Review Artikel:
Tanja A. Borzel and
Thommas Risse. “Governance Without a State: Can it Work?”. Regulation & Governance Volume 4, Issue 2, pages 113–134, June
2010Purwo Santoso. “Proses
Kebijakan, Karakteristik dan Advokasinya”. Disampaikan dalam Pelatihan
Fasilitator Prakarsa Pembaruan Tata Pemerintahan Daerah (P2TPD) yang
diselenggarakan oleh USC SATUNAMA dengan dukungan BAPPENAS dan The World Bank,
11-20 September 2002.
Pengantar
Besarnya
pengaruh paradigma struktural-fungsional di Indonesia terhadap perkembangan
ilmu sosial di Indonesia masih terasa hingga kini. Dikerangkai oleh pemahaman
bahwa unit-unit sosial yang ada di dalam masyarakat diandaikan memiliki
fungsi-fungsi sosialnya masing-masing, dengan begitu segala macam gejala yang
mengarah kepada chaos ataupun konflik
niscaya akan menemukan titik temunya sendiri, suatu titik ekuilibrium.
Corak-pandang keilmuan ini, pada umumnya ditempatkan dalam garis positivis.
Garis positivis inilah yang seolah menjadi “ortodoksi” dalam ilmu sosial di
Indonesia dan seolah dikukuhkan menjadi “ideologI’ resmi lewat pandangan
pembangunan-isme yang menopang Orde Baru selama 32 tahun kekuasaannya. Secara
simplistis, dalam topangan perpektif positivis-pembangunanisme-struktural-fungsional
itu, negara dipandang sebagai satu-satunya agen yang dapat menciptakan tertib
sosial. Dengan asumsi, yang kurang lebih, bahwa negaralah yang memiliki
otoritas, dan dengan begitu, negaralah yang handal dalam mengelola kebajikan
publik dan negara pula yang tahu segala yang dibutuhkan oleh masyarakat
(Santoso et.al, 2004:xxvi). Dalam
pandangan ini, negara dianggap sebagai agen yang “baik hati” dan piawai dalam
mengelola segala hal, termasuk memastikan semua kebutuhan warganya tercapai
tanpa melibatkan pihak-pihak lain.
Pandangan
“negara-sentris” inilah yang diserang
habis-habisan, apalagi setelah sistem politik yang menopangnya (atau
ditopangnya)-Orde Baru-, runtuh berkeping-keping pada 1998. Mulailah muncul
wacana de-statisasi dalam tema besar demokratisasi dan desentralisasi yang
beriringan dengan wacana good governance.
Lalu, yang terjadi di Indonesia tidak sekedar wacana, akan tetapi telah
diterapkan secara berangsur-angsur melalui serangkaian perubahan kelembagaan demokrasi
dan tata kelola pemerintahan. Kata (good)
governance mulai menghiasi wacana
akademis sampai dengan retorika para politisi. Dalam istilah governance, negara tidak lagi menjadi
aktor utama dalam pengelolaan urusan publik, governance lebih sebagai mode koordinasi yang tidak saja melibatkan
aktor-aktor negara, tetapi juga aktor non-negara, seperti swasta dan
masyarakat.
Pandangan
inilah yang cukup dominan sejak tahun 1990-an, apalagi dengan munculnya negara
demokrasi baru pasca sapuan gelombang demokratisasi ketiga (Huntington 1993).
Pandangan ini menonjolkan bahwa yang dapat menciptakan tertib sosial adalah
mekanisme pertukaran sukarela model pasar. Pandangan yang paling radikal dari
model ini adalah meminggirkan sama sekali negara dari pengelolaan urusan publik
atau yang dikenal dengan governance
without state/government dalam skema mode koordinasi baru. Tapi apakah bisa
governance bisa bekerja tanpa
melibatkan negara/pemerintah?
Governance
With(Out) Government dan Hirarki Bayangan
Hal itulah yang menjadi fokus artikel T.A.
Borzel dan T. Risse, Governance Without a
State, Can it Work?. Artikel ini memberikan lanskap baru dalam kajian
tentang governance, bahwa peran
negara jangan sampai dihilangkan sepenuhnya dalam governance, karena jarang ditemukan pengaturan swakelola masyarakat
yang efektif tanpa melibatkan negara. Negaralah yang memiliki kapasitas untuk
mengambil dan menegakkan keputusan-keputusan kolektif. Di negara-negara yang
menjalankan governance secara
efektif, seperti dinegara-negara industri maju, keterlibatan aktor non-negara
sangat menonjol dalam pengelolaan kebaikan publik. Bukan berarti tidak ada
keterlibatan pemerintah, malah seringkali pemerintah melakukan peran aktif
melalui serangkaian negosiasi dengan aktor-aktor non-negara dalam apa yang
disebut “hirarki bayangan”, “the state threatens
– explicitly or implicitly – to impose binding rules or laws on private actors
in order to change their cos-benefit calculations in favor of a voluntary
agreement closer to the common good rather than to particularistic
self-interest” (h. 116). Lebih lanjut, menurut Borzel dan Risse, hirarki
bayangan inilah faktor penting efektifnya model governance with(out) government. Lantas apakah dengan governance with(out) government dapat
berlaku di negara-negara yang memiliki institusi yang lemah (weak state)? Jawabannya bisa. Sebab di
negara-negara tersebut ada pengganti hirarki bayangan. Pengganti hirarki
bayangan itu adalah 1) risiko terjadinya anarki, dimana keterlibatan aktor
non-negara dalam penyediaan barang-barang publik karena keharusan. Jika tidak
mereka akan menghadapi bahaya yang lebih besar; 2) adanya organisasi dan
pemerintah asing yang terlibat dalam pengelolaan urusan publik; 3) keterlibatan
perusahaan dalam urusan-urusan publik karena didorong oleh tuntutan konsumen, Corporate Social Responsibility (CSR)
misalnya; dan 4) adanya tuntutan dari komunitas tradisional agar perusahaan semakin
banyak memberikan perhatian kepada mereka. Semua itu secara langsung mendorong
aktor-aktor non-negara untuk terlibat dalam penyediaan kebutuhan publik dalam
kondisi tidak adanya institusi negara yang kuat. Tetapi apakah dalam kondisi
itu governance with(out) government efektif
dan legitim?. Apakah hal itu legitimate?
Jawabannya dalam hal pengelolaannya terdapat terdapat akuntabilitas, dilakukan
secara partisipatif, memenuhi standar internasional dalam hal penghormatan HAM
dan memiliki penegakan hukum dan demokrasi.
Advokasi Sebagai “Teknologi Gerakan” Masyarakat
Sipil
Sejak
runtuhnya Orde Baru, serangkaian reformasi kelembagaan demokrasi telah
dilakukan. Salah satu yang menonjol adalah diadopsinya perubahan tata kelola
pemerintahan. Dengan begitu, Indonesia mengadopsi apa yang menjadi tren global,
dari government menjadi governance with government. Dalam artikel Proses
Kebijakan, Karakteristik dan Advokasinya, Purwo Santoso memberikan konteks
yang bagus tentang perubahan dari government
ke governance tersebut dari sisi
kebijakan. Dia memberikan catatan kritis tentang dominannya perspektif
rational-komprehensif dalam analisis kebijakan publik. Dari perspektif yang
cenderung administratif-manajerial ini, menempatkan kebijakan publik sebagai
domainnya para birokrat yang seolah tahu kebutuhan publik. Tidak ada ruang
partisipasi masyarakat di dalamnya (model government).
Sehingga “Kenyataan bahwa masih ada masalah, justru membuka peluang baru untuk
mengajukan proyek-proyek baru, dan disyahkannya kebijakan baru berarti peluang
baru untuk melakukan mendapat keuntungan finansial (rent seeking)” (h. 3).
Purwo
Santoso juga melihat bahwa kondisi itu ditambah telah dibukanya kesempatan
masyarakat untuk semakin terlibat tidak hanya dalam tahapan implementasi tetapi
juga sejak agenda kebijakan itu dibuat, sudah saatnya elemen masyarakat sipil
melihat advokasi sebagai celah untuk memastikan bahwa kebijakan benar-benar
memihak kepada kepentingan masyarakat. Negara telah membuka ruang partisipasi
masyarakat untuk terlibat, sekalipun terdapat kecenderungan elitisme, tetapi
celah itu harus dimanfaatkan. Kata Purwo Santoso :
“Persoalan kunci yang
penting untuk digarisbawahi disini adalah, bahwa masyarakat adalah aktor yang sah
untuk menentukan arah, dan juga secara aktor yang relevan dan kompeten untuk
melalukan pengelolaan proses kebijakan. Proses kebijakan bukan proses di dalam
jajaran birokrasi pemerintah semata, dan perubahan kebijakan dalam banyak kasus
justru harus diperjuangkan dari luar jajaran pemerintahan” (h.6)
Santoso
mengajak elemen masyarakat sipil untuk benar-benar memanfaatkan “teknologi
gerakan” berupa advokasi dalam kerangka yang terpadu. Bahwa upaya untuk
mengubah kebijakan memerlukan pendayagunaan otot dan otak. Baginya, sudah
saatnya elemen masyarakat sipil melihat advokasi secara keselurahan, tidak
hanya pada level agenda setting, tetapi tetap harus dikawal sampai dengan tahap
implementasi, jika menginginkan perubahan yang permanan tidak ad hoc belaka. Maka yang penting juga
adalah upaya yang sungguh-sungguh dalam penggalangan aliansi, sebab proses
kebijakan publik memperlihatkan interaksi antara masyarakat-pemerintah. Untuk
itu, perlu pengambangan koalisi diantara pihak-pihak yang sepaham agar
keberhasilan advokasi dapat tercapai.
Shadow
Hierarchy atau Shadow State: Kasus Indonesia
Bekerjanya
governance with(out) government di
negara-negara global north, seperti
yang jelaskan oleh Borzel dan Risse cara berjalannya aktor negara dan
non-negara di wilayah-wilayah tersebut seperti sudah berjalan dengan sendirinya
(taken for granted). Hal ini bisa dimaklumi mengingat di sana masyarakat sudah
dapat mengatur diri mereka sendiri dan negara memiliki kapasitas yang kuat,
sehingga institusi informal, (negosiasi, aturan-aturan yang tidak tertulis,
jaringan), shadow hierarchy,
misalnya, berjalan seiring dengan institusi formal (peraturan, organisasi
resmi) yang ada. Keduanya dalam hubungan yang komplementer.
Sementara
di banyak negara global south yang
memiliki trauma kolonialisme, sistem sosial yang heterogen dan pengalaman
pembangunan yang dituntun oleh negara (state-led
development), kondisi sama sekali berbeda. Manakala model governance (baik with maupun without) diterapkan pola-pola yang muncul sangat
bervariasi. Di Indonesia ketika model governance
diterapkan dimana pemerintah mulai mengundang aktor non-negara untuk terlibat
dalam pengelolaan urusan publik, yang terjadi justru reorganisasi kekuatan lama
(oligarki) dalam aransemen kelembagaan yang baru. Mereka masih mempertahankan
relasi politiko-bisnis yang predatoris antara negara dan aktor-aktor non-negara
lain (Robison dan Hadiz, 2004).
Salah
satu yang muncul adalah tumpang tindihnya antara pemerintahan formal dan
informal di tingkat lokal. Di Banten, salah satu provinsi hasil pemekaran
pertama pasca Orde Baru, muncul pengaturan yang melibatkan aktor non-negara
dalam pengambilan kebijakan publik. Tetapi pola sama sekali berbeda dengan apa
yang dibayangkan oleh Borzel dan Risse di atas, dimana output kebijakan bermuara pada pelayanan publik, yang terjadi
adalah pengaturan societal actor
(dalam hal ini jawara-pengusaha)
dalam kebijakan publik dengan state actor
(penyelenggara negara) tetapi hanya menguntungkan segelintir elit. Elit
masyarakat ini justru lebih banyak mengintervensi aneka kebijakan publik untuk
kepentingannya sendiri. Mereka mengembangkan mekanisme jaringan informal antara
state actor dan non-state actor untuk mengeruk sumber daya ekonomi dan politik
negara. Pola ini disebut “shadow state”,
dimana kaburnya pengaturan-pengaturan formal dan informal serta aktor
non-negara mengintervensi proses kebijakan publik untuk diri mereka sendiri
(Hidayat, 2007). Alih-alih koordinasi antara aktor negara-non negara dibingkai
oleh apa yang disebut sebagai “shadow hierarchy” (Borzel dan Risse, 2009) yang
muaranya adalah kebaikan bersama, tetapi yang terjadi adalah “negara bayangan”,
yang dengannya urusan publik diatur
sedemikian rupa oleh para elit. Semua itu beriringan dengan masih lemahnya
institusi negara, sehingga institusi informal berkelindan dengan institusi
formal tetapi menghasilkan pola yang bukan malah saling melengkapi untuk
kebaikan publik, tetapi malah pola yang substitusi (institusi formal digantikan
oleh institusi informal). Saling pengaruh tersebut sayangnya berjalan dalam
proses yang kedap terhadap partisipasi dan miskin akuntabilitas. Pola-pola semacam
itu tidak hanya terjadi di Banten, tetapi juga banyak terjadi di tempat lain
ketika model governance diterapkan
(Hadiz 2003; Nordholt dan Klinken 2007). Celakanya, inilah paradoks yang
terjadi di Indonesia.
Pada
saat yang sama mengharapkan hadirnya masyarakat sipil yang kuat yang dapat
memberikan kontrol terhadap pola yang menyimpang dalam relasi aktor
negara-non-negara juga masih jauh dari apa yang diinginkan oleh tulisan Purwo
Santoso di atas. Idealnya jika terjadi “perselingkuhan” yang merugikan
masyarakat banyak karena governance dibajak
oleh elit, masyarakat sipil dapat hadir untuk membongkar kebebalan yang
sistematis itu dengan “teknologi gerakan”-nya: advokasi. Yang terjadi, meskipun
tidak seluruhnya demikian dan hanya sebagian kecil, munculnya masyarakat sipil
(civil society) pasca Orde Baru
justru menjadi kekuatan yang “uncivil” dengan menjadi penyulut kekerasan SARA
yang terjadi di Ambon dan Sampit pasca Orde Baru (Hadiwinata, 2009). Alih-alih
mereka memanfaatkan advokasi sebagai “celah” dalam proses kebijakan publik,
tetapi malah menjadi elemen yang destruktif.
Tentu
pandangan yang pesimistis itu tidak menjadi fenomena yang umum terjadi. Di
banyak tempat hadirnya invited space
dengan diterapkannya model governanace
with government memberikan dampak kebijakan yang signifikan dengan
perbaikan pelayanan publik, peningkatan kesejahteraan dan perbaikan iklim
investasi. Masyarakat sipil yang tumbuh beriringan dengan reformasi pasca Orde
Baru juga menyiratkan optimisme akan munculnya masyarakat sipil yang semakin
terlibat dalam proses pengambilan kebijakan publik.
Penutup
Pengetrapan
governance with(out) government
membutuhkan adanya “shadow hierarchy” yang mengandaikan juga adanya negara yang
kuat. Tetapi munculnya governance
with(out) government bahkan di negara-negara yang lemah mengindikasikan
bahwa hal itu bisa saja bekerja.
Ruang
yang telah dibuka untuk aktor-aktor non-negara dengan diterakannya model
governance di Indonesia perlu ditindaklanjuti oleh masyarakat sipil untuk
semakin terlibat di dalam proses kebijakan publik melalui advokasi.
Yang
terjadi di Indonesia pengetrapan governance memunculkan pola-pola yang
bervariasi. Sebagian diantaranya malah paradoks, yaitu model governance justru
dijadikan sebagai ajang aktor non-negara untuk mengeruk keuntungan diri
sendiri. Munculnya “shadow state” di
Banten dapat dijadikan contoh untuk kasus di Indonesia. Di saat yang sama
masyarakat sipil yang menjadi lokomotif reformasi di Indonesia juga tidak
selamnya menjadi aktor yang dapat sepenuhnya menjadi pengontrol dari kebijakan
publik yang merugikan masyarakat. Bahkan sebagian diantaranya menjadi kekuatan
yang kontraproduktif dengan kepentingan khalayak banyak. Tetapi potret itu
tidak menjadi fenomena yang jamak di Indonesia. Oleh karenanya ada beberapa hal
dapat dijadikan catatan:
1.
Model
governance yang menjadi kecenderungan global tetaplah harus membutuhkan peran
negara. Sebab negaralah yang dapat mengatur dan memaksakan peraturan dan hukum
kepada aktor-aktor non-negara, sehingga masing-masing tidak hanya mencari
keuntungan saja tetapi juga terlibat dalam pengelolaan urusan publik.
2.
Masyarakat
juga harus terlibat dalam proses kebijakan dengan melakukan advokasi. Advokasi
harus dipahami sebagai proses yang terpadu dan harus melibatkan sebanyak
mungkin aliansi agar hasil akhir kebijakan bukan hanya untuk kepentingan yang ad hoc, tetapi juga untuk kepentingan
yang berjangka panjang.
3.
Pengetrapan
model governance memunculkan hasil
dan pola yang berbeda di masing-masing negara. Tergantung dari konteks
sosial-politik-ekonomi-sejarah yang ada di negara tersebut. Sama halnya dengan
memahami governance sebagai kebijakan, yang didalamnya terdapat dimensi isi,
proses dan konteks, kajian tentang governance
juga harus sensitif dengan aneka-ragam pola yang keluar dari pakem yang ada di
buku-buku teks.
DAFTAR BACAAN
Borzel,
Tanja A. and Thommas Risse. 2010. “Governance Without a State: Can it Work?”.
Dalam Regulation & Governance Volume
4, Issue 2, pages 113–134
Hadiwinata,
Bob Sugeng. 2009. “From Heroes to Troublemakers? Civil Society and
Democratization in Indonesia”. Dalam Marco Bunte and Andreas Ufen. Democartization in Post-Soeharto Indonesia.
London and New York: Routledge:
Hadiz,
Vedi. 2003. “Power and Politics in North Sumatra: The Uncompleted Reformasi”.
Dalam Edward Aspinall and Greg Fealy. Local
Power and Politics in Indonesia.: Singapore: Institute of Southeast Asia
Studies
Huntington,
Samuel P. 1993. The Third Wave
Democatization in The Late Twentieth Century. Oklahoma: University of
Oklahoma Press
Hidayat,
Syarif. 2007. “Shadow State...? Bisnis dan Politik di Provinsi Banten”. Dalam
Henk Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken. Politik Lokal di Indonesia. Jakarta: KITLV-Yayasan Obor Indonesia.
Nordholt,
Henk Schulte dan Gerry van Klinken. 2007. Politik
Lokal di Indonesia. Jakarta: KITLV-Yayasan Obor Indonesia.
Robison,
Richard and Vedi R. Hadiz. 2004. Reorganizing
Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in Age of Market. Routledge
Curzon: London-NewYork.
Santoso,
Purwo. 2002. “Proses Kebijakan, Karakteristik dan Advokasinya”. Disampaikan
dalam Pelatihan Fasilitator Prakarsa Pembaruan Tata Pemerintahan Daerah (P2TPD)
yang diselenggarakan oleh USC SATUNAMA dengan dukungan BAPPENAS dan The World
Bank.
Santoso,
Purwo, Hasrul Hanif dan Rachmad Gustomy (eds.). 2004. Menembus Ortodoksi Kajian Kebijakan Publik. Yogyakarta: Fisipol UGM.
Disusun oleh SUBHAN PURNO AJI untuk memenuhi salah
satu tugas matakuliah Governance dan Kebijakan Publik, S2 JPP Fisipol UGM,
Oktober 2015