Apakah
kepetahanaan (incumbency) merupakan
suatu keuntungan atau justru kerugian/kutukan? Bagaimana fenomena kepetahanaan
di negara-negara demokrasi baru, apakah sama dengan di negara-negara demokrasi
mapan atau tidak? Apakah kepetahanaan berefek pada maju mundurnya
demokratisasi?. Inilah pertanyaan-pertanyaan yang muncul dari hasil seminar dan
Seminar dan Diseminasi Riset “Incumbency
Dalam Politik Elektoral Pemilukada di Indonesia”. Kegiatan ini dihelat oleh
Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fisipol, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY),
bertempat di Aula Amphiteatre lantai 4 Gedung Pascasarjana UMY, Sabtu (7/1)
lalu. Adapun narasumber seminar ini adalah Dr.rer.pol Mada Sukmajati, MPP,
pengajar DPP UGM, Tunjung Sulaksono, M.Si, pengajar Ilmu Pemerintahan UMY dan
Octo Lampito, Pimred Harian Kedaulatan Rakyat, sebagai mederator.
Seminar
ini diawali dari pemaparan hasil riset tentang kepetahanaan dalam dua Pilkada
di Yogyakarta tahun 2017 mendatang, masing-masing Kota Yogyakarta dan Kabupaten
Kulonprogo oleh David Effendi, MA, dosen ilmu pemerintahan UMY. Sebelum memulai
pemaparan, David menjelaskan bahwa literatur kepetahanaan di Indonesia dalam
Pemilu/Pilkada masih sangat minim. Penjelasan-penjelasan bagaimana petahana
dapat menang ataupun kalah dalam Pilkada, misalnya, belum memiliki jawaban yang
memadai. Oleh karenanya, penelitian yang dilakukannya bersama tim berusaha
untuk mengisi gap pengetahuan itu.
Lebih
lanjut, David menjelaskan bahwa penelitian yang ia dan tim lakukan menggunakan
teknik survey. Responden dipilih secara purposif. Mereka adalah para pemilih di
Kota Yogyakarta dan Kabupaten Kulonprogo. Pengumpulan data dilakukan dengan
teknik wawancara, sehingga data yang diperoleh merupakan data kualitatif dan
kuantitatif. Temuan penelitian ini salah satunya yang penting adalah menguatkan
teori bahwa calon petahana mempunyai peluang yang besar untuk menang kembali.
Sebab, mereka memiliki keunggulan (incumbency
advantage), yang tidak dimiliki oleh
calon non-petahana. Keunggulan yang dimaksud diantaranya kepopuleran, akses
terhadap sumber daya negara, akses informasi dan kemampuan untuk melakukan
mobilisasi birokrasi dan media. Hal ini terbukti dari jawaban para responden
yang akan memilih calon yang telah memiliki pengalaman pemerintahan. Artinya,
hanya para petahana saja yang memiliki kualifikasi itu. Sekalipun begitu, lanjut
David, temuan penelitian khususnya responden di Kota Yogyakarta, mengindikasikan
bahwa pada dasarnya responden tidak terlalu puas dengan kinerja petahana,
tetapi anehnya mereka tetap saja akan memilih mereka.
Sementara
itu, Tunjung Sulaksono menyoroti kepetahanana dan demokrasi di negara-negara
demeokrasi baru. Menurutnya, kepetahanaan di negara-negara demokrasi mapan
tidak menjadi masalah bagi perkembangan demokrasi. Ada atau tidak ada incumbency advantage demokrasi tetap
berjalan dengan baik. Akan tetapi hal yang sebaliknya dapat saja terjadi di
negara-negara demokrasi baru. Incumbency dapat
menjadi masalah karena memunculkan permasalahan yang merongrong demokrasi.
Diantaranya munculnya korupsi politik dan penyalahgunaan wewenang berupa mobilisasi
birokrasi dan dana publik untuk mendulang suara. Tunjung menyimpulkan
kepetahanaan menjadi tidak masalah bagi demokrasi jika insfrastruktur dan
suprastruktur demokrasi di sebuah negara telah terkondisikan dengan baik.
Mada
Sukmajati menyoroti dua sisi penting pada literatur tentang kepetahanaan yang
saling berlawanan, yaitu keunggulan kepetahanaan (advantage incumbency) dan kutukan kepetahanaan (curse incumbency) di negara-negara
demokrasi mapan. Sisi pertama para petahana memiliki keunggulan scare-off effect atau efek untuk membuat
lawannya enggan untuk maju menjadi pesaing. Hal inilah yang terjadi, terutama
di daerah-daerah dengan calon tunggal. Sedangkan kutukan bagi para petahana
adalah reputasi mereka menjadi bahan bakar bagi para pesaing. Para pesaing
dengan mudah mengeksplorasi sisi kelemahan dari para petahana untuk mendulang
suara pemilih. Tetapi, di atas itu semua, tetap saja para petahana lebih banyak
mendapat keunggulan dari calon non-petahana. Buktinya, 68 persen berbanding 42
persen petahana terpilih kembali dari pada petahana yang tidak terpilih kembali
pada Pilkada serentak 2015. Yang menarik dari pemaparan Mada adalah
penyelenggaraan Pemilu yang berintegritas akan mengurangi keunggulan yang
dimiliki oleh petahana. Penjelasannya, semakin Pemilu berjalan jujur dan adil
kecenderungan akan memperkecil peluang petahana terpilih kembali.
Kesimpulan
penting dari seminar ini adalah diskusi tentang kepetahanaan sangat menarik
untuk dieksplorasi lebih jauh khususnya dalam era demokrasi elektoral di
Indonesia. Literatur-literatur yang tersedia tentang kepetahanaan lebih banyak
merujuk fenomena di negara-negar Amerika Utara dan Eropa Barat. Padahal
fenomena kepetahanaan di Indonesia berbeda dengan yang terjadi di negara-negara
itu. Misalnya, untuk mendefinisikan petahana di Indonesia diperlukan penjelasan
apakah hanya merujuk pada kepala daerah atau wakil kepala daerah. Atau elit
birokrasi (sekda, misalnya) yang bertarung dalam Pilkada juga dapat disebut
sebagai petahana. Dan masaih banyak hal lain yang menantang bagi ilmuwan
politik untuk mengeksplorasi lebih jauh tentang fenomena kepetahanaan.
Ditulis
oleh SUBHAN PURNO AJI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar