter demokrasi Indonesia. Salah satu perdebatan
yang muncul adalah perdebatan tentang argumen oligarki dan non-oligarki.
Munculnya dua argumen ini tidak dapat dilepaskan dari kajian yang mencoba
mengaitkan antara kekayaan material, ketimpangan dan kekuasaan.
Argumen oligarki secara kasar
mengandaikan bahwa kepolitikan Indonesia era reformasi tidak banyak berubah
dibandingkan dari era sebelum runtuhnya Orde Baru. Sejak 1998 memang Indonesia
telah bergeser dari negara otoritarian menjadi negara demokratis, tetapi sekelompok
individu masih bercokol dan memegang kendali atas sumberdaya-sumberdaya
penting. Dan celakanyan individu-individu tersebut merupakan aktor lama yang
“dicangkok” sejak era Soeharto. Jadi, dengan kata lain, Indonesia hari ini
adalah “Orde Baru” dengan bungkus yang berbeda, isinya nyaris sama tetapi
kulitnya saja berbeda.
Argumen oligarki ini cenderung
pesimistis dalam memandang demokratisasi di Indoensia. Seruan ini nyaring
didengungkan oleh orang-orang seperti Richard Robison dan Vedi R. Hadiz melalui
karya-karya mereka, terutama kolaborasi keduanya dalam Reorganizing Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in Age of
Market (2004). Selain mereka indonesianis lainnya, Jeffrey Winters, juga menulis
Oligarchy (2011). Singkatnya ketiga
orang ini menempatkan kajian politik Indonesia menggunakan pendekatan ilmu
politik, ekonomi-politik, sosiologi dan di atas itu semua berada pada tradisi
pemikiran teori elit.
Di spektrum yang lain, argumen
non-oligarki mengandaikan bahwa kepolitikan Indonesia terlalu disederhanakan hanya
pada penguasaan oleh segelitir kelompok elit (oligarki). Mereka menguasi
sebagian besar kelompok, dimana modusnya adalah menggabungkan pencarian
kekayaan dan kekuasaan politik (untuk diri mereka sendiri). Mereka berargumen
bahwa kepolitikan Indonesia merupakan hasil dari dinamika banyak aktor yang
menentukan keluaran (output) politik.
Argumen ini kemudian menyebut dirinya sebagai pendekatan pluralis, sembari
terus menyerukan pencarian kekayaan material dan kekuasaan politik dalam kajian
politik Indonesia kontemporer tidak dapat dikotak-kotakan dalam perspektif
oligarki saja, tetapi masih banyak aktor lain dalam “keranjang” yang berbeda
yang juga turut menentukan proses-proses itu.
Artikel “bab pendahulan” dari buku yang
diedit oleh Michele Ford dan Thomas B. Pepinsky ini, berusaha untuk menyajikan
dua argumen itu dalam satu volume yang disatukan di bawah tema kekayaan (wealth) dan kekuasaan (power) dalam kajian politik Indonesia
kontemporer. Pada awal tulisannya, Ford dan Pepinsky membahas argumen-argumen
utama dari para penyeru argumen oligarki (Robision, Hadiz dan Winters) dan
non-oligarki (Liddle, Pepinsky, Mietzner, Carraway-Ford, Aspinall dan Buehler).
Perbedaan-perbadaan apa yang menonjol dari kedua argumen itu, apa saja
kekhasaan masing-masing dan -tentu saja- bagaimana cara mereka mengeksplanasi
konsep-konsep yang dibangun menjadi inti dari artikel ini.
Tesis Oligarki
Tesis utama oligarki dalam kajian
politik Indonesia, sejauh pengamatan penulis, sejatinya telah muncul dalam
tulisan-tulisan yang mencoba menjelaskan kepolitikan Indonesia di bawah Orde
Baru, sebut saja tulisan Dwight Y. King yang mengintrodusir Orde Baru sebagai
rezim Birokratik-Otoritarian (BO). King menulis :
“In burecratic-Authoritarian model, ultimate
authority resides in an oligarchy or
the military as institution, rather than exclusively in an individual ruler.
Where a group military men or the military as an institution hold of power”
(King, 1982) (cetak tebal oleh penulis)
Munculnya argumen oligarki oleh King dalam
rangka untuk merespon penulis-penulis sebelumnya yang mengatakan bahwa Orde
Baru Indonesia hanya dikuasi oleh elit yang sangat terbatas
(birokratik-polity-nya Jackson) atau bertumpu pada individu Soeharto
(neo-patrimonial). King melihat besarnya kekuasaan sekelompok militer, yang dengan
kekuasaan itu mereka mencoba mencari otoritas politik untuk memperbesar
pengaruhnya-dan yang paling utama- untuk kepentingan survivalitas mereka
sendiri. Meskipun hanya sedikit memiliki korelasi dengan argumen oligarki yang
dibahas dalam artikel ini, tetapi kurang lebih sifat para oligark yang
dimunculkan oleh King mengarah pada pencarian otoritas politik untuk menopang
kepentingannya seperti yang didengungkan oleh penulis-penulis di bawah ini.
Dalam pada itu, argumen oligarki-nya
Robison dan Hadiz serta Winters dipakai untuk menganalisis perkembangan politik
Indonesia pasca-Orde Baru. Secara kasar mereka ingin mengatakan “Memang
demokrasi telah merubah politik Indonesia, tetapi sama sekali tidak merubah
kekuasaan oligarkis di dalamnya”, kekuasaan para oligark tetap koeksis dengan
perkembangan demokratisasi, begitu singkatnya. Keduanya berjalan secara
kompatibel, para oligark telah belajar cara bertingkah laku dalam ruang politik
baru: demokrasi elektoral. Inilah yang menjadi poin kesaamaan antara Robison
dan Hadiz di satu sisi dan Winters di sisi lain.
Meskipun keduanya masuk dalam ceruk
kajian yang sama tentang persistensi oligarkis di ruang politik baru, tetapi
mereka memiliki cara yang khas dalam menjelaskan obyek kajian yang mereka geluti.
Robison dan Hadiz membangun konsepsi oligarki dalam cara yang strukturalis dan
menggunakan cara pandang neo-Marxis. Sebaliknya Winters menggunakan cara
pandang yang menekankan pada peran dan lokus koersi para oligark itu sendiri.
Robison dan Hadiz mendefinisikan oligarki sebagai “a system of power relations that enables the concentration of wealth
and authority an its colective defence” (dikutip dari Ford dan Pepinsky h.
3). Definisi itu sangat kental dengan perspektif strukturalisnya dan membayangkan
oligarki sebagai sebuah kolektifitas (in
natural, sudah dari sananya). Bandingkan dengan definisi Winters tentang
oligarki yang memandang oligarki sebagai politik yang dikuasi oleh para aktor
dimana konsentrasi kekayaan berada di tangan mereka, dan dengan kekayaannya
itu, mereka berusaha memperbesar kekuasaan politik. Singkatnya, oligarki, bagi
Winters, sebagai “politics of wealth
defence”. Demikianlah, terasa sekali perbedaan keduanya, yang satu sebagai
sebuah “sistem kolektif” yang lainnya sebagai “politik para aktor dalam
mempertahankan kekayaannya” yang terkadang bertindak tidak harus secara
kolektif.
Selain perbedaan fokus yang memunculkan
perbedaan pendefinisian oligarki, keduanya juga memiliki perbedaan dalam hal
unit analisis. Bagi Robison dan Hadiz munculnya oligarki sebagai konsekuensi
dari kondisi kapitalisme lanjut (late
capitalism) di dalam negara “pinggiran”, seperti Indonesia, dimana terdapat
perkembangan yang terus-menerus dalam hal akumulasi kekayaan para kaum borjuasi
dan peran negara di dalamnya. Sedangkan, Winters justru menempatkan oligarki
dalam unit yang lebih individual. Baginya munculnya oligarki sebagai
konsekuensi dari adanya distribusi kekayan yang tidak merata antar-indvidu, dan
oleh karenanya, ia merupkan fenomena yang jamak dalam latar sosial dimanapun.
Singkatnya, Robison dan Hadiz menegasikan peran individu-agen dalam hiruk-pikuk
struktur negara dan kapital, sementara Winters lebih menonjolkan peran
individu-agen dalam akumulasi kekayaaan.
Perbedaaan lain juga terkait dengan
perlakuan terhadap para “outsiders”.
Bagi Robison dan Hadiz, “outsiders”
hanya dipandang jika mereka tidak menjadi anggota ologarki politik-birokratik.
Sedangkan bagi Winters, kekuatan lain (outsiders)
sejauh memiliki kepasitas yang mobilisasional dapat mengancam posisi oligark. Dengan
pemahaman seperti itu, keduanya juga berbeda dalam memposisikan kelas pekerja.
Bagi Robison dan Hadiz kaum buruh yang menjadi oposan kaum oligark tidak cukup
memiliki kekuatan untuk bergerak dikarenakan kepentingan dalam diri mereka
sendiri ataupun dikarenakan adanya pelemahan dari luar. Persepsi itu kurang
lebih didasarkan pada pemahaman tentang eksploitasi kelas model Marxian. Tetapi
bagi Winters gerakan kelas pekerja sejauh memiliki sumberdaya yang dapat
mengancam posisi kaum oligark dan dapat merubah kondisi yang timpang juga patut
untuk diperhitungkan. Logika ini, berbeda dengan cara Robison dan Hadiz, yang
lebih “menghargai” garis mobilisasi sumber daya, bukan pada perspektif kelas.
Perbedaan terakhir dari keduanya adalah
dalam penskalaan kajian. Winters bergerak dari level yang lebih “nasional”,
kemudian mengambil potret lokal, terutama di wilayah-wilayah yang kaya sumber
daya alam, untuk menguatkan pola yang ada di level nasional itu. Sebaliknya,
Robison dan Hadiz lebih asik memotret potongan-potongan lokalitas Indonesia. Oleh
sebab itu, menurut mereka, desentralisasi di level lokal telah menjadi arena
kontestasi baru para oligark pasca Orde Baru.
Adapun perbedaan-perbedaan diantara
keduanya dapat disederhanakan dalam tabel di bawah ini :
Tesis Non-Oligarki
Dalam buku ini juga disertakan pandangan
non-oligarki. Yang pertama adalah sumbangan tulisan R. William Liddle. Liddle,
seperti tulisan-tulisan sebelumnya, masih konsisten dengan aspek individual
dalam memahami politik Indonesia. Ketimbang memperahatikan aspek struktur,
kelompok dan institusi, Liddle lebih peduli pada “the craft that skillfull politicians” (Ford dan Pepinsky h.7), yang
menempatkan individu-politisi dalam kaitannya dengan pengejaran kekayaan dan
otoritas politik dalam skema “theory of
action”.
Selain Liddle, juga ada orang seperti
Pepinsky sendri yang lebih manaruh perhatian pada keluaran kebijakan yang
mempengaruhi distribusi kekuasaan dan otoritas politik. Kajian kebijakan
dikaitkan dengan tindakan politik mereka yang memiliki kekayaan dan bagaimna
pengaruhnya. Di tulisan lain, Marcus Mietzner, mencoba melihat kepolitikan
Indonesia, khususnya diskusi tentang partai politik, dari sisi non-oligarki.
Baginya perlu dibedakan antara elit politik dan oligarki. Jika hanya melihat
pada aspek “oligarki” yang dipahami oleh pendukung oligarki meniadaakan
kelompok elit, terutama pada mereka yang meng-counter oligarki, seperti
generasi baru masyarakat sipil yang juga politisi.
Dalam nada yang sama Aspinall juga
menyadari tentang kekurangan argumen oligarki. Baginya, politik Indonesia
adalah arena kontestasi dari banyak aktor, tidak melulu dominasi kaum oligarki.
Anggapan argumen oligarki meniadakan peran mobilisasi sumber daya dan peran
agensi. Di tempat lain, Caraway dan Ford memandang argumen “outsider” oligarki tidak sesederhana
yang dipahami. Tidak menolak sepenuhnya argumen oligarki tetapi bahwa dinamika
gerakan kaum pekerja juga nampak dari mulai terlibatnya gerakan itu dalam
proses elektoral. Dan terakhir argumen Michael Buehler tentang kompetisi elit
pasca Orde Baru yang lebih kompleks daripada yang dipahami dalam kerangka kerja
oligarki.
Oligarki dan
Dinamika Politik Pasca-Orde Baru
Menjelaskan politik Indonesia pasca Orde
Baru memang tidak akan kehabisan obyek yang dibahas. Sebab semakin banyak
penulis yang mencoba mejelaskan, justru semakin terbuka ruang untuk penulisan
karya baru. Itulah prinsip falisifikasi Popperian, teori akan semakin valid
justru ketika ia terbuka untuk dikritisi. Demikianlah yang terjadi tentang
argumen oligarki dan non-oligarki di Indonesia.
Argumen pokok oligarki bahwa
demokratisasi Indonesia justru kompatibel dengan kekuasaan oligarki sulit untuk
dibantah. Penjelasan itu dapat berlaku di satu tempat, tetapi bisa tidak
memadai di tempat lain. Bagaimana tesis itu menjelaskan munculnya elit baru di
beberapa daerah pasca Orde Baru sebagai konsekuensi dari invited space yang dibuka sejak era reformasi. Selain itu, dengan
melihat karya Saiful Mujani tentang Muslim
Demokrat (2007) kita dapat memahami bahwa ada pergesaran penting dalam perilaku
individu dalam merespon sistem politik demokrasi yang telah dibuka itu, yang
dengan sikap itu, mereka juga menentukan perkembangan demokrasi di Indonesia.
Penjelasan argumen oligarki juga kurang memadai dalam hal kondisi pergesaran
penting dalam kerangka kelembagaan demokrasi dan Pemilu di Indonesia. Meskipun
mereka berhasil mensiasati aneka ragam kelembagaan baru, tetapi pastilah
kerangka kelembagaan demokrasi juga faktor yang harus diikutsertakan dalam
memahami gejala dan dinamika demokrasi di Indonesia.
DAFTAR BACAAN
King,
Dwight Y. “Indonesia’s New Order as a Bureucratic Polity, a Neopatrimonial
Regime or a Bureucratic Authoritarian Regime: What Difference Does It Make?”.
In Bennedict R.O’G. Anderson and Audrey Kahin (eds). 2010. Interpreting Indonesian
Politics: Thirteen Contributions to the Debate (First Equinox Edition). Singapore:
Equinox Publishing
Michele
Ford and Thomas B. Pepinsky “Introduction: Beyond Oligarchy?”. In Michele Ford
and Thomas B. Pepinsky (eds.). 2014. Beyond Oligarchy: Wealth, Power, and
Contemporary Indonesian Politics. Ithaca: Cornell University Press
Mujani,
Saiful. 2007. Muslim Demokrat: Islam,
Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia pasca Orde Baru. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama
Disusun oleh SUBHAN PURNO AJI untuk memenuhi
tugas matakuliah Kajian Politik Indonesia, Nopember 2015