Tulisan
ini adalah catatan atas hasil diskusi “Jokowi and Post-Electoral Legitimacy” dengan pemateri Wawan Mas’udi (Ph.D Cand), staf pengajar Departemen Politik dan
Pemerintahan UGM, Rabu (24/8). Masa pemerintahan Jokowi di Solo menjadi fokus
studi Ph.d Wawan Mas’udi. Wawan bercerita awalnya ia mengambil tema “Local Populism in Decentralised Indonesia”,
yang kurang lebih melihat kemunculan pemimpin populis dalam politik lokal di
Indonesia pasca 1998. Mengapa Solo? Alasan sederhana baginya adalah bahwa
legitimasi elektoral pasangan Jokowi-Rudi pada Pilkada 2010 untuk periode
keduanya mencapai lebih dari 90 persen, suatu hasil yang belum ada presedennya
di daerah lain.
Wawan
menjelaskan populisme awalnya muncul sebagai hasil refleksi dari kemunculan
Jimmy Carter dalam kancah politik di Amerika Serikat akhir 1970-an. Carter menjadi
presiden Amerika Serikat (1978-1982) membawa gaya yang berbeda dalam kemapanan politik
di negeri itu. Ia lahir bukan dari keluarga kelas elit atau keluarga politisi seperti
pada umumnya politisi di Negara Paman Sam itu. Carter adalah seoarang petani (kacang,
gandum dll) dan berhasil mencapi puncak karirnya sebagai politisi. Carter, saat
itu, seolah mencerminkan wajah orang Amerika pada umumnya dan mewakili orang
biasa dalam politik di Amerika Serikat. Populisme di maknai sebagai gaya
pemimpin politik yang secara langsung mewakili rakyat. Selanjutnya politik
populisme lebih menonjol untuk menjelaskan kemunculan pemimpin-pemimpin politik
di Amerika Selatan beberapa tahun setelah kemunculan Carter.
Politik
populisme yang diangkat oleh Wawan memberikan penekanan bukan kepada figur,
sebagaimana yang terjadi pada kasus lain, seperti pemimpin-pemimpin politik di
Amerika Latin dari Peron, Chavez sampai Evo Moralez misalnya, akan tetapi populisme
di Solo harus diletakan pada konteks masyarakat Solo yang telah memiliki sejarah
politik panjang antagonisme elit-massa, priyayi-kawula, pengusaha
pribumi-non-pribumi, dan keraton-rakyat. Beberapa peristiwa masa lalu, seperti
peritiwa geger pecinan, kemunculan SI/SDI dan kerusuhan 1998 dapat menjelaskan
bahwa pada dasanya di Solo, pada titik tertentu, telah muncul kesadaran tentang
“active citizen”, yang dikemudian hari menjadi sangat penting dalam munculnya
populisme pada post-1998/1999 dan dilanjutkan dengan era desentralisasi.
Akan
tetapi, setelah mengumpulkan data, termasuk mewancarai berbagai narasumber,
Wawan mulai ragu dengan asumsinya tentang politik populisme. Jika populisme
sebagai gaya politik Jokowi memimpin Solo kurang lebih selama 7 tahun
(2005-2012), dapat dikatakan itulah populisme. Ia semakin ragu dengan asumsi
bahwa jika populisme merupakan sebuah antagonimse, maka seharusnya antagonisme
atas apa. Jawabannya bisa jadi atas kepemimpinan Walikota sebelumnya, Slamet
Suryanto, yang dalam banyak hal tidak menjawab kebutuhan masyarakat Solo.
Tetapi jika dilihat dari faktor kebijakan, kebijakan-kebijakan populis Pemkot
Solo selama kepemimpinan Jokowi dalam banyak hal bukan kebijakan yang sama
sekali baru. Bahkan kebijakan konkrit tentang jaminan kesehatan, pendidikan dan
transparansi anggaran bahkan bukan dari janji kampanye untuk Pilkada pada
periode pertamanya. Dari hal itu nampak bahwa faktor kebijakan, belum cukup
menjadi penjelas tentang politik populisme. Tetapi jika ditelusuri lebih lanjut
tentang bagaimana proses governing, dan
bagaimana cara Jokowi dalam mengelola banyak konflik kepentingan di Solo,
menunjukkan gejala bahwa hal itu lebih lebih sebagai gejala bagaimana seorang
aktor politik sedang membangun legitimasinya. Oleh karena itu, Wawan mulai
berpikir untuk berubah haluan dalam studinya untuk mengarahkan kepada seputar bagaimana
legitimasi dibangun dan dipertahankan. Mulai saat itu, Ia mulai membuka-buka
lagi tulisan-tulisan legitimasi dari Seymour Martin Lipset dan tentu saja Max
Weber.
Wawan
yang mengaku beruntung karena awalnya belajar di Universitas Victoria dan
akhirnya lulus di Universitas Melbourne, mengatakan bahwa sekalipun legitimasi
dapat diukur sejauhmana output kebijakannya (kesejahteraan, pelayanan publik
dll), tetapi hal itu terbatasi oleh konteks yang ada. Bahwa jika output
kebijakan yang memihak pada rakyat kebanyakan otomatis dapat memberikan
legitimasi yang lebih kuat sebagaimana teori modernisasi Lipset-ian
mengatakanya memang dapat dikatakan begitu. Akan tetapi, bagi Wawan dalam
banyak hal, kebijakan di Solo selama era Jokowi tidaklah cukup untuk
menjelaskan kuatnya legitimasi pemimpin politik yang saat ini menjadi Presiden
ke-7 Indonesia itu. Ada konteks, yakni Kota Solo, dimana menjadi panggung
politik Jokowi. Kota yang memiliki kekhasan dalam sejarahn sosial-politiknya yang
panjang. Wawan mengatakan bahwa Jokowi juga memainkan apa yang disebut governing interest dan manipulating conflict of interest, yakni
kemampuan untuk dapat mengelola konflik dan kepentingan diantara pihak-pihak
yang ada. Hal itu nampak, misalnya, dalam relokasi PKL dengan kirab budaya.
Relokasi PKL belum tentu memberikan dampak yang positif secara ekonomi bagi semua
PKL itu sendiri, tetapi proses negosiasi relokasi yang bertahap dan sampai pada
akhirnya para PKL mau untuk direlokasi dengan kirab budaya, menunjukkan betapa
kemampuan untuk mengelola konflik dan memanipulasi (dalam artian yang netral)
simbol-simbol budaya Jawa untuk meredakan konflik adalah kemampuan yang
dimiliki oleh Jokowi. Dan dengan hal itu dia dapat membangun legitimasi yang kuat
di Solo. Dan kasus Jokowi di Solo menjelaskan bahwa legitimasi merupakan proses
kreasi dan dikreasikan kembali tergantung dari kenteks yang ada. "Ia contextual bounded", ujar wawan.
Ditulis
oleh SUBHAN PURNO AJI